Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Biodiversitas Indonesia di Kalimantan Selatan menemukan dugaan alih fungsi lahan secara masif di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), yang bisa mengancam habitat asli orang utan Borneo (Pongo pygmaeus) di Kalimantan Selatan. Di kawasan seluas 40 ribu hektare yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) itu, tim riset Biodiversitas Indonesia bersama masyarakat sukses menemukan primata orang utan asli Kalimantan Selatan pada Juni 2014.
Ketua Biodiversitas Indonesia Amalia Rezeki menyesalkan langkah pemerintah setempat yang bakal mengalihfungsikan lahan 40 ribu hektare itu untuk kepentingan perkebunan sawit. Padahal temuan orang utan di Kalimantan Selatan merupakan satu pembaruan dalam ilmu pengetahuan.
“Pasalnya, tidak ada bukti ilmiah atau catatan sejarah bahwa di Kalsel terdapat orang utan,” katanya kepada Tempo di Banjarmasin, Ahad, 8 November 2015.
Lahan seluas 40 ribu hektare itu, kata Amalia, sejatinya hanya menyisakan 11 ribu hektare yang belum beralih fungsi menjadi izin kawasan perkebunan sawit. Dari salinan dokumen resmi yang ia peroleh, beberapa perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten HSU berminat menggarap 11 ribu hektare kawasan HPK itu. Radius sebaran orang utan asli Kalimantan Selatan adalah di Kecamatan Amuntai Selatan, Paminggir, Haurgading, dan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
“Kami minta pemda dan BKSDA memberikan 30 persen dari total 40 ribu hektare itu untuk kawasan konservasi orang utan asli Kalimantan Selatan,” ujarnya. Empat bulan setelah penemuan spesies orang utan Kalimantan Selatan, pihaknya mengusulkan kepada Kementerian Kehutanan untuk menetapkan sebagian kawasan HPK sebagai hutan konservasi. Namun, hingga kini, usul itu tidak kunjung turun.
Ketua Kaukus Lingkungan Hidup dan Kehutanan Legislatif DPRD Kalimantan Selatan Zulfa Asma Vikra sepakat atas temuan tim Biodiversitas Indonesia terkait dengan dugaan pelepasan 40 ribu hektare kawasan HPK. Menurut dia, sikap Pemerintah Kabupaten HSU telah melanggar Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Selain itu, Zulfa menuding pemerintah HSU melanggar UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Dalam kapasitas sebagai lembaga pengawas, kami akan melakukan investigasi lebih lanjut. Karena kebijakan itu tidak sesuai UU, kami menduga bupati mengambil celah dari belum terbitnya Peraturan Pemerintah atas UU Pemda itu,” ucapnya.
DIANANTA P. SUMEDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini