Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SECARIK surat itu mengungkapkan kegelisahan Soe Hok-gie atas tragedi pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia pada 1965-1968. Ditulis pada 20 Maret 1968, surat tersebut menggugat penjagalan massal di Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hok-gie menulisnya untuk Herbert Feith, sahabat diskusinya dari Australian National University, yang kerap menulis tentang Indonesia.
Hok-gie membuka surat itu dengan kalimat, "Bapak Herbert Feith yang baik." Ia kemudian menuturkan tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI. Hok-gie mengutip laporan wartawan harian Kompas tentang cara milisi Pertahanan Rakyat dan Pertahanan Sipil menghabisi orang-orang PKI.
Hok-gie, misalnya, menuliskan kisah pembantaian di Purwodadi. Suatu malam, di atas pukul 21.00, milisi Pertahanan Rakyat dan Pertahanan Sipil bergerak menebar maut begitu kereta api Wirosari melintas. Hok-gie tak menyebutkan lokasi persis pembantaian. Tapi ia memperkirakan korban pembantaian malam itu mencapai 75 orang. "Mereka dipukul dengan besi, ditikam, dan kadang-kadang ditembak," tulisnya.
Operasi "pembersihan" PKI di berbagai daerah itu dikenal dengan Operasi Kikis I dan II, pada 1967-1968. Operasi itu merupakan reaksi atas pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat di Jakarta yang kerap disebut Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) 1965. Dalam biografi Kemerdekaan Memilih, aktivis hak asasi manusia dari Belanda, Poncke Princen, menulis bahwa di Grobogan saja sekitar 3.000 anggota PKI dihabisi.
Masih dalam surat untuk Feith, Hok-gie menulis, sebelum dibunuh, para korban itu diinterogasi di kamp tawanan. Pertanyaan untuk korban senada: apakah mereka ikut PKI? Penginterogasi pun hanya mau mendengar jawaban "iya". Jika tak menjawab, korban disiksa. Siksaannya mengerikan. Tahanan laki-laki disetrum kemaluannya. Yang perempuan akan disetrum buah dadanya. Ujungnya, mereka hampir pasti mengiyakan karena tak tahan. "Atas dasar pengakuan ini, mereka dihukum mati," tulis Hok-gie.
Surat untuk Feith adalah salah satu dokumen yang disimpan Arief Budiman, kakak kandung Hok-gie. Peninggalan itu kini dijaga Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers, yang berteman dengan Arief Budiman. Menurut Stanley—sapaan Yosep—ada beberapa tulisan Hok-gie yang mengecam pembantaian anggota PKI, terutama di Purwodadi dan Bali.
Salah satunya tulisan opini Hok-gie di koran Mahasiswa Indonesia. Dengan nama samaran Dewa, Hok-gie menulis artikel "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali". Koran Mahasiswa Indonesia memuat artikel itu dalam dua edisi. Menurut Stanley, Hok-gie biasanya mencantumkan namanya dalam setiap tulisan. Kali ini dia memakai nama samaran. "Itu demi menjaga keselamatan," kata Stanley. Tulisan itu juga dimuat dalam buku Zaman Peralihan yang diedit Stanley.
Dalam tulisan itu, Hok-gie menyebut apa yang terjadi di Bali pada akhir 1965 sampai awal 1966 sebagai penyembelihan atau pembantaian. "Seperti teror Stalin di Rusia," tulisnya. Sasarannya orang "rendahan" dalam struktur partai. Sedangkan petinggi partai dibiarkan melenggang dan menduduki jabatan. "Korbannya kebanyakan rakyat yang tertipu oleh janji-janji PKI," kata Hok-gie.
Saking pedulinya pada nasib simpatisan PKI, Hok-gie sampai mendatangi Bali, Purwodadi, dan Semarang. Di Bali, misalnya, Hok-gie menyaksikan bagaimana seorang kepala daerah disiksa dengan keji. Kaki dan tangannya dipotong. Di depan kepala daerah yang sekarat itu, istrinya diseret, lalu diperkosa.
Setelah menyaksikan langsung kekejaman itu, menurut Stanley, Hok-gie semakin bersikap kritis terhadap tentara. Tragedi kemanusiaan itu pula yang membuat Hok-gie mengkritik kawan dia sesama aktivis mahasiswa yang kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong. Hok-gie melihat mereka tak berbuat apa pun untuk menghentikan aksi mengerikan itu. "Apa yang Anda lakukan untuk mencegah ini?" ucap Hok-gie.
Hok-gie sebenarnya antikomunis. Namun ia tak rela ketika ribuan orang yang dituding pengikut PKI dibantai. Sulastomo, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam periode 1963-1966, termasuk yang memberi kesaksian tentang sikap Hok-gie itu.
Menurut Sulastomo, Hok-gie beberapa kali menghadiri diskusi anti-PKI. Kala itu Hok-gie tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), organisasi mahasiswa yang menjadi pendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI). Gemsos berada dalam barisan anti-PKI bersama Himpunan Mahasiswa Isalm (HMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). "Waktu itu yang anti-PKI kalau tidak HMI, ya, Gemsos dan PMKRI," kata Sulastomo.
Selain di koran Mahasiswa Indonesia, Hok-gie berulang kali menulis di Sinar Harapan. Menurut Aristides Katoppo, mantan redaktur di surat kabar itu, tulisan Hok-gie banyak mengecam pembantaian simpatisan PKI. "Waktu itu tak banyak yang menulis tentang pembunuhan massal," kata Aristides. "Yang lain pura-pura tak tahu. Gie menolak itu."
Tidak hanya menulis, menurut Stanley, Hok-gie juga meminta sejumlah tokoh bernegoisasi dengan tentara agar menghentikan pembantaian. Hok-gie, misalnya, mengirim surat kepada Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama. Hok-gie memohon agar Jakob berkomunikasi dengan tentara untuk menyetop pembunuhan massal. "Jakob Oetama tak pernah memberi jawaban langsung," kata Stanley. Ketika permohonannya tak ditanggapi, Hok-gie meminta Kompas memuat tulisan dia yang mengecam kekejaman tersebut.
Jakob tak bisa dimintai konfirmasi tentang hal ini. Sekretarisnya mengatakan kesehatan Jakob tak memungkinkan untuk diwawancarai. Dalam buku Soe Hok-gie: Sekali Lagi-Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, Jakob menulis: "Komitmennya kepada orang terjepit dia ekspresikan dengan pembelaannya kepada tawanan, yang membuatnya tercatat sebagai yang pertama menggugat nasib para tawanan peristiwa G30S."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo