Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Syekh Yusuf banyak mempelajari Islam sebelum berusia sepuluh tahun.
Bersama Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf al-Makassary melawan Belanda.
Syekh Yusuf kemudian diasingkan ke luar negeri.
MENGARUNGI lautan dari Pelabuhan Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan, Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu al-Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Makassary, yang biasa dikenal sebagai Syekh Yusuf al-Makassary, menginjakkan kaki di Banten pada 1644. Kala itu, Yusuf, yang masih berusia 18 tahun, ingin pergi ke Timur Tengah untuk mempelajari Islam. “Keinginan itu tak lepas dari peran guru agamanya,” ujar guru besar peradaban islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Ahmad Sewang, pada Ahad, 10 Mei lalu.
Sejak usianya belum menyentuh 10 tahun, putra Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin, itu sudah melahap pelbagai pelajaran agama Islam. Dalam buku Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang karya Abu Hamid disebutkan dia mulai belajar mengaji kepada seorang guru lokal di kawasan Kerajaan Gowa. Lalu Yusuf belajar tentang tata cara menulis serta bahasa Arab, fikih, tauhid, tasawuf, dan logika berpikir dari dai asal Arab Saudi yang menetap di Bontoala, Sayed Ba’ Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir.
Buku yang sama menyebutkan, pada usia 15 tahun, Yusuf berguru kepada Syekh Jalaluddin al-Aidit, ulama terkenal dari Aceh yang menetap di Cikoang—kini daerah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Selama beberapa tahun Yusuf belajar di sana. “Karena kurang puas, Yusuf ingin belajar di pusat pendidikan Islam di luar negeri,” demikian dikutip dari buku tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo