ROKOK kretek itu ia ciumi baunya. Setelah itu, diisapnya dalam-dalam. Asap dan aroma cengkih meruap ke langit-langit kedai kopi Universitas Beijing. "Wah, nikmat," kenang Wang Fa Zhu, "Dulu belum ada merek ini, cuma Gentong atau Sukun." Maklum, sudah begitu lama ia tak merasakan gurihnya kretek. Ahli botani lulusan Universitas Beijing itu—kini usianya 71 tahun—memang berasal dari Indonesia. Ia meninggalkan Muntilan, Jawa Tengah, kampung halamannya, pada 1952.
Di pagi yang dingin, awal Desember lalu, Wang sedang kongko-kongko bersama delapan karibnya. Para kakek-nenek ini tergabung dalam Himpunan Cina Perantauan asal Ja-Teng, yang beranggotakan 160 orang. Mereka semua, seperti Wang, adalah huaqiao yang memilih kembali ke Tiongkok pada 1950 sampai 1960-an.
Kurun waktu itu adalah masa ketika terjadi gelombang migrasi balik Cina perantauan di Asia Tenggara—khususnya di Indonesia—ke "Tanah Leluhur", Tiongkok. Sebagian karena makin menguatnya tarikan nasionalisme Cina dan idelogi komunisme yang ditiupkan Peking—ejaan lain untuk Beijing. Sebagian karena kebijakan pengusiran warga asing dari negara-negara Asia Tenggara yang baru saja meraup kemerdekaannya. Ketika persoalan kewarganegaraan—yang semula tak begitu dipedulikan huakiau, apalagi yang tak terdidik di pedesaan—tiba-tiba menjadi persoalan penting.
Di Indonesia, arus balik itu berpuncak ketika Perjanjian Dwikewarganegaraan diakhiri dan para huakiau mesti memilih: menjadi warga Indonesia atau pulang ke RRC. Klimaks terjadi saat Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 diterapkan. Ini beleid kontroversial yang melarang Cina asing—menurut sejarawan Onghokham juga mengimbas pada Tionghoa WNI—berdagang dan tinggal di luar kota kabupaten. Ratusan ribu warga Tionghoa terusir dari daerah yang telah ditinggalinya turun-temurun.
Buntutnya, seperti ditulis Lynn Pann dalam Sons of the Yellow Emperor, pada 10 Desember 1959 Peking melancarkan kampanye memanggil Cina perantauan pulang. Pidato seorang pejabat pemerintah Cina—tak disebut namanya—menyatakan, "Kami ingin tak satu pun kerabat kami menderita di tanah seberang... dan kami harap mereka kembali ke pangkuan tanah air." Tiongkok lalu mengirimkan kapal-kapalnya untuk memulangkan 100 ribu lebih warga Tionghoa yang mendengarkan seruan itu. Setelah itu, para "pemudik" berjejal di pelabuhan, meninggalkan segala harta benda mereka, kecuali pakaian dan bawaan sekenanya.
Profesor Guan Qiu Lan adalah saksi drama sejarah itu. Nenek yang masih trengginas ini lahir 70 tahun lalu di Gang Pinggir, Semarang. Guan bersekolah di SMP Pa Cung, Jakarta (sekarang di kawasan Manggabesar). Para gurunya—kebanyakan pro-Partai Komunis Cina—selalu berkisah soal Tiongkok Baru, ketika masyarakat tanpa perbedaan kelas sedang diwujudkan. "Katanya, di Tiongkok nanti semua orang jadi ju ren (majikan). Tidak ada lagi yang satu menekan yang lain," katanya menirukan kisah sang guru. Perasaan Guan muda bergolak mendengarnya.
Maka, pada 15 Juli 1949, gadis yang baru berusia 19 tahun itu pun nekat berlayar ke Tiongkok. Di keluarganya, cuma ia yang berangkat. Rombongannya berjumlah 30 orang lebih. Semuanya, kecuali Guan, adalah siswa SMA. Seluruh biaya perjalanan mereka tanggung sendiri. Setelah 10 hari di laut, kapal Cipadak yang mereka tumpangi ternyata cuma sampai di Hong Kong. Jadilah mereka imigran gelap di negeri yang saat itu masih menjadi protektorat Inggris itu. Tapi tekad para remaja itu rupanya sudah bulat. Mereka lalu menyelundup masuk melalui Kanton. Caranya adalah dengan menumpang kapal barang berbendera Inggris yang pura-pura berlayar menuju Korea—sebuah pelayaran mendebarkan, juga menyengsarakan. Di kapal barang yang penuh sesak itu, Guan bersama sembilan temannya mesti berdempet-dempetan bak ikan sarden di sebuah kabin kecil lagi jorok. "Jadi, kalau mau membalikkan badan, semua mesti berbalik bareng-bareng," katanya sambil terkekeh.
Untunglah, setiba mereka di Beijing, Tiongkok menyambut mereka dengan tangan terbuka. Mereka bisa bersekolah, masuk Universitas Beijing, tinggal di asrama, dan hidup atas tanggungan pemerintah. "Malah dikasih dua mangkuk, satu untuk nasi, satu untuk sayur.… Ha-ha-ha…," kata Guan geli. Setelah lulus, sejak 1956, Guan menjadi dosen sejarah Asia Tenggara di almamaternya.
Namun, bayangan indah Tiongkok Baru lalu berubah menjadi mimpi buruk. Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang dikobarkan Mao Zedong membuat Tiongkok tak lagi ramah terhadap huakiau asal Indonesia, yang kebanyakan menempati kelas terdidik. Guan dan banyak lainnya masuk golongan intelek, kategori nomor sembilan dari sepuluh macam kelompok musuh Revolusi. Mereka dikirim paksa untuk bertani ke daerah pelosok yang tandus. Itulah saat-saat ketika Guan merasakan arti kelaparan yang sesungguhnya. Jatahnya sekali makan cuma 3 liang (150 gram) beras atau tepung, yang lalu dimasak menjadi bubur, plus dedaunan. "Supaya kenyang, saya minum air sebanyak-banyaknya," kenangnya.
Celakanya, sebagai huakiau, mereka dipandang sebagai kaum yang telah tercemari iklim borjuasi. Hidup mereka penuh ketakutan. Tudingan sebagai mata-mata asing selalu dituduhkan para pejabat partai. Bercakap dalam bahasa Indonesia dilarang keras. "Saya pernah dimaki-maki gara-gara ketahuan ngomong bahasa Indonesia. Mereka menuding saya mau menyebarkan budaya asing," kata Guo Yuan Xian, salah seorang sahabat Guan. Hasilnya, anak-anak mereka kini sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. Banyak yang tak sanggup menanggung tekanan itu. Sejak 1972, menurut Profesor Guan, sekitar 300 ribu huakiau hengkang ke Hong Kong.
Toh, Guan tak menyesali pilihannya pulang ke Cina. "Ini sudah garis nasib saya. Tiongkok adalah tanah air saya," katanya. Apalagi, setelah kapitalisme melahirkan "Tiongkok Baru", mereka hidup tenang. Guan menikmati masa senjanya bersama putra tunggalnya, menantu, dan seorang cucu perempuan yang lucu. Di masa pensiun, guru teladan se-Tiongkok pada 1984 itu hidup berkecukupan. Flat sempitnya di Chen Che Yuan—masih di lingkungan Universitas Beijing—sudah lunas dicicil. Tiap bulan ia menerima uang pensiun 1.000 renminbi. Selain itu, ia masih mengajar kursus Mandarin dan mengelola kursus bimbingan tes masuk perguruan tinggi, dengan 300 murid, yang dinamainya Nan Yang School. Nama sekolahnya itu berarti daerah di selatan Cina—maksudnya Indonesia—untuk menunjukkan tempatnya berasal.
Dengan Indonesia, mereka memang memiliki ikatan batin khusus. Xu Fa-Xing, misalnya. Associate professor di Beijing Foreign Studies University asal Yogyakarta ini—pulang ke Tiongkok pada 1960 gara-gara PP 10/1959—tak bisa menghilangkan kegandrungannya mengoleksi kaset tembang Jawa. Apalagi dalam hal makanan. Lidah mereka selalu kangen mengecap gurihnya kari ayam dan lodeh. "Di rumah, saya suka masak mendoan (tempe khas Purwokerto)," kata Nyonya Li Rui Zhen, asal Purwokerto, yang juga pulang ke Cina pada 1960. Untuk mendapat bermacam bumbu dan bahan mentahnya, mereka mesti pergi ke Hong Kong. Syukur kalau kerabat dari Indonesia membawakannya sebagai oleh-oleh.
Setiap perkembangan di Indonesia mereka ikuti dengan rajin secara berkala. Biasanya mereka membaca majalah Indonesian Focus terbitan Hong Kong, menonton tayangan Televisi Republik Indonesia (TVRI) melalui parabola, dan mengaksesnya di internet.
Ketika tragedi Mei meletus—etnis Cina menjadi sasaran—mereka ikut kalang-kabut. Rapat bolak-balik diadakan. Tapi pemerintah RRC memilih tak bereaksi berlebihan dalam urusan peka itu. Jiao Lien—organisasi Cina perantauan—bahkan dilarang menggelar demonstrasi, seperti yang marak terjadi di Hong Kong. "Waktu itu saya kesal, sampai nangis. Orang Tionghoa digencet-gencet gitu, kok, pemerintah RRC diam saja," kata Guan.
Sekitar Juli-Agustus 1998, ketika gelombang pengungsi datang, mereka sibuk membantu. "Jumlahnya tiga-empat ratusan orang," kata Guan. Mereka mendesak pemerintah memperlonggar ketentuan visa hingga bisa diperpanjang terus-menerus. Juga soal ketentuan bahwa pelajar asing tidak boleh bekerja sambilan. Beberapa di antaranya bahkan mereka carikan lowongan pekerjaan. Hua Ciao Pu Siauw, sekolah milik Jiao Lien, menampung para pelajar pengungsi itu dengan sejumlah keringanan biaya.
Kini, Guan tak merasa cemas lagi. Ia mendengar sendiri jaminan Presiden Abdurrahman Wahid saat berceramah di Universitas Beijing, 3 Desember silam, bahwa politik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa akan disudahi.
Dan kenangan Guan pun melayang ke kampung halamannya. Tiap tahun, saat Cengbeng—semacam upacara nyekar kuburan—Guan cilik selalu dibopong di pundak legam Wagiman, yang berlari menyusuri pematang sawah. Hingga kini, wajah petani tua itu terus lekat di benaknya: Pak Wagiman dengan celana komprang hitam yang itu-itu saja, yang selalu bertelanjang dada, yang tubuhnya menebarkan aroma padi dan tanah. Wangi itu, kata Guan sambil menghirup napasnya dalam-dalam, masih selalu bisa ia rasakan.
Karaniya D(Beijing), Dwi Arjanto (Jakarta)