Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1960: Presiden Sukarno menunjuk Baramuli menjadi gubernur untuk daerah Sulawesi Tengah dan Utara. Kala itu ia baru berumur 29 tahun, setahun lebih muda dari persyaratan yang ditentukan. Ia pun duduk sebagai anggota DPA bersama dengan A. Nasution dan Idham Khalid.
1973: Kembali ke dunia bisnis. Saat itu ia berumur 42 tahun. Pada saat yang sama, ia pun memasuki dunia politik. Baramuli berpendapat, jika ingin berhasil di dunia politik, seseorang harus memiliki latar belakang ekonomi yang kuat.
1973: Bekerja sama dengan perusahaan Jepang, Toray Industries Co., mendirikan PT Indonesia Toray Synthetics, dengan total investasi US$ 30 juta. Poleko memiliki 16 persen saham di perusahaan itu.
1973: Merambah ke perkayuan. Di Pulau Obi, Halmahera, Poleko memiliki hak pengusahaan hutan. Bekerja sama dengan PT Marubeni yang berlokasi di Jepang. Berkat kepandaian melobi, ia mendapat pinjaman tanpa jaminan sebesar US$ 1,5 juta.
1974: Baramuli membangun perusahaan karung goni di Pinrang. Dengan modal Rp 2 miliar dan pinjaman dari bank lokal Rp 5 miliar.
1976: Merintis usaha kimia dengan mendirikan PT Arjuna Kimia di Surabaya. Bekerja sama dengan perusahaan Jepang bernama Mitsui Toatsu. Poleko menguasai 40 persen saham.
1976: Mencoba peruntungan di bisnis garmen dengan mendirikan PT Pacific Star dan PT Orchid Beautiful Garment Indonesia di Bekasi, Jawa Barat. Ia juga mendirikan PT United Coconut Tuna Indonesia di Manado.
1977: Kembali mendirikan perusahaan kimia di Bekasi bernama PT Poleko Indonesia Chemicals Joint dengan Kao Corporation, perusahaan Jepang. Modal awalnya hanya US$ 6 juta.
1989: Modalnya melonjak menjadi US$ 20 juta. Pendapatannya di atas Rp 50 miliar per tahun.
1990: Mendirikan PT Poleko Kemas dengan total investasi Rp 2,8 miliar.
1991: Melirik sektor turis dan pariwisata. Ia mendirikan Poleko Hotel di
Bali, Lombok, Toraja. Kemudian di Jakarta, Manado, dan Yogyakarta. Pada tahun yang sama, ia mendirikan PT Laguna Nusantara Prima, dengan total modal Rp 50 miliar.
1971-1992: Sebagai anggota DPR mewakili Golkar. Seiring dengan bisnisnya yang makin maju, Baramuli mulai aktif di organisasi sosial dan politik. Karir politiknya makin mantap. Demikian pula bisnisnya. Mulanya hanya memiliki tiga cabang, dengan kantor pusat di Ujungpandang. Namun, saat ini cabang Poleko sudah mencapai 31 buah, dengan aset sekitar Rp 3 triliun.
1994-1996: Berhasil membongkar skandal Bapindo yang melibatkan Eddy Tansil dan sejumlah pejabat.
Awal 1996: Bisnisnya diserahkan ke anak-anaknya. Ia merasa sudah tidak punya cukup waktu untuk itu. Tapi ia masih tetap memegang kendali komisaris utama. Grup Poleko saat itu sudah memiliki 12 perusahaan dengan jumlah pegawai lebih dari 8.000 orang.
1997: Krisis. Perusahaan Baramuli pun terpuruk. Proyek properti yang paling terhantam. Bisnis lainnya yaitu tekstil, kimia, dan kayu dapat tetap bertahan. PT Osmo Semen Indonesia, yang semula rencananya membutuhkan investasi US$ 251 juta pada akhir 1999, terpaksa dijadwal ulang.
1998: Tragedi Semanggi melilitkan problem baru pada Baramuli. Ia "bentrok" dengan Barisan Nasional.
1999: Total investasi Grup Poleko mencapai US$ 350 juta. Andil dari pemilik Poleko sebanyak US$ 100 juta, sisanya adalah milik rekan bisnisnya. Saat ini, Poleko memiliki 18 pabrik dengan 13 perusahaan yang tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, dan Maluku.
Wahyu Muryadi, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo