Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Teka teki perbedaan data kualitas udara yang dikeluarkan oleh laman AirVisual dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akhirnya terjawab. Director of Air Quality Monitoring Yann Boquillod mengatakan, pemerintah DKI menggunakan indeks kualitas udara alias air quality index (AQI) yang berbeda dengan IQAir AirVisual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yann berujar DKI hanya bertumpu pada satu alat pemantau milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementara AirVisual mengacu pada delapan alat pemantau di Jakarta dari pelbagai instansi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, alat pemantau DKI tidak memberikan laporan terkini kondisi udara. Alat pemantau DKI hanya menunjukkan perkembangan kondisi setiap pukul 15.00 WIB. Sedangkan alat pemantau yang menjadi acuan AirVisual melaporkan setiap jam.
"Karena itu anda akan melihat perbedaan angka pemerintah dan AirVisual," kata Yann dalam diskusi polusi udara LBH Jakarta melalui sambungan telepon, Rabu, 28 Agustus 2019. "Itulah kenapa AirVisual menyebut udara Indonesia tidak sehat."
Yann merinci delapan alat pemantau yang digunakan oleh AirVisual terdiri dari milik Kementerian LHK; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); dua yang dipasang oleh Kedutaan Besar Amerika di Indonesia; dan empat milik AirVisual Pro.
Pemerintah DKI, lanjut dia, juga tidak mengukur PM 2,5. Padahal, menurut Yann, PM 2,5 adalah polutan utama yang mematikan. Dia mempertanyakan alasan pemerintah DKI tidak memasang alat pemantau udara untuk mengukur kadar PM 2,5.
"Kami memakai pm 2,5 sebagai input utama. Kenapa Indonesia tidak menggunakan itu?" ucap Yann. "Tidak ada yang salah, hanya berbeda cara pengukuran dan data."
Dari data yang dihimpun AirVisual, udara di Jakarta dengan kosentrasi PM 2,5 memburuk. Secara umum, kategori udara sehat kurang dari 10 persen. Data ini diperoleh sejak 2017 hingga saat ini.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu, mendorong pemerintah DKI untuk menambah alat pemantau udara. Tujuannya agar pemerintah daerah dapat mengumpulkan sampel data dari setiap wilayah. Dengan begitu, kualitas udara yang diklaim menjadi valid.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebelumnya mengeluarkan perintah ke dinas-dinas untuk mengurangi polusi udara. Dia menerbitkan Instruksi Gubernur DKI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara pada 1 Agustus 2019.