KEADAAN di Desa Mulyodadi bagai diamuk perang. Puluhan ibu dan anak berhamburan dari rumah masing-masing. Mau mengungsi setelah mendengar kentong dipukul bertalu-talu? Sembari men-cincing kain, mereka menyerbu ke sawah yang setengah kilometer dari desa tadi. Melihat barisan tak diundang itu, keruan, sepuluh anggota Satgas (Satuan Tugas) Wereng yang sedang membabat padi, eh, malah kabur. Kegiatan para petugas ini sejak semula memang tak mereka kehendaki. Penduduk desa di Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta, itu tak rela kalau sawah mereka dibabat begitu saja. Mengapa harus dipotong? "Karena padi di kawasan itu diserang wereng," kata salah seorang petugas Satgas. Nah, untuk mencegah luasnya daerah yang diganyang hama, Satgas di kecamatan tersebut diinstruksikan untuk melokalisasi. Dan, Kamis tiga pekan lalu, sepuluh petugas bekerja, sampai munculnya "serbuan" ibu-ibu itu. Menurut seorang penduduk, cara Satgas Anti-Wereng itu beroperasi kurang kena. "Kami, kok, tak diajak berunding lebih dulu. Tahu-tahu seenaknya main babat. Memangnya padi itu tak ada yang punya," katanya. Padi yang dibabat itu sudah berusia dua bulan, mulai bunting pula. Tentu, para petani tak mau rugi. Mereka toh mengeluarkan biaya untuk bibit, pupuk, dan pestisida. "Kalau ada ganti ruginya, ya, monggo," ujar seorang ibu lebih lanjut. Penyerbuan itu sama sekali tidk melibat kaum pria. Mereka rupanya sengaja tak ikut - kendati tahu persis tindakan para istri itu. "Kalau bapak-bapak seperti saya ini turun menggebrak, mana mungkin ditanggapi. Jangan-jangan, sayalah yang dibawa ke kantor kelurahan," kata Kartomo, 53. Kegiatan memberantas wereng di Mulyodadi, sebelumnya, memang tanpa musyawarah. "Ini pelajaran berharga bagi kami," kata seorang petugas. "Yang kabur bukan werengnya. Tapi Satgasnya," ujarnya. Terkikik-kikik lagi.