Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dimomoki podo moro

Warga rt 05 kelurahan sunter, kecamatan tanjung priok, jak-ut resah karena kawasan tersebut akan dipakai proyek real estate. pihak developer, pt agung podo moro sejak 1973 belum melakukan kegiatan apa-apa.(kt)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA RW 05, Kelurahan Sunter, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara sudah banyak memiliki rumah beton. Juga jalan-jalan, rumah ibadah (gereja dan masjid), sekolah SD sampai SLA. Tapi tak berarti hidup mereka bebas dari keresahan bahwa sewaktu-waktu akan digusur. Perkampungan ini berada menyuruk jauh ke tengah rawa dan sawah. Keresahan akan kemungkinan kena gusur dari 1000 kepala keluarga warga Jakarta ini, sudah berlangsung sejak 5 tahun lalu. Yakni sejak sebuah papan raksasa milik PT Agung Podo Moro (sebuah perusahaan real estate) tiba-tiba mendekam di suatu kelokan jalan tak jauh dari kampung RW 05. Ini berarti kawasan yang berada di bawah papan nama itu merupakan daerak yang sewaktu-waktu bisa dibebaskan untuk dijadikan milik atau wilayah kerja perusahaan real estate tersebut. Hak perusahaan tadi tentu bukan didapat begitu saja. Tapi berupa secarik kertas keputusan bernomor 8111 yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta Nopember 1973. SK tersebut tampaknya tak mempedulikan apakah areal tanah yang dikuasai Podo Moro mencakup perkampungan warga kota yang sudah lama bersusah payah membenahinya atau tidak. "Jalan-jalan di sini dulunya rawa-rawa. Kini sudah dikeraskan dengan batu," tutur seorang pengurus RT. Dan tanpa banyak cincong, warga setempat melengkapinya dengan tempat-tempat pendidikan sejak SD sampai SLA. Begitu pula sarana-sarana lainnya. Hingga, warga kampung yang terdiri dari berbagai suku itu, sebegitu jauh tampak hidup rukun. Air, Air Meski begitu pergulatan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tak semudah memupuk kerukunan hidup itu. Dalam hal memenuhi kebutuhan air minum misalnya setiap hari penduduk terpaksa harus membeli air yang ditimba dari Tanjung Priok dengan harga Rp 400 per gerobak berisi 10 galon, atau kira-kira 40 liter. Sebab selain air di kawasan itu terasa asin, perusahaan air minum DKI rupanya masih jauh dari rencana mengulurkan pipa-pipanya ke sana. Pernah Lurah Sunter Haji Abdul Mutolib menjanjikan akan membangun bak penampungan air minum di kompleks RW 05 itu. Itu dijanjikan penjabat resmi DKI tadi dalam kcsempatan perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan. "Tapi sampai sekarang dan sudah mau HUT Proklamasi lagi, bak air itu tak pernah ada tanda-tanda akan dibangun," keluh seorang wakil RT di sana. Selain soal air minum, soal penerangan juga jadi masalah. Pernah misalnya secara swadaya untuk menjaga kampung tersebut jangan gelap gelita di malam hari, diusahakan sebuah disel listerik. Itu berkat gagasan dan upaya Ketua RW Mariman, bersama pemuka masyarakat lainnya. Tapi disel tersebut cuma berjalan tak sampai setahun dan kini gelap kembali. Ada memang tiang-tiang natrium terpancang di jalan yang melintasi kampung itu tapi bukan untuk keperluan kampung itu. Karena kawat-kawat yang melintas di sana cuma untuk memenuhi kebutuhan penerangan kompleks Sekretariat Negara yang belum lama diresmikan. Dan lampu natrium itu sendiri kini masih merupakan alat penghias di siang hari saja. Tapi yang terutama jadi keresahan warga di sini ialah perkara penggusuran tadi. Mereka telah berusaha agar "pemutihan atau pembebasan dari cengkeraman kawasan real estate." Sudah tak kurang dari 3 kali sampai kini warga RW yang tahun kemarin menggondol juara III lomba desa se DKI itu melayangkan surat kepada Gubernur DKI dan DPRD DKI. "Sayang sampai kini belum ada jawaban apakah surat itu diterima atau masuk keranjang sampah," gerutu seorang penduduk. Dan bila semua itu dihadapkan ke Balai Kota, jurubicaranya B. Harahap dengan mantap menasehatkan para warga RW 05 Kelurahan Sunter itu: "Tenang-tenang saja!" Kenapa? "Masih diteliti apakah memang real estate tersebut sudah menjalankan kewajibannya sesuai perizinan. Dan bila akan ada penggusuran akan diselesaikan secara baik." Yang pasti sejak 1973 PT Agung Podo Moro tak pernah melakukan kegiatan apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus