Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASPAL hitam tamat di ujung jalan- itu, lalu bersambung dengan ja-lur setapak membelah belukar. Hujan turun sejak senja tadi, kini bertukar gerimis. Nyanyian katak seperti merayakan malam pekat tanpa listrik. Rumah kayu milik Ridwan- Abu Bakar, 46 tahun, bekas Panglima Operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Aceh Timur, terpacak sunyi dalam kepungan hutan sawit itu.
Di bilik tamu tak ada perabotan-. -Ha-nya selembar tikar plastik. Di ha-la-man-, ada gubuk kecil tempat empat- -pengawal tidur. Mereka tak bersenjata. Perang tak ada lagi, tapi Ridwan alias Nek Tu lebih suka tinggal terpencil seper-ti itu. ”Kami sekarang harus belajar politik,” ujar Ridwan kepada Tempo, akhir bulan lalu.
Sejak perdamaian diteken di Helsin-ki-, Agustus tahun lalu, GAM harus -men-g-ubah cara perjuangan mereka. Tak boleh ada senjata lagi. Makanya, meski pernah berlatih militer di Libya pada 1987, Ridwan mengaku butuh belajar politik kembali. Ke mana pun pergi, ada satu buku tulis kecil terselip di tasnya. ”Untuk mencatat masukan dan pendapat,” ujarnya.
Gerakan itu tampak-nya bersiap menuju- ba-bak- baru. Apalagi, de-ngan Undang-Undang Pe-merintahan Aceh yang baru nanti GAM bisa ikut bertarung dalam sistem politik lokal, termasuk mengincar kursi Gubernur Aceh lewat pemilu. Soal ini, GAM mendadak seperti- anak perawan di pa-sar malam. ”Banyak tokoh- po-litik lokal melirik GAM sebagai pasang-an,”- ujar Irwandi Yusuf, wakil senior GAM di Aceh Monitoring Mission.
Di Aceh, isu calon gubernur mengha-ngat selama enam bulan terakhir. Sederet nama tokoh melintas di bursa. Dari Partai Golkar muncul Malek Raden dan Sayed Fuad Zakaria. Keduanya produk asli Partai Beringin. Bekas pejabat Gubernur Aceh Azwar Abubakar juga ba-kal tampil lagi lewat Partai Amanat Nasional. Dari Partai Bulan Bintang ada nama Iskandar Husein dan Thantawi Ishak. Sementara Tamlicha Ali dan Muchlis Mukhtar dijagokan Partai Bintang Reformasi dan partai lainnya.
Yang menarik, calon dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Akhir bulan lalu, partai itu mengajukan paket Humam Hamid dan Hasbi Abdullah untuk Gubernur Aceh dan Wakil. Humam bukanlah tokoh partai. Dia doktor sosiologi di Universitas Syiah Kuala dan Ketua Aceh Recovery Forum. Selain aka-demisi, Humam dikenal sebagai aktivis sosial. Sedangkan Hasbi adalah adik kandung pemimpin GAM Swedia, Zaini Abdullah.
Persinggungannya dengan politik diawali saat aktif sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Syiah Kuala 1976-1978. Dia ditangkap, lalu keluar-ma-suk di penjara Orde Baru. Tuduhan ter-berat: Hasbi membantu GAM saat di-deklarasikan Dr Teungku Hasan di Tiro pada Desember 1976. Kakak kandung Hasbi-, Dr Zaini Abdullah, ada-lah tokoh senior di ge-rakan itu sampai sekarang.
Karena mewarisi ”darah biru” itu, banyak orang menduga Hasbi- bakal disokong jaringan bekas gerilyawan di kawasan pedesaan. Setidaknya, dialah calon ”berbau” GAM yang tampil dalam pilkada saat ini. Tapi, rupanya Hasbi bukan calon dari GAM itu sen-diri.
SEMANGAT berpolitik itu untuk se-mentara mereda. ”GAM tak ikut pilkada,” ujar pemimpin GAM Malek Mahmud al-Haytar, akhir Mei lalu. Mereka me-nung-gu Rancangan Undang-Undang Peme-rin-tah Aceh selesai sambil melihat ke-mungkinan berlaga lewat calon in-de-pen-den. Anggota gerakan ini boleh saja ikut pilkada asal membawa nama pri-badi.
Keputusan Majelis Nasional GAM, lembaga tertinggi gerakan itu di Banda Aceh, diambil setelah melihat dinamika ”konvensi” calon gubernur digelar sebulan lalu di gedung pertemuan Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Mereka menyebutnya Pertemuan Ban-sa Aceh Ban Sigom Donya (Pertemuan Bangsa Aceh seluruh Dunia). Hadir GAM dari Swedia, Denmark, Norwegia, Amerika Serikat, Australia, dan Malaysia. Dari Aceh, semua bekas ”panglima wilayah” wajib hadir. Selain soal konsolidasi, dibahas pula partai lokal dan calon gubernur.
Hasbi dan Humam sudah didukung Majelis Nasional GAM, tapi karena persaingan cukup ketat di tubuh gerakan itu, mereka tak bisa serampangan. Apalagi, Hasbi ditolak karena nepotisme. Saat pemilihan calon gubernur digelar, justru bekas juru runding GAM Teungku Nashiruddin bin Ahmed menjadi pi-lih-an mayoritas. Dia menyabet suara ter-tinggi, 39, sementara Hasbi 34.
Untuk calon wakil gubernur, Ke-tua- Presidium Sentral Informasi Refe-rendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar mengantongi 31 suara. Meski bukan anggota GAM, nama Humam Hamid juga dipilih sebagai wakil gubernur dengan suara 24. Dengan hasil itu, Nashiruddin seharusnya bergandengan dengan Muhammad Nazar.
Tapi, inilah barangkali yang disebut ”be-lajar politik” itu. Saat Nashiruddin di-pilih, dia tak berada di arena kongres. Tentu, tak lazim bagi yang tak hadir- -di-pilih forum mengemban tanggung ja-wab. ”Menjadi gubernur bukan agenda hi-dup saya,” ujar Teungku Nashiruddin- ke-pada Tempo. Lelaki rendah hati itu le-bih memilih mengurus pabrik batu bata di Matang Glumpang Dua, Aceh Utara.
Jadi, setelah Nashiruddin menarik diri, Hasbi yang berada di peringkat kedua harusnya naik dan bergandengan dengan Nazar. ”Tapi, Hasbi tak bersedia, alasannya tak cocok,” ujar Teungku Usman Lampoh Awe, tokoh senior GAM di Majelis Nasional. Walhasil, karena masing-masing kubu ngotot, akhirnya Majelis GAM memutuskan menarik diri dari pilkada secara organisatoris.
Alasan lain, mereka harus menghe-mat ener-gi untuk Pemilu 2009. Misalnya-, kata Usman, mereka bersiap membentuk- partai politik. Dia juga khawatir, kalau- GAM menang, akan tetap sendirian. Soal-nya, saat ini parlemen lokal masih didominasi hasil pemilu lama. ”Sama saja dengan pemerintahan dulu,” ujarnya.
IBARAT sebuah pertunjukan, di Aceh politik tetap jalan terus. Se-te-lah dicalonkan PPP, Humam dan Hasbi rajin bertandang ke daerah. Sambutan untuk mereka dilaporkan hangat. Bahkan di sejumlah tempat, Hasbi menerima rekannya dari GAM. Meski disambut baik, Humam tak menyebut itu dukung-an terbuka GAM atas mereka.
Lalu, bagaimana reaksi sebenarnya GAM di daerah kepada Hasbi? Bekas Panglima Pasee Teungku Zulkarnaini mengatakan, Hasbi Abdullah termasuk- dalam garis perjuangan GAM, tapi berbeda sistem berjuang. ”Dia tak ada di lapangan, tapi dia ada secara politis,” ujarnya kepada Tempo di kantor perwakilan GAM di Blang Mangat, Lho Seumawe, Kamis pekan lalu. Tapi, dia mengelak komentar soal mendukung atau tidak mendukung Hasbi.
Betapapun, pengaruh GAM di pedesaan sangat penting, terutama bagi partai politik, dan memperluas jangkauan dukungan. Ketua PPP Aceh Zainal Abidin, misalnya, optimistis Humam-Hasbi bakal lolos. Basis partainya tersebar di pantai selatan dan barat Aceh, serta pesisir timur.
Pada Pemilu 2004, PPP menang di Aceh Besar 19 persen, Pidie 20,58 persen, Aceh Jaya 21,89, dan Aceh Utara 16,66 persen. Jumlah itu pasti lebih besar kalau, misalnya, jaringan bekas gerilyawan itu mendukung suara di pedesaan. Belum lagi ormas, seperti Persaudaraan Muslimin indonesia (Permusi), Pemuda Kaffah, Generasi Muda Persatuan, Angkatan Muda Ka’bah, Wanita Persatuan, dan banyak lainnya.
Saingan terberat PPP adalah Partai Golkar Aceh. Persiapan pilkada Golkar juga heboh. ”Tim sukses pilkada Golkar juga telah dibentuk, termasuk di daerah-daerah,” ujar Sayed Fuad Zakaria, Ketua DPD Golkar Aceh. Tapi, Golkar belum melakukan deklarasi terbuka.
Sejumlah ormas Beringin berdiri di ba-lik duet Malek-Sayed Fuad ini. Sa-yed tidak membantah kalau mereka didukung- Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia, yang dikenal memiliki jaringan luas di Aceh. Belum terhitung pendukung golkar seperti Trikarya, Kosgoro, MKGR, Al-Hidayah, Satkar Ulama, dan juga FKPPI.
Berbeda dengan PPP di pesisir, Golkar justru kuat di bagian tengah Aceh. Me-nu-rut data Pemilu 2004, peringkat pertama di Aceh Tengah: Golkar 21 persen, Aceh Tenggara 50,44, Aceh Timur 24,88, dan lain-lain.
Dalam pilkada, kata Sayed, ”Faktor partai hanya menyumbang 30 persen,” ujarnya. Selebihnya adalah figur: dipercaya atau ditolak.
Nezar Patria, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo