Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Pilihan Tempo kembali memilih tujuh kategori
Tahun ini pandemi tak menyurutkan sineas untuk produktif menggarap film
Selain layanan OTT, tahun ini film Indonesia mulai banyak yang tayang di bioskop
Pandemi masih berlangsung, tapi geliat film Indonesia terasa lebih baik dari tahun lalu. Beberapa film Indonesia menang di festival Internasional—membuktikan makin diakuinya kualitas estetis film Indonesia. Film-film bertema baru juga bermunculan pada tahun ini. Pada trimester akhir tahun ini bioskop juga kembali dibuka. Selain memilih jalur penayangan over-the-top seperti Netflix, banyak produser yang memilih menayangkan filmnya di bioskop. Setiap pekan bisa dibilang hampir selalu ada film Indonesia yang tayang di bioskop. Dari puluhan film yang diproduksi tahun ini, baik yang tayang di jalur OTT maupun bioskop, Tempo memilih film, sutradara, penulis skenario, dan para pemeran terbaik versi Tempo. Tradisi Film Pilihan Tempo yang selalu digelar akhir tahun ini adalah bentuk komitmen Tempo untuk terus menyemangati tumbuhnya perfilman Indonesia yang bermutu.
MURAMNYA situasi perfilman Indonesia tahun lalu, meminjam judul film yang diadaptasi dari novel Eka Kurniawan, seolah dibayar tuntas tahun ini. Pagebluk memang tak betul-betul pergi. Namun kita bisa melihat gairah para sineas muda untuk berkompetisi memunculkan film-film dengan tema-tema baru. Tahun ini kita menyaksikan berbagai sineas muda yang merambah tema baru, seperti kekerasan di dunia digital sampai sejarah perjuangan kita di dunia penerbangan yang dilupakan. Tahun ini beberapa film kita juga meraih penghargaan dalam festival-festival film internasional bergengsi, dari Locarno Film Festival, Swiss; Toronto International Film Festival (TIFF); sampai Red Sea International Film Festival yang dihelat di Arab Saudi. Pada tahun ini pergulatan estetika perfilman Indonesia seolah mekar kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para sineas muda ini—untuk membangkitkan kembali industri film Tanah Air yang agak terpuruk tahun lalu—juga berkompetisi antara memilih penayangan melalui jalur layanan over-the-top (OTT) atau mencoba kembali penayangan di bioskop yang mulai diperbolehkan kembali beroperasi pada 16 September lalu. Film-film seperti Penyalin Cahaya, Aum!, Ali dan Ratu-Ratu Queens, One Night Stand, Layla Majnun, A Perfect Fit, Tersanjung: The Movie, dan Selesai memutuskan untuk menggunakan jalur OTT seperti Netflix, Disney Hotstar, KlikFilm, dan platform menonton sekali bayar seperti Bioskoponline.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawancara dan proses pemotretan Otig Pakis di kediamannya di Citayam, Bogor, Jawa Barat, 13 Desember 2021. Tempo/Isma Savitri
Adapun film seperti Losmen Bu Broto dan Kadet 1947 memilih jalur bioskop. Namun para produser film yang memilih jalur bioskop sadar kota-kota yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan sosial level 2 dan 3 maksimal kapasitasnya hanya boleh 50 persen. Siapa pun yang mau menonton di bioskop harus mematuhi prosedur kesehatan berbasis aplikasi yang ketat. Betapa pun demikian, film Kadet 1947 misalnya, yang sebenarnya sudah digarap sejak tahun lalu, tetap memilih jalur bioskop. Produser film ini memilih menahan diri dulu, meski filmnya sudah bisa tayang di layar lebar tahun ini. Pilihan ini bisa dipahami mengingat secara sinematik film yang menampilkan pengeboman pertama Angkatan Udara kita dari Maguwo ke markas-markas Belanda bisa jadi berkurang geregetnya bila hanya ditonton di layar gawai.
Dan hasilnya, performa film yang ditayangkan melalui OTT dan bioskop cukup lumayan. Film animasi Nussa produksi Visinema dan studio The Little Giantz, karena pandemi, proses pengisian suaranya tak dilakukan di studio, melainkan di rumah masing-masing artis. Nussa tercatat sebagai film Indonesia dengan jumlah penonton bioskop terbanyak selama 2021. Sejak 26 September hingga pekan pertama Desember 2021, Nussa yang tayang perdana di Bucheon International Fantastic Film Festival (Bifan) Korea Selatan ini sudah ditonton lebih dari 443 ribu orang. Jumlah itu diikuti film lain, seperti Yowis Ben 3 yang hingga awal Desember meraih 355 ribu penonton, Tarian Lengger Maut dengan 222 ribu penonton, Kuyang The Movie dengan 126 ribu penonton, dan Losmen Bu Broto dengan 120 ribu penonton. Di belakang film-film itu ada sejumlah judul yang sampai kini masih tayang di bioskop, yakni Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Yuni. Dua film terakhir, sampai tulisan ini dibuat, masih tayang di bioskop dengan puluhan ribu penonton. Adapun dari OTT, ada film Selesai dengan jumlah penonton lebih dari 100 ribu.
Pemotretan sutradara Penyalin Cahaya, Wregas Bhanuteja di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta Barat, 14 Desember 2021. Tempo/Jati Mahatmaji
Gairah bangkitnya film Indonesia ini juga didukung pemerintah yang memiliki program pemberian bantuan terhadap rumah produksi dan komunitas film. Tercatat, ada 56 rumah produksi dan komunitas film yang menerima bantuan skema produksi dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dari jumlah itu, 23 di antaranya adalah rumah produksi, sedangkan sisanya komunitas film. Mereka diproyeksikan dapat menggarap 29 film pendek dan 27 film dokumenter dengan dana bantuan Rp 250 juta per kelompok. Pemerintah juga menyiapkan skema bantuan lain, yakni dukungan promosi dan praproduksi untuk film panjang. Sementara bantuan promosi disiapkan Rp 1,5 miliar per film, dan dukungan praproduksi untuk 50 rumah produksi yang akan menggarap 88 karya disiapkan Rp 860 juta per proyek film. Paranoia, Cinta Bete, Kadet 1947, Yowis Ben 3, dan Akhirat: A Love Story termasuk yang menerima bantuan skema promosi.
•••
GAIRAH yang mulai terasa dalam ekosistem perfilman ikut kami rasakan saat penjurian Film Pilihan Tempo 2021. Bila tahun lalu kami lebih banyak menonton film secara daring, tahun ini sesekali kami juga menyambangi bioskop untuk merasakan pengalaman sinematik berbeda. Sejumlah film juga tayang di festival film yang mulai ramai digelar secara luar jaringan. Contohnya film Ranah 3 Warna, Death Knot, dan Kadet 1947 yang tayang di Jakarta Film Week pada medio November lalu. Juga film Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga yang bisa dinikmati di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Adapun film Penyalin Cahaya tayang perdana di Busan International Film Festival, Yuni di TIFF, Preman di Seattle International Film Festival, dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas di Locarno Film Festival.
Juri Edisi Khusus Film Pilihan Tempo 2021, Leila S Chudori. TEMPO
Tradisi Film Pilihan Tempo, seperti sebelumnya, kembali hendak memberikan apresiasi kepada karya dan para seniman peran. Kami menyeleksi film panjang berdurasi minimal 60 menit yang dirilis pada Desember 2020 hingga November 2021. Film yang kami pilah paling tidak sudah pernah ditayangkan sekali untuk publik, baik di jalur festival film, layanan OTT, komunitas, maupun bioskop. Tahun ini cukup banyak film yang kami catat sebelum memulai penjurian untuk tujuh kategori: Film Pilihan, Sutradara Pilihan, Skenario Pilihan, Aktor Pilihan, Aktris Pilihan, Aktor Pendukung Pilihan, dan Aktris Pendukung Pilihan.
Kategori itulah yang kami bawa ke ruang penjurian, yang karena sejumlah hal, dilakukan secara daring. Kami berdiskusi lewat layanan video konferensi dan kerap melanjutkan perdebatan hingga di aplikasi ruang obrol. Juri terdiri atas tim redaksi Tempo yang selama ini terbiasa meliput dan menulis resensi film serta menyunting tulisan sinema. Namun, seperti biasa, kami juga mengundang tiga juri dari luar Tempo yang memang mengamati serta mempelajari perkembangan film. Mereka adalah Leila S. Chudori, sastrawan dan penulis sinema; Adrian Jonathan Pasaribu, pendiri situs kajian film Cinema Poetica; serta Marselli Sumarno, dosen Fakultas Film dan Televisi di Institut Kesenian Jakarta. Ketiganya turut menulis dalam laporan khusus untuk tulisan Film, Sutradara, dan Skenario Pilihan.
Persoalan kekerasan menjadi tema paling menonjol dari daftar film yang kami seleksi. Dimensi kekerasan hadir di film-film yang kemudian terpilih menjadi lima besar pilihan tim juri. Dari kekerasan adat, seksual, pernikahan di bawah umur, hingga kekerasan fisik. Tema kekerasan seksual di ranah digital hadir lewat film Penyalin Cahaya yang menyuguhkan problem aktual: si tokoh utama yang mendapat ketidakadilan atas aktivitas di media sosial. Sedangkan tema kekerasan fisik dan trauma masa lalu tersaji dalam Preman dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Akan halnya Cinta Bete, film ini merajut problem kekerasan berbasis adat, sedangkan Yuni merentangkan problem gender di perdesaan, dari kawin paksa hingga mitos yang membelenggu perempuan.
Juri Edisi Khusus Film Pilihan Tempo 2021, Adrian Jonathan. TEMPO/Charisma Adristy
Selain bergerak di lanskap kekerasan, sejumlah film Indonesia yang lahir tahun ini juga menawarkan tema dan kemasan baru yang segar. Film Kadet 1947, misalnya, menyajikan figur-figur pahlawan baru yang selama ini namanya belum dapat sorotan. Fragmen sejarah yang diangkat film garapan sutradara Rahabi Mandra dan Aldo Swastia ini pun menarik karena mengisahkan peristiwa heroik pengeboman udara pertama oleh kadet-kadet sekolah penerbangan Maguwo, Yogyakarta. Film bergenre drama ini digarap dengan dana terbatas, tapi tetap dapat memberi gambaran penting soal kepahlawanan.
Dari sejumlah film menarik tahun ini, perdebatan di ruang penjurian mengerucut pada film Yuni dan Penyalin Cahaya. Kedua film ini sama-sama penting lantaran berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan penindasan oleh mitos yang langgeng di sekitar kita. Dua film ini, karena pilihan tema ataupun capaian penyutradaraan dan sinematografinya, lebih unggul daripada tiga kandidat Film Pilihan Tempo lain, yakni Preman, Cinta Bete, dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.
Spektrum kekerasan verbal dan ketubuhan terekam dalam adegan-adegan puitis dalam film Preman. Debut sutradara muda Randolph Zaini ini menyuguhkan situasi perundungan di sekolah yang melahirkan trauma panjang bagi korban, baik secara psikologis maupun fisik. Si korban, yang tak lain menjadi pemeran utama, menjadi tuli karena kekerasan yang dialaminya di sekolah. Koreografi dan penokohan digarap apik oleh Randolph. Begitu pun situasi patriarki di perkampungan serta minimnya pendidikan seks remaja yang membuat Yuni tampak benderang dan menjadi perhatian juri.
Namun, dari perdebatan panjang, tim juri memilih Penyalin Cahaya sebagai Film Pilihan Tempo. Gagasan yang dibawa film arahan Wregas Bhanuteja ini aktual dan dipaparkan dengan narasi yang kekinian. Judulnya juga menarik perhatian dan terdengar lebih indah daripada versi bahasa Inggrisnya: Photocopier. “Sebagai film, Penyalin Cahaya mempunyai layer yang lebih banyak dan membubuhkan sejumlah hal menarik sebagai pengait cerita. Misalnya dengan memunculkan makhluk mitologi Medusa yang menyimbolkan kemarahan perempuan,” ucap Adrian Jonathan, salah satu juri. Film ini, rencananya, bakal tayang di Netflix pertengahan Januari mendatang.
Juri Edisi Khusus Film Pilihan Tempo 2021, Marselli. TEMPO/Charisma Adristy
Penyalin Cahaya dan Yuni juga melahirkan adu pendapat di ruang penjurian untuk kategori Sutradara Pilihan dan Skenario Pilihan. Kedua film ini sama-sama kuat dalam hal pengarahan dan kisah, walau tetap punya sejumlah lubang. Salah satu juri, Leila S. Chudori, menyebut skenario Penyalin Cahaya sebenarnya rapi, tapi adegan penutupnya kurang berhasil. Adegan yang sejak awal konsisten realis juga sayangnya malah dibumbui visual surelis menjelang akhir film. “Tapi memang misteri dalam film ini membuat kita tak berhenti menontonnya sampai akhir,” ujarnya.
Di daftar nomine Sutradara Pilihan, Kamila Andini (Yuni) dan Wregas Bhanuteja (Penyalin Cahaya) bersaing dengan Edwin (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) dan Randolph Zaini (Preman). Adapun yang menjadi nomine Skenario Pilihan Tempo adalah Kamila Andini dan Prima Rusdi (Yuni), Alim Sudio (Losmen Bu Broto), dan Randolph Zaini (Preman). Saat menentukan Aktor Pilihan, juri sepakat memilih Khiva Iskak dalam daftar yang diisi juga oleh Slamet Rahardjo (Cinta Pertama, Kedua, & Ketiga), Marthino Lio (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), dan Lukman Sardi (Paranoia). Peran Khiva sebagai Sandi dalam Preman dianggap juri cemerlang. “Peran yang dia tampilkan tak mudah dan tak lazim. Psikologisnya juga kompleks sebagai bapak sekaligus preman, dan di sini Khiva dapat menggali perannya dengan baik dan komplit,” ujar Adrian Jonathan.
Begitu pula saat menentukan Arawinda Kirana sebagai Aktris Pilihan Tempo dari deretan nomine yang juga dihuni Maudy Koesnaedi (Losmen Bu Broto), Shenina Cinnamon (Penyalin Cahaya), Hana Malasan (Cinta Bete), dan Ladya Cheryl (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas). Arawinda tampil meyakinkan sebagai Yuni lewat gestur, dialek, juga caranya menghidupkan karakter remaja perempuan yang memberontak. Dengan seluruh tubuhnya, Arawinda dianggap juri dapat menampilkan kompleksitas pemikiran dan situasi yang menindasnya.
Perdebatan alot terjadi saat menentukan Aktor Pendukung Pilihan Tempo dengan kandidat Reza Rahadian (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas), Muzakki Ramdhan (Preman), Kevin Ardilova (Yuni), dan Otig Pakis (Cinta Bete). Sebagai Budi Baik, Reza terlihat kuat merasuk ke karakter preman kampung yang norak, tengil, sekaligus perkasa. Sementara Otig tampil anggun sebagai seorang bapak dan bangsawan yang terbelenggu adat. Peran berlapis yang dibawakan Otig, juga ledakannya di pengujung film, membawa pengaruh besar di Cinta Bete. Ini yang membuat juri mendapuknya sebagai Aktor Pendukung Pilihan.
Di lini Aktris Pendukung, pilihannya cukup berat karena Asmara Abigail (Yuni), Marissa Anita (Yuni), Putri Marino (Losmen Bu Broto), dan Ratu Felisha (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) sama apiknya. Namun juri akhirnya memilih Putri Marino, dengan pertimbangan ia dapat menaklukkan bentang emosi yang luas dari tokoh Mbak Pur.
Pembaca, Film Pilihan Tempo dalam laporan khusus ini menunjukkan bagaimana semangat industri film kita sedang bergemuruh. Lebih dari seratus film dirilis dan jumlahnya bisa jadi berlipat ganda seiring dengan membaiknya situasi pandemi. Tentu kita berharap, sekaligus meyakini, jagat perfilman Indonesia bakal lebih menggeliat di tahun mendatang.
TIM LAPORAN KHUSUS FILM PILIHAN TEMPO 2021
PENANGGUNG JAWAB
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
KEPALA PROYEK
Isma Savitri
PENULIS DAN DEWAN JURI
Marselli Sumarno, Leila S. Chudori, Adrian Jonathan Pasaribu, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Isma Savitri, Aisha Shaidra, Dian Yuliastuti, Mitra Tarigan
PENYUNTING
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
BAHASA
Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo
FOTO
Jati Mahatmaji, Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih, M. Taufan Rengganis
DESAIN
Djunaedi, Eko Punto
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo