Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mi basah kuning dan tahu putih itu tampak bersih dan kenyal. Jika dimasak menjadi soto mi atau mi godok, tentu nikmat sekali. Tapi, oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), air rendaman kedua bahan makanan ini justru dicampur dengan zat pereaksi asam kromatopat. Setelah dipanaskan, campuran yang ditampung dalam tabung kaca itu berubah menjadi ungu.
”Kuah” itu sama sekali tak menggoda selera. ”Inilah contoh hasil pengujian bakmi dan tahu yang mengandung formalin,” kata Siam Subagyo, Kepala Bidang Pangan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan POM. Jika tak mengandung formalin, campuran itu tak akan berubah warna.
Setelah dilakukan destilasi, kadar formalin dalam larutan diukur dengan spektrofotometer. Semakin pekat warna ungu larutan itu, semakin besar kandungan formalinnya. Dalam penelitian, Siam dan kawan-kawan sempat menemukan kandungan formalin pada bakmi basah hingga 1.000 part per million. Repotnya, sekali dituangkan dalam makanan, formalin tak bisa dihilangkan meski dicuci.
Formalin kini menghantui masyarakat setelah pekan lalu Badan POM mempublikasi hasil penelitiannya di delapan kota di Indonesia. Cairan yang biasa dipakai mengawetkan mayat ini ternyata dipakai sebagai bahan pengawet sejumlah makanan seperti tahu, mi basah, dan ikan. Dari sampel yang diambil di beberapa kota, hampir separuhnya mengandung formalin.
Contohnya di Jakarta. Dari 15 sampel mi basah yang diteliti, 10 di antaranya (66 persen) mengandung formalin. Adapun temuan formalin pada ikan mencapai 52 persen dan tahu 77 persen. Penelitian di kota-kota lain seperti Surabaya, Semarang, dan Bandar Lampung juga menghasilkan temuan serupa. Hanya di Bandung dan Yogyakarta tidak ditemukan tahu yang berformalin (lihat infografik: Temuan Makanan Berformalin).
Berbagai pengujian menunjukkan cairan jernih itu amat berbahaya bagi kesehatan. Jika zat itu masuk ke tubuh, orang mengalami gangguan pernapasan. Dalam jangka panjang, orang yang sering mengkonsumsi makanan berformalin bisa mengalami kerusakan hati, ginjal, dan jantung. Bahan pengawet ini diduga juga bisa memicu penyakit kanker.
Temuan Badan POM tidak bisa dianggap sepele. ”Ini sudah menjadi masalah yang sangat serius,” kata Indah Suksmaningsih, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut dia, kalangan produsen atau pedagang harus segera ditindak. Jika tidak, ia khawatir perilaku salah itu akan dianggap sebagai hal biasa dan lazim dilakukan.
Masyarakat pun kini ketakutan mengkonsumsi makanan yang diduga mengandung formalin. ”Saya makin takut membeli tahu sembarangan,” kata Nyonya Ansye Sapi’ie, 66 tahun, warga Rempoa, Tangerang. Penggemar berat tahu ini emoh membelinya dari pedagang keliling atau warung. Apalagi makanan yang berasal dari kedelai itu terasa keras bila dipegang. Itulah salah satu ciri tahu yang berformalin. Kini, nenek tiga cucu ini lebih suka pergi ke supermarket, meski harganya lebih mahal. ”Badan ini satu-satunya modal yang harus dijaga kesehatannya,” kata Ansye.
Sikap berhati-hati juga diambil Firdaus, 30 tahun, warga Bojonggede, Bogor. Karyawan perusahaan kosmetik di Pulogadung, Jakarta Timur, ini sering membeli tahu di pasar dekat rumah. Dia selalu berusaha memilih tahu yang empuk. ”Kalau tahunya terasa kenyal, saya tak akan beli,” katanya kepada Tempo usai membeli tahu goreng dalam perjalanan pulang dengan kereta listrik jurusan Manggarai-Bogor.
Sejatinya, penggunaan formalin sebagai pengawet makanan bukan hal baru. Lebih dari 20 tahun lalu, produsen mi sudah menggunakan bahan ini secara sembunyi-bunyi. Hanya, belakangan semakin banyak produsen yang nekat dan semakin banyak pula makanan yang mengandung formalin.
Kepala Badan POM, Sampurno, tak menampik bahaya di balik meluasnya penggunaan formalin. Itu sebabnya lembaga yang dipimpinnya terus-menerus melakukan pengujian sebagai bentuk pengawasan terhadap berbagai produk makanan yang beredar di pasaran. Tak hanya formalin, ada zat-zat berbahaya lain yang ditemukan dalam makanan dan minuman. Misalnya boraks, yang biasa dipakai sebagai pembasmi kecoa, dan Rhodamine B, yang biasa dipakai untuk pewarna tekstil.
Penggunaan zat berbahaya jelas dilarang, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Hal itu juga tak sejalan dengan Undang-Undang No. 7/1996 tentang Pangan, dan Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Siapa pun yang melanggar larangan itu bisa dikenai hukuman. Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Pangan, mereka yang dengan sengaja menggunakan bahan yang dilarang untuk bahan tambahan pangan diancam pidana penjara paling lama lima tahun, atau denda paling banyak Rp 600 juta. Hanya, dalam prakteknya, para pelaku tidak pernah mendapat hukuman maksimal. ”Sanksi (sebesar) itu belum pernah diberikan pengadilan,” kata Sampurno.
Dua tahun lalu, Badan POM bersama polisi pernah menyeret sejumlah produsen mi basah berformalin di Medan dan Yogyakarta ke pengadilan. Hasilnya, pelaku di Medan cuma diganjar penjara 18 bulan, sementara pengusaha dari Yogyakarta dikenai hukuman yang lebih rendah lagi. Menurut Sampurno, hukuman yang rendah seperti ini tak akan memunculkan efek jera.
Untuk temuan kali ini, Badan POM memberikan waktu dua pekan bagi produsen untuk memperbaiki produknya. Dua pekan mendatang, pengujian ulang akan serentak dilakukan. Jika masih ada pengusaha yang menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan, akan dilaporkan ke polisi.
Yang kini sudah diadukan ke polisi adalah seorang produsen formalin. Kamis pekan lalu, Sampurno menyampaikan laporan itu ke Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. Pengusaha tersebut mampu memproduksi 4.000 ton formalin per bulan, dan 1.000 ton di antaranya dijual bebas, termasuk melalui toko-toko kimia. Namun, sampai akhir pekan lalu, kepolisian belum bisa memberikan penjelasan soal laporan itu. ”Masih akan saya cek,” kata juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam.
Untuk mengontrol peredaran formalin, Sampurno tak punya kuasa. Meski begitu, ia akan mengusulkan ke Departemen Perdagangan agar para pembeli formalin diwajibkan menunjukkan kartu tanda penduduk. Dengan cara ini, jika terjadi penyalahgunaan, akan lebih gampang ditelusuri. Indah Suksmaningsih pun mendukungnya. ”Memang harus ada keberanian untuk mengatur seperti itu,” ujarnya.
Kerja sama antara berbagai instansi pemerintah perlu digalang untuk memerangi makanan berformalin. Menurut Indah Suksmaningsih, kini bukan waktunya lagi untuk saling lempar tanggung jawab. Soalnya, penggunaan formalin dalam makanan sekarang sudah merajalela. Seperti menaburkan garam, para produsen makanan melakukannya tanpa merasa bersalah. ”Padahal, mereka melakukan peracunan massal kepada konsumen,” kata Indah.
Dwi Wiyana
Apa Itu Formalin?
Formalin adalah larutan tak berwarna dengan bau menusuk hidung. Dalam cairan ini terkandung sekitar 37 persen formaldehida. Biasanya ditambah metanol hingga 15 persen sebagai pengawet.
Nama lain: Formol, Morbicid, Methanol, Formic aldehyde, Methyl oxide, Oxymethylene, Oxomethane, Formoform, Formalith, Karsan, Paraforin, Trioxane, UN No. : 11 98, dan CAS No. : 50-00-01
Kegunaan: Bahan pembunuh hama, pembasmi lalat, bahan perekat untuk produk kayu lapis, pengawet produk kosmetik, pembuatan pupuk dalam bentuk urea, pengawet mayat, dan lain-lain.
Ciri-ciri makanan berformalin:
- Lalat tak mau mendekat.
- Tahu bentuknya sangat bagus, kenyal, tak mudah hancur atau busuk, awet selama beberapa hari.
- Mi basah awet beberapa hari, tak mudah basi.
- Ayam potong berwarna putih bersih, awet, tak mudah busuk.
- Ikan basah berdaging kenyal, insang berwarna merah tua (bukan merah segar), awet, tidak mudah busuk hingga beberapa hari.
Ciri lain, warna pucat kusam, tak ada lendir, keras dan padat bila ditekan dengan jari, berbau asam, sayatan daging pucat kusam, antarjaringan longgar, isi perut terurai.
Bahaya Jangka Pendek
- Terhirup: Iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernapasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, batuk, kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernapasan seperti radang dan pembengkakan paru. Tanda-tanda lain: bersin, radang tekak, tenggorokan, sakit dada berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, dan muntah. Pada konsentrasi sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.
- Terkena kulit: Warna berubah merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar.
- Terkena mata: Timbul iritasi sehingga mata memerah, gatal, dan penglihatan kabur. Juga, air mata keluar dengan hebat dan terjadi kerusakan lensa mata.
- Tertelan: Mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit saat menelan, mual, muntah, dan diare. Kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, tekanan darah rendah, kejang, tidak sadar hingga koma. Juga, bisa terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, ginjal, dan susunan saraf pusat.
Bahaya Jangka Panjang
- Terhirup: Timbul sakit kepala, gangguan pernapasan, batuk, radang selaput lendir hidung, mual, mengantuk, dan luka pada ginjal. Efek neuropsikologis berupa gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan konsentrasi, dan daya ingat berkurang. Bisa menimbulkan gangguan haid dan kemandulan pada perempuan, kanker pada hidung, rongga hidung, mulut, tenggorokan, paru dan otak.
- Terkena kulit: Terasa panas, mati rasa, gatal, memerah, kerusakan pada jari tangan, pengerasan kulit, radang kulit yang menimbulkan gelembung.
- Terkena mata: Terjadi radang selaput mata.
- Tertelan: Timbul iritasi saluran pernapasan, muntah, pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan, dan gatal di dada.
Temuan Makanan Berformalin
1 Jakarta:
2 Bandung:
3 Bandar Lampung:
4 Semarang:
5 Yogyakarta:
6 Surabaya:
7 Mataram:
8 Makassar :
* Sumber: Diolah dari hasil wawancara, buku Formalin terbitan Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), dan situs Departemen Perikanan dan Kelautan RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo