Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGIN sepoi-sepoi membelai gorden tipis putih tatkala Nana memotong rambut suaminya, Dargawijaya, seorang menak beranak tiga. Kehidupan mereka tenteram, damai dan mesra, tapi ada luka yang tersirat. Nana merapikan rambut suaminya, sementara sang suami memuji kecantikan perempuan lain. Betapapun ia mencintai Dargawijaya, suaminya itu berbagi kasih sayang dengan banyak perempuan lain di luar sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kehidupan yang agak ganjil kemudian muncul, mempertemukan dua perempuan di dalam rumah Sang Menak: Nana (Happy Salma) yang kehidupannya terampas oleh sebuah konflik dan diperistri Menak Dargawijaya (Arswendy Bening Swara) dan Ino, perempuan lain dalam kehidupan Sang Menak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semestinya rasa marah menguasai Nana. Namun ia menekannya sedalam mungkin. Lambat-laun Nana justru menerima kehadiran Ino. Kegamangan demi kegamangan ia halau. Keduanya menjadi akrab dan intim. Sebuah situasi yang tak jamak, merobohkan pandangan dan stereotipe buruk tentang perempuan.
Kamila Andini menghadirkan sepenggal cerita seorang perempuan Sunda, Raden Nana Sunani, dari novel berjudul Jais Darga Namaku karya Ahda Imran. Bersama Ahda, Kamila meramu satu bab novel Jais dalam naskah dan mengangkatnya ke layar lebar lewat film berjudul Before, Now & Then (Nana). Raden Nana Sunani lari dari gerombolan yang ingin menjadikannya istri. Ia kehilangan ayah dan anaknya. Ia kemudian menghabiskan hidupnya bersama seorang menak atau bangsawan dan bersahabat dengan salah satu perempuan simpanan suaminya.
Sutradara film Before Now and Then (Nana), Kamila Andini, di kantor redaksi Tempo, Jakarta, 15 Desember 2022. TEMPO/Ratih Purnama
Dari cerita ini, Kamila ingin menghadirkan kehidupan para perempuan itu, tentang Nana dan Ino. Nana adalah korban konflik dan kekerasan. Ia pun menjadi korban masyarakat yang menempelkan stigma kepadanya dalam status sosial. Lewat Ino, Kamila ingin menunjukkan kebebasan seorang perempuan yang berani memilih dan menentukan hidup sendiri.
Melalui karakter para pemain, Kamila membuktikan kepiawaiannya menampilkan sosok yang diinginkan, seorang “madu” yang hadir dalam kehidupan Nana dan Raden Dargawijaya. Dua perempuan ini menjadi sahabat, intim dalam keseharian. Lihatlah saat Kamila mengarahkan kedua perempuan itu duduk bersama dengan kain dan kutang, berbagi kesah sambil menikmati asap dari sebatang rokok. Atau saat keduanya asyik bermain di sungai, saling lempar cipratan air. Hingga kemudian Nana merasa nyaman tidur di pangkuan Ino, “madunya”. Kamila menghadirkan ikatan batin kedua perempuan yang intim ini dengan sangat halus, subtil.
Kamila mengeksplorasi para tokoh, terutama dua perempuan itu, dengan bahasa tubuh, gestur. Bahasa, rasa, dan tubuh yang kuat mengekspresikan perlawanan terhadap situasi yang mereka hadapi. Tak banyak dialog yang hadir sepanjang film. Kekuatan ekspresi mampu menghadirkan cerita yang liris. Kamila memfokuskan cerita pada kehidupan Nana.
Film yang meraih banyak penghargaan dalam festival internasional ini memberi penonton kesempatan melihat buah tangan dingin Kamila Andini. Ia menyediakan ruang ekspresi yang luas bagi Happy Salma, Laura Basuki, Arswendy Bening Swara, dan Ibnu Jamil untuk menafsirkan tokoh yang diperankan. Meski hanya Laura yang menyabet penghargaan Silver Berlin Bear—Aktris Pendukung Terbaik dalam Berlin International Film Festival—penampilan Happy sebagai ibu, istri, dan perempuan yang mempunyai gelora cinta patut diapresiasi. Nyatanya, dalam beberapa festival lain, film ini juga meraih penghargaan sebagai film terbaik.
Sutradara Kamila Andini (bawah) bersama tim saat proses syuting Before Now and Then. Claudia Dian
Dalam penjurian, Kamila Andini dan Gina S. Noer sama kuat. Tapi Kamila lebih matang dan rapi dalam mengarahkan para pemain serta mempertemukan elemen-elemen sinematografinya. Ia meramu dengan matang aspek pencahayaan yang redup hampir di sepanjang film, lagu Sunda lawas dan tembang dengan alunan biola yang menyentuh, serta pilihan kostum-kostum menak yang sederhana dan elegan, tidak gemebyar sesuai dengan zamannya.
Menghadirkan suasana tataran Sunda dan kehidupannya pada 1960-an, yang sayangnya masih sedikit melewatkan situasi politik saat itu, Kamila seperti tak hendak membincangkan episode kelam sejarah ini dan berfokus pada kehidupan Nana. Kamila juga menghadirkan cerita dalam bahasa Sunda lawasan yang tak lagi dikenal orang-orang kini dalam film berdurasi 1 jam 43 menit ini.
Sutradara Kamila Andini (kiri) dan Happy Salma (kedua kiri) saat proses syuting Before Now and Then. Claudia Dian
Ia percaya bahasa Sunda tak akan menghalangi apresiasi penonton terhadap film ini. Ia justru menduniakan bahasa Sunda lawasan yang sudah asing di telinga generasi kini. Kamila menampilkan ragam kekayaan bahasa di Tanah Air sebagaimana ia menerapkan bahasa Serang dalam film Yuni, yang juga sukses dalam Toronto International Film Festival (TIFF).
Kamila mencatatkan debutnya sebagai sutradara lewat film The Mirror Never Lies (2011). Ia terus menggoreskan jejak prestasinya di kancah perfilman Tanah Air dan internasional. Film keduanya, The Seen and Unseen (2017), diadaptasi ke panggung teater dengan judul sama. Kamila pun menyutradarai pementasan ini. Tiga tahun kemudian, film Yuni mengantarnya kembali ke panggung-panggung festival dunia dengan segenap penghargaan yang diraih.
Happy Salma dan Laura Basuki dalam film Before Now and Then. Fourcolours Film
Penghargaan dari TIFF tentu paling membanggakan. Ia menjadi perempuan sutradara pertama Tanah Air dan Asia Tenggara yang berjaya dalam festival ini. Jalan panjang Kamila Andini sebagai sutradara tak lepas dari peran ayahnya, Garin Nugroho. Kamila keluar dari bayang-bayang kesuksesan Garin dan menorehkan tinta emasnya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo