Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN wearpack atau baju bengkel berkelir putih, Ulfa Dwinda Umar tampak sibuk di Balai Operasi Lantai 13, Reaktor Serbaguna (RSG) G.A. Siwabessy, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Tangerang Selatan. Sambil menggenggam papan alas yang menjepit kertas berisi tabel, perempuan berkerudung biru tersebut mengecek lampu indikator pada panel listrik reaktor nuklir itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah mengecek dengan saksama, perempuan 27 tahun itu mencentang daftar isian pada tabel. Yang dilakukan Ulfa merupakan pekerjaannya saban hari di ruangan reaktor nuklir sebagai petugas Subbidang Sistem Elektrik Bidang Pemeliharaan Reaktor. “Job desk-nya pemeliharaan, perawatan rutin, dan perbaikan di ranah elektrik. Jadi, semua tentang kelistrikan reaktor,” ujar Ulfa saat ditemui Tempo, Rabu, 7 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain melakukan pemeliharaan, tugas lain Ulfa tak kalah berat. Ia harus menjaga pasokan listrik agar operasional reaktor berjalan tanpa hambatan. RSG G.A. Siwabessy merupakan reaktor nuklir terbesar di Asia Tenggara yang beroperasi sejak 1987. Dilansir dari situs web Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang kini bernama BRIN, reaktor ini dijalankan untuk kegiatan penelitian, produksi isotop untuk bidang industri hingga kesehatan, tes atau uji material, serta percobaan ilmu pengetahuan.
Reaktor berusia puluhan tahun itu tak pernah mengalami insiden. Operasional sehari-harinya menggunakan pasokan listrik berlapis, dari PLN hingga cadangan genset dan uninterruptible power supply (UPS). Berbagai sumber tenaga ini diperlukan supaya reaktor tetap aman dijalankan. “Jadi, tidak pernah PLN tiba-tiba matiin. Kalau akan ada pemadaman listrik, harus bersurat,” ujar Ulfa, yang juga memiliki tugas berkomunikasi dengan perusahaan listrik pelat merah itu.
Petugas Pemeliharaan Perawatan Rutin Perbaikan Reaktor Nuklir, Ulfa Dwinda Umar, memeriksa panel sistem ventilasi reaktor nuklir di Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy, Tangerang, Banten, 7 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahmam W.
Ulfa merupakan satu-satunya pegawai perempuan di unit elektrik reaktor Siwabessy. Minimnya pekerja perempuan membuat sosok Ulfa lebih mudah dikenali. Toh, ia tetap mampu melakukan pekerjaan fisik, seperti memanjat untuk memperbaiki alat kerek di ruangan reaktor. Selama bekerja, ia mengaku tidak pernah menemui kendala berarti.
Ulfa menjadi salah satu contoh kecil dari minimnya jumlah perempuan yang berkutat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika atau science, technology, engineering, and mathematics (STEM). Sejumlah riset mengkonfirmasi kondisi tersebut.
Riset LinkedIn Jobs on the Rise 2022, misalnya, menunjukkan, sepanjang 2021 hanya 33,3 perempuan yang bekerja sebagai ilmuwan data dan hanya 27,8 persen bekerja sebagai machine learning engineers. Padahal dua pekerjaan tersebut memiliki pertumbuhan tercepat selama lima tahun terakhir dan diproyeksikan terus tumbuh di masa depan.
Secara global, hanya tiga dari 10 perempuan peneliti yang bekerja di industri STEM. Meski di tingkat sarjana persentase perempuan di STEM mencapai 50 persen, angka tersebut berangsur-angsur menurun menjadi 30 persen pada jenjang master dan 18 persen di jenjang doktor.
Sejak duduk di bangku SMP, Ulfa memang tertarik dengan dunia elektronika. Mata pelajaran favoritnya pun hitung-hitungan. Begitu kuliah di President University, Cikarang, ia tak ragu memilih jurusan teknik elektro. Bahkan, peminatannya adalah arus kuat, di mana mahasiswi teknik elektro umumnya memilih arus lemah.
Semasa kuliah hingga bekerja, kata Ulfa, bidang pekerjaan kelistrikan juga masih didominasi laki-laki. Namun bukan berarti perempuan tidak bisa. Salah satu kelebihan perempuan, kata Ulfa, adalah sifat telaten dan teliti. Ia pun kerap mengingatkan dan mengomeli rekan kerjanya apabila ada pengecekan yang belum lengkap. “Rasanya teman-teman saya bakal terlewat sesuatu kalau saya enggak ada,” katanya.
Pembuktian Kaum Perempuan
Lingkungan kerja Puspitasari Ramadania tak kalah menantang. Sehari-hari, perempuan berusia 32 itu berjibaku dengan radiasi nuklir. Petugas proteksi radiasi BRIN ini memiliki tugas yang cukup penting, yaitu memantau area kerja dan keselamatan, termasuk pengelolaan limbah radioaktif reaktor Siwabessy.
Ita—sapaan akrabnya—bertugas mengukur analisis sampel serta memastikan para pekerja aman selama bekerja dan saat meninggalkan area reaktor nuklir. Alat yang biasanya dia gunakan untuk menganalisis sampel radioaktif adalah spektrometer gama. Untuk dapat menjalankan tugasnya, Ita mengantongi lisensi dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir serta sertifikat ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umum dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Operator reaktor nuklir, Camelia, bersama petugas Proteksi Radiasi dan Ahli K3 Umum Instalasi Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy, Puspitasari Ramadania, saat melakukan proses target iradiasi pada kolam reaktor di Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy, Tangerang, Banten, Rabu, 7 Desember 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Alumnus Universitas Padjadjaran ini mengungkapkan, jumlah pekerja perempuan di unit kerjanya hanya ada empat dari 21 orang. Bahkan satu orang akan pensiun tahun depan.
Menurut dia, industri nuklir selama ini masih dianggap sebagai bidang profesi maskulin. Dengan demikian, tidak banyak perempuan yang minat bekerja di bidang tersebut. Padahal, kata Ita, tugas yang harus dikerjakannya dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Walau lebih sering mendapatkan shift satu yang dimulai pukul 06.00, ada kalanya Ita juga harus bekerja dari pagi sampai bertemu pagi lagi. “Itu hanya kondisi tertentu, seperti saat perpanjangan izin pengoperasian reaktor nuklir,” ujarnya.
Ita bercerita, kemampuannya pernah diragukan karena dia perempuan. Dengan begitu, kegiatannya pun jadi terbatas. “Banyak (orang masih memiliki) pola pikir seperti itu. Padahal sebenarnya kita bisa.”
Tantangan serupa juga pernah dialami Shabrina Fadhilah ketika pertama kali bekerja di bidang minyak dan gas. Ia menghadapi prasangka bahwa perempuan lulusan teknik mesin tidak akan maksimal dalam bekerja. “Seolah-olah kemampuannya tidak diperhitungkan,” kata perempuan berusia 30 tahun itu. Sejak kuliah hingga bekerja, lingkungan Shabrina memang didominasi kaum laki-laki. Bahkan, di angkatan kampusnya, hanya ada delapan perempuan di jurusan mesin dan perkapalan.
Pengalaman tak menyenangkan juga pernah ia alami dalam pekerjaan. Saat berkunjung ke sebuah lokasi pengolahan migas, Shabrina menjadi korban pelecehan berupa godaan tak senonoh dari pekerja laki-laki di sana. Namun, ia memilih untuk tak acuh demi keselamatan dirinya.
Prasangka yang dialaminya ketika bekerja lantas terbantahkan. Selama berkarier, Shabrina terlibat di sejumlah proyek migas. Pada 2014-2017, misalnya, ia menjadi inspektor untuk proyek kilang gas di Senoro, Sulawesi Tengah. Kemudian pengembangan lapangan gas Matindok hingga menginspeksi resertifikasi PGN Saka dan Chevron Pacific Indonesia di Duri, Riau.
Saat itu, ia banyak turun ke sejumlah fasilitas kilang dan pabrik-pabrik untuk memantau alat-alat yang baru dibuat. Kini, setelah lulus S-2 teknik mesin, Shabrina berkarier sebagai reliability engineer. Profesi ini lebih banyak berkutat dengan data rekayasa.
Shabrina Fadhilah, reliability engineer EPCI Company, ketika melakukan inspeksi ke pabrik di Batam, 2015. Dok pribadi
Secara fungsional, reliability engineer bertugas membantu mendesain dan menentukan perawatan sebuah fasilitas migas. “Selain harus berpikir bagaimana agar proses produksi berjalan lancar, kami harus memikirkan keberlanjutannya,” katanya. Selain itu, ia menilai risiko atas aset-aset dalam fasilitas migas, dampaknya terhadap lingkungan dan pekerja, menentukan waktu perawatan, hingga mekanisme perbaikan kerusakan.
Awal mula Shabrina terjun di bidang ini tak lepas dari peran sang ayah. Sejak kecil, perempuan asal Jakarta ini kerap melihat ayahnya berkutat dengan mesin-mesin, entah itu barang elektronik atau kendaraan. “Aku kayak terpukau. Kok bisa ada orang kayak dia. Aku berpikir I want to be like him,” ujarnya. Bahkan, ia pernah menuliskan cita-citanya ingin menjadi insinyur teknik mesin di buku tahunan sekolah dasar.
Begitu lulus SMA, Shabrina pun kuliah di jurusan teknik mesin di Universitas Indonesia, sealmamater dengan ayahnya. Namun Shabrina tak mengikuti jejak sang ayah yang berkecimpung di dunia manufaktur. Minyak dan gas adalah bidang yang dipilihnya untuk berkarier.
Terhambat Stereotipe Gender
Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny N. Rosalin, mengungkapkan ada beberapa penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang STEM. Merujuk pada penelitian UNESCO, 61 persen perempuan mempertimbangkan stereotipe gender saat mencari kerja. Kemudian 50 persen perempuan kurang tertarik bekerja di bidang STEM karena kuatnya dominasi kaum laki-laki.
Khusus di industri nuklir, Lenny menilai kurangnya informasi menyebabkan orang tua banyak yang melarang anaknya. Padahal, kata dia, nuklir memiliki manfaat pada bidang kedokteran, pertanian, makanan, pengelolaan air, bahkan mitigasi perubahan nuklir. “Kami yakin perempuan dapat terus berkontribusi dalam pembangunan bangsa menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan setara,” kata Lenny dikutip dari situs web Kementerian PPPA.
Koordinator Operasi Reaktor di DPFK RSG G.A. Siwabessy, Dwi Haryanto, menilai perempuan punya kemampuan yang sama dengan pria dalam bekerja. Di Direktorat Pengelolaan Fasilitas Ketenaganukliran, para pekerja perempuan juga bisa mendapatkan surat izin bekerja atau lisensi untuk profesi operator hingga perawatan reaktor nuklir.
Untuk mendukung pekerja perempuan, Dwi mengatakan, lembaganya juga menerapkan aturan khusus. Misalnya, ketika pegawainya ada yang hamil, untuk sementara tidak ditempatkan di daerah rawan radiasi. “Setelah melahirkan dan sudah bekerja kembali seperti biasa, tidak ada hambatan,” katanya. Keistimewaan lainnya, para tenaga perempuan tidak diberikan shift malam.
Di samping itu, walau perempuan memiliki kekurangan dalam pekerjaan yang membutuhkan fisik, Dwi mengatakan mereka memiliki kelebihan yang jarang dimiliki lelaki. “Ketelitian mereka. Jadi, kita jangan lihat kekurangannya, tapi kelebihannya yang harus didorong,” ujar Dwi.
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo