Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dongeng Sehelai Kain

Motif batik pesisir dari artisan Belanda dan Cina unik, rumit, dan halus. Ada filosofi tersirat dalam ragam motifnya.

19 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH Sampek-Engtay, yang merupakan Romeo-Juliet ala Tionghoa, tertoreh pada sehelai kain batik panjang Djawa Hokokai koleksi Hartono Sumarsono. Legenda ini hanya salah satu tema dari sekian banyak motif Djawa Hokokai yang khas Pekalongan. "Tapi motif ini termasuk langka," kata Hartono.

Djawa Hokokai sebenarnya bukan nama perusahaan batik, melainkan organisasi bentukan Jepang yang beranggotakan orang Indonesia. Batik motif ini dibuat sebagai hadiah anggota organisasi. Dulu motif ini sepi peminat karena pemakainya takut dianggap pengkhianat. Inilah yang membuat Djawa Hokokai langka.

Pengaruh Jepang terlihat pada teknik pewarnaan yang mirip teknik yuzen—populer di Jepang pada 1700. Batik ini membutuhkan ketelitian karena isen-isen (hiasan di dalam motif besar) sangat halus. Motif utamanya adalah bunga ukuran besar, buruk merak, kipas, dan kupu-kupu besar. Motif utama disusun rapat di bagian bawah, disebut shusho, mirip motif kimono.

Pengaruh Cina pada batik pesisir memang amat kental. Kain batik bermutu tinggi dari Pekalongan dihasilkan oleh sejumlah pembatikan milik Cina peranakan, antara lain Oey Soe Tjoen dan istrinya, Kwee Nettie. Batik buatan mereka terkenal halus dan indah. Misalnya selembar sarung dengan motif bunga gerbera dan bangau nyocoki tumo (bangau mencatuk kutu). Batik ini dibuat pada 1940.

Pembatik Cina lainnya, The Tie Siet, membuat motif khusus. Di balik motif utama buketan (rangkaian bunga), dia menciptakan isen-isen atau hiasan pengisi latar yang sangat padat, mirip batik Laseman. Isen-isen juga mengisi latar salah satu sisi kain panjang pagi sorenya.

Buketan dipengaruhi oleh sebagian tradisi santri kala itu, yang masih menganggap menggambar hewan atau manusia adalah sesuatu yang haram. Dalam perkembangannya, motif buketan kemudian dipengaruhi oleh tradisi Cina dengan memasukkan unsur flora yang dipadukan dengan bunga, seperti aneka burung dan kupu-kupu.

1 1 1

KOLEKTOR batik pesisiran juga mengincar kain dari pembatikan milik keturunan Belanda, semisal Lien Metzelaar-de Stoop dan Eliza van Zuylen. Pembatikan Metzelaar sangat populer pada 1880-1919. Menurut Hartono, Metzelaar menemukan motif-motif baru yang ditiru pembatik lain. Kepala kain tidak lagi diberi ragam hias pasung, melainkan bunga-bungaan. Motif burung mulai ditemukan di kepala kain. Motif nitik-nya dibuat oleh Haji May, seorang artisan batik yang termasyhur dengan motif nitik.

Nyonya Metzelaar sudah memakai tata letak terang bulan sejak 1870-an. Terang bulan kembali menjadi tren pada 1920-an di Garut dan Tasikmalaya. Pada zaman Jepang (1942-1945), motif ini kembali populer di Pekalongan dalam bentuk batik Djawa Hokokai. Ciri khas Metzelaar lainnya adalah motif bangau pada kepala batik. Bangau belakangan ditemui pada batik buatan orang lain. Pada masa itu, dongeng Eropa, seperti Si Topi Merah dan Serigala (Roodkapje) Hans dan Grettel, serta Robin Hood, juga mewarnai ragam motif batik Pekalongan.

Dalam buku Batik Pesisir: Pusaka Indonesia, Hartono menyebutkan seorang Indo-Jerman, Carolina Josephina von Franquemont, sejak 1840 memulai usaha pembatikan di Surabaya. Dia membuat batik warna-warni meniru kain chintz yang mahal dari India. Batiknya disebut batik Prankemonan. Dia berhasil menciptakan warna hijau kebiruan dengan campuran dan pembabaran berulang. Dia mengenalkan pinggir gaya baru di bagian bawah kain dan sepanjang kepala. Namanya boog (lengkungan), yang oleh lidah setempat disebut booh.

Selain batik yang dibuat peranakan Cina dan Eropa, batik antik pesisiran lain yang tergolong mahal dan diburu para kolektor adalah batik Tiga Negeri dari Lasem. Disebut Tiga Negeri karena dibuat oleh pembatik di tiga daerah. Pembatik Lasem hanya bisa menciptakan warna merah. Sedangkan untuk warna biru dan kuning, batik harus dibawa ke Kudus atau Pekalongan. Lalu untuk mewarnai cokelat (soga) dikirim ke Solo atau Yogyakarta. "Pengaruh warna gelap tiga negeri berasal dari Tiongkok," kata Sigit Witjaksono, pemilik usaha batik Sekar Kencana, Lasem.

1 1 1

BERBEDA dengan batik Pekalongan dan Lasem yang beraneka warna, batik Yogyakarta dan Solo motifnya seragam. Ini memang disengaja. Tumbu Ramelan dalam bukunya, The 20th Century Batik Masterpieces, menyebutkan beberapa motif dibuat berdasarkan kondisi politik. Saat Mataram pecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1755, peristiwa ini direkam pada motif pola ceplok belah kedaton.

Kasultanan Yogyakarta mempertahankan motif dan corak batik Mataram dengan latar putih, sedangkan Kasunanan Surakarta mengembangkan batik baru dengan warna latar kekuningan. Lalu, saat Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta terbentuk, berkembanglah motif Mangkunegaran. Perbedaannya terletak pada luwesnya pengaturan isen dan pola. Batik Mangkunegaran populer antara lain lewat motif buketan pakis, buketan sonder, kelithik gelebag, seruni, dan parang kesitbarong.

Akibat permasalahan dengan Gubernur Jenderal Raffles, pada 1812, berdirilah Kadipaten Pakualaman di Kesultanan Yogyakarta. Peristiwa ini direkam dalam pola batik kawung geger atau kawung geger sekurung. Awalnya, batik Pakualaman memiliki kesamaan dengan batik Kesultanan Yogyakarta, sampai Paku Alam VII mempersunting putri Paku Buwono X dari Surakarta sebagai permaisuri. "Sejak itulah awal mula batik Pakualaman berpadu pola dengan batik Yogyakarta dengan warna Surakarta," kata Tumbu Ramelan.

Karena motif dan warnanya hampir seragam, penilaian kolektor pada nilai batik keraton memang bukan pada kecantikan dan kecerahan warna. Para kolektor—yang biasanya memiliki hubungan keturunan atau spiritual dengan keraton—lebih menilai batik antik keratonan pada nilai filosofinya.

Motif batik Yogyakarta dan Solo memiliki filosofi dan makna tertentu. Motif parang rusak, misalnya. Konon, motif ini diciptakan Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati. Parang rusak berarti perang melawan hal-hal yang merusak. Motif ini terdiri atas uceng atau ornamen lidah api sebagai simbol amarah dan ornamen mlinjon atau blumbangan sebagai lambang nafsu.

Asmoro Damais, desainer dan ahli kain, mengatakan arti dan filosofi motif klasik batik keraton Solo dan Yogyakarta sebagian besar adalah hasil interpretasi. Sebab, tidak pernah ada catatan arti dari motif-motif batik tersebut. "Pada dasarnya tidak ada sebuah serat yang mengatakan motif ini dibuat oleh siapa dan artinya apa. Itu hanya cerita turun-temurun," katanya.

Dia menambahkan, motif batik Yogyakarta dan Solo sebetulnya juga tidak berkaitan dengan prosesi ritual keraton. "Semua kain ritual keraton justru bukan batik, tapi kain kembangan," katanya.

Ninin P. Damayanti, Sohirin (Pekalongan), Bandelan Amaruddin (Lasem), Muh. Syaifullah (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus