Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Enam Hari Sepekan, Narapidana Lapas Narkotika Kelas II A Sleman mengikuti program pesantren.
Sebagian mantan narapidana kerap berkumpul untuk belajar mengaji.
Bandar narkoba di Lapas Narkotika Sleman pernah mengatur transaksi dari dalam penjara.
MENGENAKAN baju koko dan peci putih bersih, 170 narapidana meriung di Masjid At-Taubah, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis, 6 Mei lalu, sekitar pukul 10.00. Para narapidana yang menjadi santri Pesantren At-Tawwabin itu mendengarkan ceramah pengajar pesantren, Ustad Catur Andriyana.
Pagi itu, Catur, 37 tahun, membahas kitab Al-Mawaidz karya Imam Ghozali. Isinya mengajarkan supaya manusia menerima setiap takdir Allah. Catur juga mengutip surat Al-Fussilat 30-33 yang mengajak manusia untuk berusaha menjadi muslim yang tidak banyak berkeluh kesah, siap menerima kegagalan, keberhasilan, sehat, sakit, baik, dan buruk. “Termasuk ketika di dalam sini,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar satu jam menjelang salat zuhur, mereka membaca buku Iqra dan Al-Quran dalam 20 kelompok. Tiap kelompok dipimpin oleh seorang tutor yang juga merupakan narapidana. Mereka yang menjadi pembimbing harus bisa membaca kitab kuning dan aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Catur mendatangi setiap kelompok untuk mengamati cara mengaji para napi. Sesekali, dia memberi tahu jika ada tahanan yang salah membaca.
Selain Catur, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman punya satu ustad lain, yakni Sumarno. Keduanya merupakan pegawai penjara. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman Cahyo Dewanto mengatakan ustad dari lingkup internal penjara dipilih agar mendekatkan hubungan petugas dan tahanan. “Ini bagian dari program rehabilitasi sosial,” tuturnya.
Program rehabilitasi itu merupakan kerja sama dengan Pesantren Al-Muawwanah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sana, Catur menjabat wakil ketua pengurus pesantren. Terkadang, lembaga pemasyarakatan juga mendatangkan penyuluh dari Kementerian Agama. Tujuannya membuat narapidana bisa memperdalam ilmu agama. Harapannya, kata Cahyo, kegiatan keagamaan itu bisa membuat mereka bertobat dan mampu berinteraksi dengan masyarakat setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siraman rohani untuk warga binaan jelang bulan suci Ramadan di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta, Rabu 7 April 2021./Dok. Lapas Narkotika Yogyakarta
Berlangsung setiap Senin hingga Sabtu, program pesantren berisi kegiatan seperti baca-tulis Al-Quran, kitab tasawuf, dan kitab kuning. Siang hari, mereka juga belajar tata bahasa Arab atau nahwu sharaf. Warga binaan penjara juga belajar pidato tiga kali sepekan. Pada Ramadan, kegiatan baca-tulis Al-Quran ditambah lagi setelah salat asar. Menurut Cahyo, hingga saat ini ada 170 narapidana yang bergabung dalam program pesantren. Total narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan berjumlah 426 orang per awal Mei.
Seorang santri, Abdulloh Enggoe, 33 tahun, menuturkan awalnya dia ogah-ogahan mengikuti program yang diwajibkan tersebut. Saat itu, dia frustrasi terhadap hidupnya karena dihukum 14 tahun penjara akibat mengedarkan ganja. Laki-laki asal Alor, Nusa Tenggara Timur, itu pun tak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Abdulloh yang masuk bui sejak 2012 itu berkali-kali membolos karena tak kuat menghafal buku Iqra.
Belakangan, rekan-rekan satu sel Abdulloh mendekatinya dan mendorong dia untuk terus mengikuti kegiatan pesantren. Catur Andriyana pun sempat mengajaknya berbicara empat mata. Dalam diskusi itu, Catur menyebutkan membaca Iqra dal Al-Quran bisa menjadi latihan untuk mengelola emosi, mengendalikan diri, dan mengatur napas. Sebab, teknik membaca Al-Quran adalah membaca satu kalimat dalam satu napas. Menghafal surat-surat dalam Al-Quran pun bisa melatih kesabaran. “Lama-kelamaan, saya bisa baca Al-Quran,” tuturnya. Kini, Abdulloh menjadi mentor belajar agama dan mengaji untuk narapidana lain.
Mantan narapidana kasus kepemilikan ganja, Rochmat Nur Sahid, juga merasa hidupnya hancur setelah divonis 4 tahun 3 bulan penjara. Di penjara, dia tak bisa mengontrol emosinya. Namun perlahan hidupnya berubah setelah mendapat bimbingan belajar agama dan mengaji oleh Catur di Masjid At-Taubah. Ketika itu, program pesantren belum ada. “Masa pertobatan itu tidak mudah. Tapi saya tidak mau mengulangi kesalahan,” ucapnya.
Setelah keluar dari penjara, Rochmat dan sekitar 50 mantan narapidana lain mengikuti pengajian Majelis Taklim Qudrotulmanaan yang dipimpin Catur di Desa Sabdodadi, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebulan sekali, mereka berkumpul dan belajar fikih serta kitab kuning selama satu jam. Terkadang, mereka juga mengikuti kegiatan bakti sosial. Warga Kotagede, Yogyakarta, ini menilai pengajian itu bermanfaat untuk melanjutkan perbaikan diri yang telah tercipta di dalam penjara. Rochmat kini menjadi tukang sablon kaus untuk membiayai hidupnya dan tak lagi menggunakan narkotik dan obat-obatan terlarang.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Cahyo Dewanto di ruang kerjanya, Kamis, 6 Mei 2021./TEMPO/Shinta Maharani
Cahyo mengaku mengadopsi pelatihan ala militer untuk mencegah terjadinya kekacauan akibat budaya senioritas. Misalnya, mewajibkan setiap blok membuat yel-yel yang diucapkan setiap pagi, sore, atau dalam kegiatan tertentu di penjara.
Memang, selain program rehabilitasi, lembaga pemasyarakatan membuat kegiatan kreativitas bagi narapidana. Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman Cahyo Dewanto, program itu antara lain berupa pelatihan membuat batik, tata boga, kerajinan kulit, dan melukis. Tak jauh dari Masjid At-Taubah, ada satu ruangan yang disulap untuk membuat lukisan dan kerajinan kayu. Di ruangan itu terbentang kain berisi berbagai lukisan, kaus sablon cukil kayu, sandal kulit, sabuk, dan gantungan untuk menaruh kartu identitas. Tujuannya melatih kemandirian para narapidana yang juga bermanfaat setelah mereka bebas.
Narapidana lain mengikuti program rehabilitasi lain, seperti program Komunitas Pecinta Buku. “Ada juga program rekreasi, seperti main musik dan menonton film untuk mengendurkan saraf,” kata Cahyo. Program menonton film ini bekerja sama dengan Ikatan Konselor Adiksi Indonesia. Konselor mengajak narapidana untuk menonton lalu menuliskan cerita tentang film itu dan membahasnya di kelas.
Pada Kamis, 6 Mei lalu, film yang ditonton adalah Unbroken. Sebanyak 20 tahanan dari Blok Dahlia menonton film perang tersebut di ruangan yang berdekatan dengan klinik kesehatan. Setelah itu, mereka menulis pendapatnya soal film tersebut dan sehari kemudian berdiskusi bersama konselor.
Irvan Sulistyo, dari Konselor Ikatan Konselor Adiksi Indonesia, mengatakan diskusi itu membuat para narapidana bisa lebih akrab. Mereka kerap saling membantu dan berbagi soal jalan cerita dan makna film yang diputar. “Intinya, mengambil hikmah dari film dan menyadari pentingnya persahabatan di lembaga pemasyarakatan,” tuturnya.
Cahyo Dewanto mengatakan dia mencoba mendorong kekompakan para narapidana di lembaga pemasyarakatan yang dipimpinnya. Pun dia berupaya agar tak ada lagi budaya senioritas di dalam penjara. Pada 2019, persoalan senioritas ini cukup mendominasi di penjara. Saat itu, ada 33 bandar narkoba yang menghuni penjara. Setiap bandar memiliki sejumlah anak buah. Mereka memeras dan memukuli tahanan lain. Belakangan, kata Cahyo, lembaga pemasyarakatan menjadi kondusif setelah 33 bandar narkoba itu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Cahyo mengaku mengadopsi pelatihan ala militer untuk mencegah terjadinya kekacauan akibat budaya senioritas. Misalnya, mewajibkan setiap blok membuat yel-yel yang diucapkan setiap pagi, sore, atau dalam kegiatan tertentu di penjara. Cahyo mengklaim para sipir memperlakukan semua narapidana dengan setara dalam persoalan makanan, pakaian, hingga hukuman disiplin. “Tidak boleh ada diskriminasi, perlakuan sebagai anak emas,” kata Cahyo.
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Lokasi: Jalan Kaliurang Kilometer 17, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun berdiri: Dibangun pada 2006, mulai beroperasi pada 28 April 2008 Jumlah narapidana dan tahanan: 426 (Mei 2021) Program unggulan: Rehabilitasi melalui program pesantren dan literasi di perpustakaan
Selain persoalan senioritas, peredaran narkotik di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman pernah menjadi sorotan. Menjelang akhir 2018, Badan Narkotika Nasional Kabupaten Sleman mengungkap ada narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan ini yang mengendalikan peredaran narkoba jenis sabu. Kepala Badan Narkotika Nasional Sleman Siti Alfiah mengatakan pengendalian narkoba dari penjara itu bermula dari penangkapan seorang pengedar di Klaten, Jawa Tengah. “Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata ada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman yang jadi bosnya,” ucap Alfiah.
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman pun sempat menjadi lokasi penyelundupan narkoba yang dilemparkan dari luas penjara. Peristiwa itu terjadi pada Juni hingga Juli 2020. Ketika itu petugas menemukan sejumlah narkoba berupa pil eximer, tembakau gorila, telepon seluler, dan sim card. Barang tersebut tidak sampai ke penerima dan jatuh di lahan kosong lembaga pemasyarakatan. “Petugas membatalkan upaya penyelundupan ini,” ujar Patrick Willyanto, petugas keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman.
Cahyo mengakui Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman masih memiliki sejumlah kekurangan. Salah satunya adalah belum adanya dokter spesialis jiwa untuk program rehabilitasi. Di klinik kesehatan hanya ada dokter umum. Saat ini lembaga pemasyarakatan hanya bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit di Yogyakarta untuk menangani kondisi kejiwaan narapidana. Padahal, kata Cahyo, dokter spesialis jiwa bisa membantu rehabilitasi lebih efektif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo