Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP ternyata demikian cepat berubah bagi seorang Gunawan Santosa. Dua pekan lalu ia masih tampil perlente: bercelana jins biru, bersepatu Gucci, bertopi Dolce & Gabbana, serta berkaca mata Armani yang harganya paling murah sekitar Rp 1 juta. Pada Jumat dua pekan lalu itu, setelah menonton pameran mobil di Jakarta Convention Center, ia cuci mata ke Plaza Senayan, kawasan belanja elite di Jakarta Selatan. Di sana, sembari menenteng tas plastik berisi brosur-brosur mobil, pria bertubuh kekar ini menyambangi sejumlah butik: Louis Vuitton, Hugo Boss, dan Burbarry.
Kini semua berubah. Sejak Senin pekan lalu, ia mendekam di sel isolasi penjara khusus narkotik Cipinang dengan penjagaan berlapis-lapis. Sebuah kamera pengintai terpasang dan merekam gerak-gerik pria lulusan Universitas Houston, Texas, Amerika Serikat ini 24 jam nonstop. Di kamar berukuran 4x5 meter itulah, Gunawan Santosa, 43 tahun, terpidana hukuman mati kasus pembunuhan Presiden Direktur PT Asaba (Aneka Sakti Bakti), Boedyharto Angsono, kini meringkuk.
GUNAWAN ditangkap setelah lama menjadi buron. Sebelumnya, 5 Mei 2006, ia kabur dari penjara Cipinang. Adalah kasus pembunuhan terhadap Boedyharto Angsono, mertuanya sendiri, yang membuatnya berurusan dengan hukum. Bos Asaba ini tewas pada 19 Juli 2003 oleh kaki tangan Gunawan: Letnan Dua Sam Achmad Sanusi, Kopral Dua Suud Rusli, Kopral Dua Fidel Husni, dan Prajurit Satu Santoso Subianto. Kecuali Sam Achmad yang kini masih buron, semua anggota marinir itu sudah dihukum.
Sebelumnya, pada 1999, Gunawan dihukum penjara 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena kasus manipulasi uang Asaba senilai Rp 21 miliar. Inilah yang membuatnya dendam terhadap sang bekas mertua. Sempat dipenjara beberapa bulan, Gunawan berhasil kabur. Tapi, pada 27 Juli 2002, petugas mencokoknya di vilanya di Cidahu, Sukabumi. Ia lantas dikirim ke penjara Kuningan, Jawa Barat.
Belum habis masa tahanannya, pada 15 Januari 2003, Gunawan kembali kabur. Ia menjebol atap ruang selnya lantas meloloskan diri dari tembok belakang. Kabur dari Kuningan, Gunawan memermak habis wajahnya dan mengubah penampilan. Ia juga melakukan olah tubuh—menggelembungkan otot lengan dan mengekarkan dada. Namanya pun berubah. Ia kerap mengenalkan diri sebagai Indra Amapta dan Kevin Martin.
Enam bulan setelah Gunawan kabur dari Kuningan, pembunuhan terhadap Boedyharto itu terjadi. Pria yang memiliki hobi bermain basket ini tewas bersama pengawal pribadinya, Sersan Dua Edy Siyep, saat hendak berolahraga di Gedung Sasana Krida, Pluit, Jakarta Utara. Menurut pengakuan para tersangka, Suud Rusli dkk., otak pembuhan itu Gunawan. Polisi semakin intensif memburu Gunawan, hingga akhirnya, pada 11 September 2003, ia ditangkap di sebuah rumah kontrakan di Griya Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pada 24 Juni 2004 Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun menjatuhkan vonis hukuman mati kepada pria bersorot mata tajam itu. Kali ini Gunawan dijebloskan ke penjara khusus narkotik Cipinang. Di penjara yang terkenal dengan penjagaan superketat itu, Gunawan mendekam di Blok C. Cerita tentang Gunawan pun kemudian seperti lenyap, sampai pada 5 Mei 2006, radio dan televisi mengabarkan kaburnya pria yang kerap dipanggil Acin itu dari Cipinang. Masyarakat pun gempar.
Kaburnya Gunawan membuat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin berang. Hamid, yang sempat menengok bekas sel Gunawan—dan di sana hanya menemukan sejumput nasi kering makanan kucing peliharaan Gunawan—langsung mengganti Kepala Penjara Cipinang Wawan Suwandi dan Kepala Keamanan Taufiqurrahman. Sistem penjagaan penjara itu juga diperbarui. Setelah sekian lama kabur dan menikmati perannya sebagai orang kaya lagi, akhirnya dua pekan lalu Gunawan tercokok lagi.
SUMBER Tempo mengungkapkan, tertangkapnya Gunawan di Plaza Senayan itu tak lepas dari andil orang-orang yang pernah ”sangat dekat” dengan pria itu. Kepada majalah ini, sang sumber bercerita, sejak Gunawan kabur, keluarga besar Boedyharto memang khawatir atas keselamatan diri mereka. Mereka mafhum, Gunawan bisa melakukan apa saja untuk menghabisi mereka. ”Karena itulah, mereka selalu membantu memberikan informasi polisi jika melihat orang yang mirip Gunawan,” ujar sumber itu.
Seorang saksi mata bercerita, tatkala dibekuk di Plaza Senayan dan digelandang ke Markas Polda Metro Jaya, ada seorang wanita berkulit putih naik-turun lantai 1 dan lantai 3 Plaza Senayan dengan wajah tampak panik. Wanita muda itu bahkan menangis ketika melihat Gunawan diborgol. ”Dia juga sempat berlari mendekati Gunawan sewaktu Gunawan dibawa ke luar Plaza, ” ujar sumber yang juga karyawan Plaza Senayan itu. ”Tapi lalu berhenti dan lantas dibawa pergi oleh seorang laki-laki.…”
Namun Kepala Satuan Keamanan Negara Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Tornagogo Sihombing, menampik kabar bahwa tertangkapnya Gunawan dua pekan lalu itu karena informasi dari keluarga Boedyharto. ”Sumber polisi itu dari mana-mana. Mereka semua peduli terhadap buron Gunawan ini.”
Untuk mengejar Gunawan ke Plaza Senayan, polisi menerjunkan tim yang sebelumnya, empat tahun silam, pernah menangkap Gunawan. Karena itu, kendati wajah Gunawan sulit dikenali, anggota tim yang pernah menginterogasi Gunawan berjam-jam tak melupakan suara pria itu. ”Ketika dia berbicara itulah, kami sangat yakin dia memang Gunawan,” ujar seorang polisi yang ikut membekuk Gunawan.
Menurut Tornagogo, sebelumnya aparat telah memblokir semua rekening Gunawan yang mengatasnamakan dirinya. Karena itu, jikapun Gunawan bisa ke sana-kemari, bahkan ”melancong” hingga ke luar negeri, dipastikan uang itu bukan dikeruk dari rekening atas nama dirinya. ”Dia tak mungkin mengambil uangnya di bank karena seluruh rekening atas namanya sudah diblokir,” ujar Tornagogo.
Tornagoro benar. Tatkala dibekuk di Senayan, dari dompetnya bermerek Louis Vuitton, polisi hanya menemukan uang Rp 239 ribu dan dua kartu. Satu kartu kredit atas nama Calvin Satya dan dikeluarkan BRI, satu lainnya kartu BCA tanpa nama. Kartu-kartu itu kini dipegang Alamsyah Hanafiah, pengacara Gunawan. ”Tapi isi kartu itu belum saya ketahui,” kata Alamsyah Hanafiah, yang kini tengah menyiapkan upaya peninjauan kembali (PK) atas kasus kliennya.
Alamsyah menegaskan, uang yang dipakai Gunawan selama kabur, termasuk berbelanja barang-barang mewah, diperoleh kliennya dari kolega bisnisnya yang pernah berutang kepadanya. ”Gunawan sendiri yang menagih utang itu,” ujar Alamsyah. ”Siapa mereka dan berapa jumlahnya, Gunawan tak mau memberi tahu,” ujar Alamsyah.
Tertangkapnya Gunawan membuat kelurga besar Boedyharto bersyukur. ”Kami berterima kasih kepada aparat,” kata Jerry A., karyawan Asaba dan juru bicara keluarga Boedyharto selama ini. Menurut Jerry, sejak Gunawan kabur, keluarga Boedyharto selalu waswas. ”Ke mana-mana harus dikawal aparat keamanan,” ujarnya. Menurut Jerry, selain kepada keluarga Boedyharto, Gunawan juga meneror keluarga Paulus Tedjakusuma, Direktur Keuangan PT Asaba yang juga pernah menjadi sasaran pembunuhan orang-orang Gunawan. ”Teror melalui telepon itu berlangsung malam sampai dini hari,” ujar Jerry.
Baik Jerry maupun keluarga Boedyharto sejak awal tak yakin Gunawan kabur dan menetap di luar negeri. Keluarga Boedyharto memperkirakan, Gunawan ngumpet di sekitar Jakarta, Sukabumi, seputar daerah Lebak, atau Ujungkulon. ”Gunawan itu paling senang berada di daerah-daerah pelosok dan memelihara hewan,” kata Jerry mengomentari kebiasaan bekas atasannya di PT Asaba.
KABURNYA Gunawan dari penjara superketat Cipinang diawali dari penyerahan tiga buah kunci duplikat dari Wahyudin, salah satu sipir penjara Cipinang, pada 5 Mei 2006. Wahyudin menyerahkan kunci itu sekitar pukul 12 tengah malam. Kunci dari Wahyudin itu cespleng. Ketiganya berfungsi membuka gembok sel, pintu blok, dan gerbang utama penjara.
Saat diinterogasi, Gunawan mengaku, begitu keluar dari pintu gerbang, ia langsung naik angkutan umum menuju Jatinegara. Dari sini ia berganti angkutan menuju daerah Kota, Jakarta Barat. Di kawasan Lokasari, Gunawan masuk sebuah salon kecantikan untuk memermak kepalanya. Rambutnya yang gondrong dan acak-acakan dipotong modis: model pendek dan disemir warna keemasan. ”Saat warga Jakarta geger karena dia kabur, dia asyik di salon,” kata Tornagogo.
Dari Jakarta, mengendarai bus, Gunawan menuju Sukabumi, Jawa Barat. Ini wilayah favorit Gunawan lantaran di sana ia memiliki sebuah vila. Tapi Gunawan, yang sadar polisi pasti melacak dirinya ke vila itu, memilih tinggal di sebuah hotel. Esoknya, dengan bus, Gunawan meneruskan pelariannya ke Semarang. Di ibu kota Jawa Tengah itu, seseorang telah menyediakan tiket pesawat. Menginap semalam di sebuah hotel melati di pinggir jalan raya, esoknya ia terbang ke Denpasar.
Sekitar sebulan Gunawan berada di Pulau Dewata. Di sana ia bergaya bak turis. Berkaca mata gelap dan selalu bertopi jika pergi ke luar. Tempat menginapnya juga gonta-ganti. Kadang di Denpasar, kadang di daerah wisata Ubud. Di Ubud, misalnya, ia menyewa sebuah kamar di rumah warga. Dari sana ia menyeberang ke Lombok.
Sepekan di Lombok, Gunawan lantas balik ke Denpasar lalu terbang ke Jakarta, tempat ia mulai mempersiapkan diri kabur ke Singapura. Pada awal Juni 2006, melalui jalur darat, lewat Lampung, Palembang, dan Medan, Gunawan tiba di Batam. Dari sini, dengan menggunakan feri ia menyeberang ke Singapura.
Namun di Negeri Singa itu ia tak bisa berlama-lama. Dokumen keimigrasiannya bermasalah. Nama di KTP, foto, dan paspornya tidak klop. Sekitar Agustus 2006, Gunawan terpaksa balik lagi ke Jakarta. Lewat temannya, akhirnya ia mendapat KTP baru. Di KTP tertulis namanya Calvin Satya asal Lebak, Banten. Nama ini pula yang tertera di paspor barunya.
Berbekal dokumen inilah Gunawan ”Calvin” Santosa tinggal di Singapura selama delapan bulan. Selama menetap di Singapura, Gunawan sempat nglencer ke Malaysia dan Cina berkali-kali. Di tiga negara itu ia hidup nomaden. Berpindah-pindah hotel, juga berpindah-pindah ”pelukan” wanita. ”Ia mengaku di negara-negara itu ditemani perempuan,” ujar seorang polisi.
Direktorat Jenderal Imigrasi memastikan Gunawan Santosa tak mungkin bisa keluar Indonesia jika tetap memakai nama asli. ”Namanya masuk daftar cekal,” ujar Cecep Soepriatna, juru bicara Direktorat Imigrasi. Dari Batam, lain lagi ceritanya. Menurut Kepala Pemeriksaan Pelabuhan Internasional Batam, Ucu Sudjono, nama Calvin dan Gunawan memang tercatat di daftar orang yang menyeberang ke Singapura. Tapi Ucu tak bisa memastikan apakah itu adalah Gunawan Santosa, sang terpidana mati. ”Harus dicocokkan dulu dengan nomor paspornya,” katanya.
Walau Gunawan sudah mendekam kembali di Cipinang, sejumlah PR besar masih tersisa untuk polisi. Sampai kini, misalnya, polisi masih melacak siapa pemasok dana untuk Gunawan, siapa yang membantu membuat KTP dan paspor, hingga siapa saja yang membantu Gunawan selama pelarian di Sukabumi, Semarang, dan Bali. Menurut Tornagogo, pihaknya juga sedang menyelidiki ada-tidaknya aparat yang terlibat dalam pelarian dan pembuatan dokumen ”aspal” Gunawan itu. ”Kami masih terus melacaknya,” kata Tornagogo.
LRB/Elik Susanto, Dimas Aditya, Indriyani Diah, Aqida Swamurti, Rumbadi Dalle (Batam)
Tiga Wajah, Satu Buron
Gunawan Santosa memermak wajahnya agar tak mudah dikenali. Sejak 2003 hingga 2007, setidaknya tiga kali dia mengubah penampilan: rambut, hidung, gigi, dan postur tubuh. Berikut sejumlah perbedaan penampilan Gunawan.
2003
- Gondrong
- Mata sipit
- Tulang pipi menonjol
- Hidung tidak mancung
- Tidak berkumis
- Gigi lengkap
- Badan kurus
2004
- Gondrong
- Kelopak mata lebih besar
- Tulang pipi masih menonjol
- Lebih mancung
- Berkumis
- Gigi lengkap
- Badan kurus
2007
- Cepak
- Kelopak mata lebih besar
- Tulang pipi lebih rata
- Lebih mancung
- Tak berkumis
- Gigi tanggal satu di depan bagian kiri
- Badan kekar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo