WARGA RW 05, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta
Utara sudah banyak memiliki rumah beton. Juga jalan-jalan, rumah
ibadah (gereja dan masjid), sekolah SD sampai SLA. Tapi tak
berarti hidup mereka bebas dari keresahan bahwa sewaktu-waktu
akan digusur. Perkampungan ini berada menyuruk jauh ke tengah
rawa dan sawah.
Keresahan akan kemungkinan kena gusur dari 1000 kepala keluarga
warga Jakarta ini, sudah berlangsung sejak 5 tahun lalu. Yakni
sejak sebuah papan raksasa milik PT Agung Podo Moro (sebuah
perusahaan real estate) tiba-tiba mendekam di suatu kelokan
jalan tak jauh dari kampung RW 05. Ini berarti kawasan yang
berada di bawah papan nama itu merupakan daerak yang
sewaktu-waktu bisa dibebaskan untuk dijadikan milik atau wilayah
kerja perusahaan real estate tersebut.
Hak perusahaan tadi tentu bukan didapat begitu saja. Tapi berupa
secarik kertas keputusan bernomor 8111 yang dikeluarkan Gubernur
DKI Jakarta Nopember 1973.
SK tersebut tampaknya tak mempedulikan apakah areal tanah yang
dikuasai Podo Moro mencakup perkampungan warga kota yang sudah
lama bersusah payah membenahinya atau tidak. "Jalan-jalan di
sini dulunya rawa-rawa. Kini sudah dikeraskan dengan batu,"
tutur seorang pengurus RT. Dan tanpa banyak cincong, warga
setempat melengkapinya dengan tempat-tempat pendidikan sejak SD
sampai SLA. Begitu pula sarana-sarana lainnya. Hingga, warga
kampung yang terdiri dari berbagai suku itu, sebegitu jauh
tampak hidup rukun.
Air, Air
Meski begitu pergulatan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tak
semudah memupuk kerukunan hidup itu. Dalam hal memenuhi
kebutuhan air minum misalnya setiap hari penduduk terpaksa harus
membeli air yang ditimba dari Tanjung Priok dengan harga Rp 400
per gerobak berisi 10 galon, atau kira-kira 40 liter. Sebab
selain air di kawasan itu terasa asin, perusahaan air minum DKI
rupanya masih jauh dari rencana mengulurkan pipa-pipanya ke
sana. Pernah Lurah Sunter Haji Abdul Mutolib menjanjikan akan
membangun bak penampungan air minum di kompleks RW 05 itu. Itu
dijanjikan penjabat resmi DKI tadi dalam kcsempatan perayaan HUT
Proklamasi Kemerdekaan. "Tapi sampai sekarang dan sudah mau HUT
Proklamasi lagi, bak air itu tak pernah ada tanda-tanda akan
dibangun," keluh seorang wakil RT di sana.
Selain soal air minum, soal penerangan juga jadi masalah. Pernah
misalnya secara swadaya untuk menjaga kampung tersebut jangan
gelap gelita di malam hari, diusahakan sebuah disel listerik.
Itu berkat gagasan dan upaya Ketua RW Mariman, bersama pemuka
masyarakat lainnya. Tapi disel tersebut cuma berjalan tak sampai
setahun dan kini gelap kembali. Ada memang tiang-tiang natrium
terpancang di jalan yang melintasi kampung itu tapi bukan untuk
keperluan kampung itu. Karena kawat-kawat yang melintas di sana
cuma untuk memenuhi kebutuhan penerangan kompleks Sekretariat
Negara yang belum lama diresmikan. Dan lampu natrium itu sendiri
kini masih merupakan alat penghias di siang hari saja.
Tapi yang terutama jadi keresahan warga di sini ialah perkara
penggusuran tadi. Mereka telah berusaha agar "pemutihan atau
pembebasan dari cengkeraman kawasan real estate." Sudah tak
kurang dari 3 kali sampai kini warga RW yang tahun kemarin
menggondol juara III lomba desa se DKI itu melayangkan surat
kepada Gubernur DKI dan DPRD DKI. "Sayang sampai kini belum ada
jawaban apakah surat itu diterima atau masuk keranjang sampah,"
gerutu seorang penduduk.
Dan bila semua itu dihadapkan ke Balai Kota, jurubicaranya B.
Harahap dengan mantap menasehatkan para warga RW 05 Kelurahan
Sunter itu: "Tenang-tenang saja!" Kenapa? "Masih diteliti apakah
memang real estate tersebut sudah menjalankan kewajibannya
sesuai perizinan. Dan bila akan ada penggusuran akan
diselesaikan secara baik." Yang pasti sejak 1973 PT Agung Podo
Moro tak pernah melakukan kegiatan apa-apa.