SUBUH, akhir November 1991, sebuah perahu berukuran 16 x 2 meter lepas dari Sungai Kapias di Teluk Nibung, Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Setelah menyusuri Sungai Kapias, perahu masuk ke laut lepas di Selat Malaka. Di dalam perahu, 51 penumpang, 19 di antaranya wanita, berdesak-desakan sambil berharap akan mencapai daratan Malaysia, sekitar 200 km di seberang Teluk Nibung. Tak ada sedikit pun suara penumpang, selain deru motor tempel berkekuatan 150 HP. Mereka hanya duduk hening, pasrah, dan tercekam bayangan gagal menginjakkan kaki di tanah harapan. Gaji 300 sampai 350 ringgit tiap bulan (Rp 246.000 sampai Rp 287.000) sebagai tukang kebun, pembantu rumah tangga, ataupun buruh perkebunan cukup merangsang para pekerja Indonesia untuk mengadu nasib di Malaysia. Dan mereka tak mau menunda perjalanan. Tanpa kepastian di Malaysia, tanpa paspor, tanpa izin tinggal, tanpa dokumen ketenagakerjaan lain, para pencari kerja siap menyeberang. Tekad menuju tanah harapan tak terpengaruh oleh surat-surat itu. Dingin makin menggigit 51 pencari kerja di atas perahu ketika hujan deras mengucur di laut lepas, dua jam setelah lepas pantai. Di balik plastik penutup yang bocor-bocor, tak terdengar keluhan penumpang yang duduk terpaku mengkerut menahan kantuk dan dingin. Pagi harinya, sekitar pukul 06.00, baru hujan berhenti. Edi, anak kapal yang punya tugas beragam, segera memasak air. Pagi itu, dengan enam mangkuk plastik yang digilir dan bekal roti dari Teluk Nibung, 51 penumpang menyantap sarapan paginya. Selagi mereka menikmati sarapan, terdengar suara kapal patroli mendekat. Edi segera lari ke belakang dan memaksa motor tempel hingga mencapai kecepatan maksimal. Namun, perahu sarat penumpang itu tak mampu berlari lebih cepat, kapal Bea Cukai berhasil mendekat dan memerintahkan agar perahu berhenti. Semua penumpang dicekam ketakutan, kecuali Edi dan Nyak Karim, yang disebut tekong atau pemimpin perjalanan. ''Tak apa-apa, semua bisa diatur,'' kata Karim kepada penumpang. Ia lempar tali ke kapal patroli itu. Karim pun meluncur ke dalam kapal. Lima menit kemudian Karim meloncat kembali ke perahu, dan kapal BC menjauh. Perahu melanjutkan sisa perjalanan. ''Kita kena Rp 200.000,'' kata Karim. Semula, menurut cerita Karim, petugas di kapal patroli minta Rp 500.000. Tapi Karim bukanlah orang baru dalam mengurus perjalanan pekerja gelap. Ia punya kekuatan untuk tawar- menawar. Matahari mulai meninggi. Pakaian di tubuh penumpang sudah mengering lagi. Edi kembali bertugas di kompornya menyiapkan makanan siang. Menu siang itu di tengah-tengah Selat Malaka adalah nasi dan sambal yang disuguhkan dalam enam piring. Para penumpang tertib antre makan siang yang sudah dijatah Edi. Pukul 16.45 perahu berhasil memasuki perairan Malaysia. Di batas horizon sudah terlihat Pulau Angsa Dua, dan beberapa perahu nelayan setempat mulai hilir mudik. Karim segera memerintahkan Edi mematikan mesin. ''Kita harus menunggu malam agar tak memancing perhatian polisi,'' penjelasan Karim kepada penumpang yang mulai menarik napas lega. Perjalanan berat itu belum usai. Selepas sembahyang isya, Edi kembali menghidupkan motor tempel. Karim memerintahkan semua penumpang berbaring di lantai perahu supaya tak terlihat dari luar. ''Kalau tertangkap, semua masuk penjara dan perahu saya dibakar,'' kata Karim. Penumpang tertib berbaring di lantai dengan waswas. Tujuan pertama perahu, kata Karim, disebut hidro. Itu adalah sebuah pembangkit listrik tenaga uap di ujung kiri pulau, yang dikenal dengan sebutan Pelabuhan Utara. Berdasarkan rencana perjalanan, perahu akan merapat ke hidro dan kemudian menyusuri sungai di sebelahnya hingga mencapai sebuah perkebunan kelapa sawit. Namun, di tepian muara sungai, yang dalamnya hanya sebatas dada, perahu kandas. Walau semua penumpang pria sudah dikerahkan turun untuk mendorong, perahu tetap saja tak bergerak maju. Karim memutuskan untuk kembali ke laut lepas, tetapi sembilan penumpang sudah tidak sabar lagi, dan memilih turun di muara sungai. (Belakangan, ada kabar bahwa sembilan pekerja itu gagal memenuhi cita-cita bekerja di Malaysia. Mereka ditangkap patroli Malaysia.) Gagal menyusuri sungai, Karim mengubah haluan perahunya. Ia arahkan perahu langsung ke Pelabuhan Kelang. Ini rute yang tak biasa dan sekaligus berbahaya bagi kapal pengangkut pekerja gelap. Agaknya, Karim panik karena sembilan penumpang yang memilih turun di muara sungai tadi. Ia yakin, kesembilan penumpang tadi akan tertangkap patroli dan menyebabkan perahu Karim mudah dilacak. Maka, walau perahu masih jauh dari pantai, ia segera memerintahkan dengan paksa agar penumpang turun. Penumpang panik. Tapi apa mau dikata. Semua penumpang, termasuk wanita, melepas pakaian luar sambil sibuk mengemasi bungkusan pakaian. Mereka harus turun ke laut yang airnya setinggi hidung. Para wanita berteriak minta tolong. Tapi perahu sudah semakin jauh, tak mau tahu lagi. Secara perlahan-lahan rombongan pekerja gelap ini berjalan di atas endapan lumpur dasar laut. Setelah satu jam berjalan, mereka berhasil mendarat di kawasan hutan bakau. Di hutan bakau rombongan terpecah. Inong, seorang pekerja asal Tanjungbalai, bersama seorang temannya, berputar-putar tanpa arah. Akhirnya mereka melihat sinar lampu di sebuah warung di pinggir jalan. Mereka berhasil membangunkan pemilik warung yang ternyata asal Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pemilik warung yang sudah jadi warga negara Malaysia itu menyambut tamunya dengan baik. Ia memberikan pakaian kering, tetapi mendesak agar segera meninggalkan warung itu secepatnya. Jika tertangkap menyembunyikan pendatang haram, pemilik warung akan didenda 1.000 ringgit. Keesokan paginya, Inong, yang mahir berbahasa Melayu, menuju Pelabuhan Kelang dengan mengenakan kebaya Malaysia, milik istri pemilik warung. Di sana ia memanggil taksi untuk tujuan Kuala Lumpur. ''Sebuah perjalanan yang menegangkan,'' tulis teman Inong tadi, yang tak lain adalah Niddurayfays -- dia inilah yang melaporkan kisah-kisah di atas. Inong berhasil masuk Malaysia dengan aman. Niddurayfays sendiri tak tahu bagaimana nasib ''teman-temannya'' seperahu yang berpisah dengannya kemarin. Biasanya, kalau tak ada berita, justru selamat, karena ada gembong yang menampungnya di Malaysia. *** Kisah perjalanan pekerja gelap ke Malaysia adalah cerita yang selalu menarik. Banyak yang menyedihkan. Tragedi kapal Bara Damai, misalnya, sampai membawa korban 47 orang meninggal tenggelam ketika 100 pencari kerja asal Lumajang, Lamongan, dan Medan mencebur ke laut dari kapal. Namun, cerita perjalanan yang berhasil, yang tidak diwarnai ketegangan, juga sudah tak terhitung lagi. Walau beberapa hari setelah berhasil bekerja baru ketahuan polisi Malaysia dan kemudian ditangkap, itu juga bukan berita asing. Sumber di Kantor Wali Kota Tanjungbalai Asahan menyatakan, pada tahun 1990-1991 saja ada 450 pekerja Indonesia yang dipulangkan dari Malaysia. Itu hanya pencari kerja yang tertangkap, sedangkan yang berhasil menyusup masuk dan bekerja di Malaysia selama sepuluh tahun terrakhir ini sudah ratusan ribu orang. Tiap bulan diperkirakan sekitar 200 sampai 300 pencari kerja dari Indonesia berhasil menerobos ke daratan Malaysia, tanpa sehelai dokumen resmi. Peranan dan jaringan kerja para tekong rupanya sudah rapi. Mereka tak hanya hafal rute maupun waktu perjalanan yang sepi dari patroli. Beberapa tekong bahkan sudah berhasil menjalin hubungan baik dengan para petugas patroli, seperti Karim tadi. Para tekong ini bergerak di bawah tanah, tak punya kantor resmi, dan mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Kalaupun patroli berhasil menangkap perahu di tengah laut, tak bisa diusut gembong yang sebenarnya. (Gembong ini istilah di sana, kira-kira berarti makelar). Di kawasan Tanjungbalai Asahan, tersebutlah seorang gembong pengiriman tenaga kerja gelap yang bernama Darwis Situmorang. Ia juga biasa disebut tekong darat. Edi dan Karim yang diceritakan tadi adalah pembantu Darwis, yang tugasnya menyeberangkan ke Malaysia. Untuk tempat berkumpulnya pekerja gelap, sambil menunggu tibanya saat yang tepat untuk menyeberang, digunakan rumah Asnan di Gang Kubah, Tanjungbalai. Dengan tim kecil itu, Darwis siap menyeberangkan siapa saja. ''Pokoknya, asal ada fulus,'' katanya ringan. Tiap orang dibebani biaya Rp 215.000 dengan rincian Rp 50.000 untuk perahu, Rp 100.000 untuk urusan-urusan siluman di darat dan laut. Sisanya, kata Darwis, sebagai uang untuk pengeluaran tak terduga dan sedikit keuntungan. ''Tak terduga'' misalnya ada ancaman dari preman-preman yang melaporkan ke polisi bahwa ada pekerja gelap menyeberang. Nah, preman itu perlu disumpal mulutnya dengan uang. Jika operasi tidak diganggu oleh petugas maupun preman, uang yang masuk kantong Darwis dan kawan-kawannya tentu lebih banyak. Kadang Darwis bisa juga tawar-menawar dengan petugas di darat, seperti yang dilakukan Karim di tengah perjalanan dengan petugas Bea Cukai. Namun, sebenarnya pendapatan Darwis tidak bersumber dari para pencari kerja. Itu hanya uang tambahan. Pendapatan utama Darwis mengalir dari penampung tenaga kerja di daratan Malaysia. Jika pekerja itu sudah berhasil menginjakkan kaki di Malaysia, di sana sudah ada gembong lain yang menyediakan pekerjaan. Dari situlah sumber pendapatan utama Darwis. Apakah seorang pencari kerja harus menyiapkan uang terlebih dahulu? Tidak mesti. Bisa dibayar belakangan. Misalnya, seorang pekerja wanita berhasil sampai di Malaysia dan ditampung di sana, sebutlah ia mendapat gaji 300 ringit tiap bulan, maka selama dua bulan wanita itu tidak memperoleh duit sepeser pun. Gaji dua bulan itu digunakan untuk membayar biaya penyeberangan dan penyaluran dia ke lapangan kerja. Majikannya membayarkan uang itu langsung kepada gembong. Entah kenapa, tenaga kerja pria yang tanpa modal harus membayar biaya-biaya penyeberangan ini dengan gaji selama tiga bulan. Padahal, gaji pekerja pria lebih besar dari pekerja wanita. Aturan yang tak jelas sebab-sebabnya ini seperti dibuat seenaknya oleh para gembong dan tekong. Namun, tak seorang pun pekerja gelap itu yang protes atau menolak aturan itu. Itu artinya, selama dua sampai tiga bulan pertama, para pekerja itu hanya mendapat makanan saja. Lewat tiga bulan, baru mereka bisa mendapat gaji sesuai dengan harapan mereka. Ternyata, banyak pencari kerja yang sudah berulang kali keluar- masuk ke Malaysia. Contohnya, Suparno, orang Jawa yang lahir di desa Bunut, Kisaran, Sumatera Utara. Kini ia punya Honda GL Pro yang difungsikan jadi ojek oleh adiknya. Dalam perjalanan terakhir, Suparno bekerja sebagai buruh bangunan dengan gaji 350 ringgit tiap bulan. Biasanya, setelah bekerja sekitar setahun, Suparno pulang kampung untuk istirahat. Jika tabungannya sudah menipis, ia menyeberang lagi. Pulang balik itu semuanya dilakukan dengan ''gelap'' (istilah di sini) atau ''haram'' (istilah di Malaysia). Pendapatan yang tinggi itu membuat calon pencari kerja mengesampingkan bahaya yang akan mereka hadapi selama di perjalanan. Jika ditangkap patroli Malaysia, artinya masuk penjara beberapa hari lalu dipulangkan ke Indonesia. Tertangkap oleh patroli Indonesia -- kalau tak bisa diajak ''damai'' -- mereka masuk tempat penampungan, dan dipulangkan ke daerah asalnya. Tak ada sanksi pidana. Maka, penyeberangan ke Malaysia bukanlah perjalanan yang menakutkan, jika perahu dalam keadaan beres. Buktinya, dua pekan setelah kasus kapal Bara Damai dan ditemukannya 600 pencari kerja yang terkatung-katung di Dumai, wartawan TEMPO bertemu Joko Asmoro di pelabuhan Dumai. Penduduk Tulungagung yang mengenakan kaus oblong dengan jaket jin belel ini baru saja pulang dari Malaysia. ''Sudah pasti saya pulang lewat jalan belakang,'' katanya bangga. Sampai saat ini Joko sudah empat kali masuk ke Malaysia. Satu kali tertangkap, dipulangkan ke Provinsi Riau, dan ia masuk lagi ke Malaysia lewat Bagansiapi-api di Provinsi Sumatera Utara. Di Malaysia, ia bekerja di perkebunan. Karena sudah jadi langganan di perkebunan itu, ia ditunjuk sebagai mandor dengan gaji pokok 500 ringgit tiap bulan. Joko tergolong pekerja yang rajin dan hampir tiap hari bekerja lembur dengan tambahan pendapatan 2,5 ringgit tiap jam. Hasilnya, ia bisa mendapat sekitar 1.000 ringgit tiap bulannya. Itu setara dengan Rp 820.000, lebih tinggi dari rata-rata pendapatan karyawan swasta yang berkualifikasi sarjana S-1 di Indonesia. Satu-satunya masalah yang dihadapi Joko selama di Malaysia adalah ia tidak bisa bergerak bebas karena tak punya identity card (IC) atau yang disebut kartu merah oleh pekerja Indonesia. Kartu itu diberikan ke pekerja yang sudah lama menetap di Malaysia dengan dilengkapi rekomendasi dari tempat ia bekerja. Karena tak punya IC, setiap berjalan-jalan ke luar perkebunan Joko harus didampingi bosnya agar tak ketahuan ''bukan orang Malaysia''. Joko pulang untuk kembali lagi ke Malaysia. Setelah bekerja setahun di tanah seberang, ia ingin melepas rindu pada keluarga di kampung. Baginya, urusan keluar-masuk ke Malaysia sama saja dengan perjalanan dari Tulungagung ke Dumai. Bedanya, ke Malaysia ia masuk secara gelap tanpa surat apa pun dan pulang dengan cara ''setengah gelap'' dengan bekal paspor kilat yang sering disebut ''paspor tendang'', sedangkan ancaman bahaya di laut, ''Kita itu kalau nggak mati, ya hidup,'' katanya enteng. Joko adalah contoh ''berita baik''. Banyak pencari kerja yang akhirnya terkatung-katung, seperti 684 pencari kerja di Kabupaten Bengkalis, Dumai. Walau sudah membayar biaya perjalanan, Nanang dan Amin yang asal Blitar, contohnya, telah menunggu dua bulan di penampungan Desa Tegalega, Riau. Padahal, keduanya adalah pencari kerja yang bisa dikategorikan legal. Paling tidak, di tangan mereka ada paspor. Dan mereka bertekad akan terus menunggu walaupun tekong yang mengurus perjalanan Amin menghilang setelah kasus kapal Bara Damai. ''Lebih baik menunggu terus sampai berangkat daripada pulang kampung,'' kata Amin. Ia sudah tidak punya uang lagi di kampung karena ludes untuk membayar biaya paspor. Sekarang pun ia tak punya uang. Tapi, di tempat penampungan, mereka bisa saja makan tanpa kekurangan karena masih diurus oleh anak buah tekong. Harap diingat, pencari kerja gelap ke Malaysia bukan dianggap aib oleh penduduk di daerah pesisir Riau. Menghilangnya para tekong adalah buntut kasus kapal Bara Damai. Sejak kapal itu menebar maut, pencegahan dan patroli di wilayah Dumai diperketat. Pihak Kepolisian Resor Bengkalis saat ini telah mengamankan enam kapal pompong yang tak punya surat- surat. Diduga, keenam kapal pompong itu punya jalur Bengkalis- Malaysia, dengan penumpang khusus pencari kerja gelap. Tak berarti penyeberangan berhenti total. Terjepit di Dumai, para tekong bergerak ke Pulau Bengkalis, Selat Panjang, Sungai Apit, maupun Pulau Rangsang. Mendengar ada pencari kerja yang ditelantarkan tekongnya, tekong lain mendekati pencari kerja yang terbengkalai itu. Seorang tekong di Bengkalis, yang tak mau disebut namanya, Sabtu malam pekan lalu melihat sekitar 15 pencari kerja tak punya tuan. Tekong itu segera menyambar mereka dan menyeberangkan dengan menggunakan perahu kecil yang disebut perahu pompong itu. Memang sulit mengawasi lalu lintas laut di sepanjang pantai timur Sumatera. Terlalu banyak tempat pemberangkatan yang tersembunyi di pelosok-pelosok. Pekan lalu, wartawan TEMPO mencoba menyusuri pantai-pantai yang biasanya menjadi tempat pemberangkatan di wilayah Dumai. Salah satunya adalah Pantai Kedondong yang terpencil dari jalan besar. Pantai itu tak beda dengan perumahan nelayan biasa yang terdiri dari belasan rumah panggung dari papan. Di semak-semak sekeliling rumah papan itulah para pekerja gelap Indonesia berkumpul sebelum menyeberang ke Malaysia. Ada lagi tempat penyeberangan yang disebut dengan Gang Karet, yang penduduknya sama sekali tak berhubungan dengan urusan penyeberangan ke Malaysia, tapi disogok para tekong supaya tutup mulut. Kemudian Simpang Cempedak, yang berada di tepian sungai kecil, sekitar 25 km dari Dumai. Selat Malaka hanya sekitar lima ratus meter dari Simpang Cempedak. Dari tempat inilah kapal Bara Damai yang membawa korban 47 orang itu berangkat. Lokasi pemberangkatan lain adalah Tanah Timbun, yang juga merupakan tempat perbaikan kapal-kapal motor milik Pertamina. Sumber di Kantor Imigrasi Tanjungbalai mengakui bahwa arus penyeberang gelap ke Malaysia cukup merepotkan. Bukannya tak ada hasil dari pengawasan di mulut-mulut sungai maupun di sepanjang pantai. Hampir setiap operasi gabungan Angkatan Laut, Polisi, Bea Cukai, dan Imigrasi berhasil menangkap perahu yang tak punya surat resmi maupun yang tertangkap basah membawa pekerja gelap. Namun, keterbatasan mengawasi semua pantai membuat mereka kalah bersaing dengan penduduk setempat yang sudah mengenal betul pantai di wilayah itu. Repotnya, perangkat hukum yang membuat kapok pencari kerja gelap itu tak memadai. Jika ada pendatang haram yang ditangkap di daratan Malaysia, biasanya mereka masuk tahanan dulu setelah divonis oleh pengadilan Malaysia. Keluar dari penjara mereka dideportasi ke pantai terdekat untuk menghemat biaya. Setibanya di Riau, mereka ''dibina'' di Kantor Sosial atau di Kantor Departemen Kehakiman selama dua-tiga hari. Baru dikembalikan ke daerah asal. Dan itu semua tak menjamin mereka kapok. Proses pemulangan sendiri menjadi soal karena tak ada dana khusus untuk pemulangan ke daerah asalnya itu. ''Di APBD dana untuk ini tidak tercantum, sebab sifatnya ilegal. Jadi, kami harus mengusahakan bantuan dari mana-mana,'' kata seorang pejabat di Kantor Departemen Sosial Tanjungbalai Asahan. Itu sebabnya sering diambil jalan pintas saja. Semua pencari kerja gelap yang tertangkap tak lagi lewat proses pembinaan, tapi langsung dikembalikan ke daerah asal. Sulitnya, tak ada kontrol sehingga mereka mungkin saja memilih kembali lagi ke tempat penyeberangan untuk menghubungi tekong baru. Sambil menunggu pemberangkatan berikut, mereka bisa mencari kerja di daerah setempat. Salah satu perkebunan yang menampung pencari kerja itu adalah perkebunan kelapa sawit seluas 120 hektare milik Usman, asal Bugis. Di lokasi perkebunan sekitar 23 kilometer dari Dumai itu, terdapat empat rumah tempat menampung pekerja, yang umumnya berasal dari Madura. Kabarnya, ada sekitar 400 pekerja di perkebunan itu. Mereka bekerja sampai ada kesempatan untuk menyeberang kembali ke Malaysia, untuk mengejar upah yang lebih besar. *** Lihatlah Mugia, 25 tahun. Ia sudah empat kali keluar dari Malaysia tanpa punya KTP Indonesia sekalipun. Tiba di Indonesia lima bulan lalu, ia belum mau kembali ke Malaysia karena masih ketakutan. Itu gara-gara kasus kapal Bara Damai bergema juga sampai di desanya, di Sokobonah, Kabupaten Sampang, Madura. ''Saya takut ditangkap karena tidak punya KTP,'' tutur Mugia kepada Kelik M. Nugroho dari TEMPO. Tapi, ia pasti kembali juga ke Malaysia untuk bertemu dengan suaminya. Itu hanya soal waktu. Mugia bersama suaminya, Mat Nassan, termasuk yang berhasil di negeri seberang. Di desanya, rumah Mugia termasuk rumah yang mencolok dibanding rumah penduduk lain. Dinding rumah berukuran 8 x 11 meter itu dari tembok, pintunya dari kayu jati dengan ukiran khas Madura, lantai dari tegel, dan atapnya dari genting soka. Jelas itu hasil dari bekerja di Malaysia. Sebelum membanting tulang di Malaysia, Mugia dan suaminya hanya mempunyai rumah bambu seluas 3 x 3 meter. Tahun 1989, ia dan suaminya berangkat ke Malaysia lewat bantuan seorang calo dengan biaya Rp 550.000 tiap orang. Mereka berdua berangkat estafet dari Madura, Yogyakarta, sampai Pekanbaru dengan menggunakan bus. Dari Pekanbaru perjalanan dilanjutkan ke Tanjungsamak, baru menyeberang ke Malaysia bersama 80 pencari kerja lainnya. Di Malaysia mereka bekerja sebagai buruh bangunan, dan masing- masing mendapat upah 500 ringgit tiap bulan. Menurut Mugia, tak semua penghasilan yang 1.000 ringgit itu bisa ditabung karena setengahnya habis untuk membeli beras, gula, kopi, dan kebutuhan lain. Keduanya hanya bisa menabung 500 ringgit tiap bulan. Dan rumah di Madura itu, yang dibangun dengan biaya Rp 10 juta, adalah hasil dari tabungan selama tiga tahun. Walau sebagian besar pencari kerja berhasil menggapai cita-cita di daratan Malaysia, tak sedikit pula yang mengalami nasib buruk. Status sebagai pekerja gelap membuat mereka tak punya kekuatan untuk melawan perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Mereka juga tidak bebas keluar dari tempat kerja karena ditakut-takuti bahwa patroli polisi Malaysia berkeliaran di sekitar tempat bekerja. Umumnya, pencari kerja yang tertipu ini adalah yang baru pertama kali pergi ke Malaysia, yang belum tahu belang sindikat penyaluran tenaga kerja. Rudi, pemuda berusia 20 tahun, adalah contoh pencari kerja yang sempat menjadi gelandangan di Kuala Lumpur. Ia berangkat dari Gang Kubah di Tanjungbalai Asahan. Sebelumnya ia harus menunggu beberapa hari di rumah penduduk menunggu jumlah pencari kerja sampai 150 orang. Sialnya, Rudi ikut tekong amatiran, yang hanya mau menyeberangkan pencari kerja. Tekong itu tidak mempunyai hubungan dengan calo yang menyediakan kerja di Malaysia. Sekitar seratus meter dari pantai, kata Rudi, semua penumpang disuruh turun. Ada yang didorong, bahkan ada yang ditendang dari kapal. Mereka terpaksa berjalan di laut sedalam dada. Walau tekong mereka tak mau berurusan dengan calo di Malaysia, berita tentang tibanya sejumlah pendatang haram itu sampai juga di kuping calo. Buktinya, begitu mereka tiba di daratan, sudah ada orang menunggu dan mereka semua diangkut dengan truk ke perkebunan karet, dan bahkan Rudi tidak tahu letak perkebunan karet itu. Di perkebunan itu, nasib Rudi tak jelas. Rudi bersama tiga orang teman hanya tahan bekerja selama seminggu. Mereka berempat lari ke Kuala Lumpur dan tidur di bawah jembatan dekat Yaohan Plaza. ''Di situlah kami bertemu dengan seseorang yang membutuhkan pekerja,'' kata Rudi. Orang itu kemudian membawa mereka ke sebuah proyek bangunan di Pandan Perdana. Ia bekerja di sana selama setengah bulan dengan gaji 200 ringgit. Tapi gaji itu tak semua masuk kantong. Selalu saja ada preman yang mengancam akan mengadukan Rudi ke polisi. Takut masuk penjara, Rudi terpaksa menyerahkan sebagian gajinya, dan lari ke Pelabuhan Kelang. Dari sana ia menumpang kapal kayu. Kini ia putuskan menjadi penarik becak di Tanjungbalai Asahan, dan menampik setiap ajakan ke Malaysia. Nasib buruk lain dialami Maarif, pemuda berusia 22 tahun dari Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, yang sudah memutuskan tidak mau menyeberang lagi ke Malaysia. Tahun 1991, pemuda yang tidak tamat SD itu menghabiskan pinjaman uang Rp 300.000 untuk membayar biaya penyeberangan dari Tanjungsamak, Sumatera. Janjinya, Maarif akan dipekerjakan di perkebunan sayur dan jeruk sekitar 30 km dari Johor. Ia memang mendapat pekerjaan di perkebunan yang dijanjikan. Namun, gaji 300 ringgit tak pernah ia terima karena semua digunakan membayar utang. Disebut utang karena tekong yang membawa ke perkebunan minta 300 ringgit dari pemilik kebun. Dan Maarif harus membayar kembali uang itu kepada majikannya. ''Setahun baru utang itu dianggap lunas. Dan sisanya untuk membayar pinjaman waktu berangkat dulu dan untuk ongkos pulang,'' kata Maarif kepada Supriyantho Khafid, koresponden TEMPO di Mataram. Jadi, tak ada hasilnya ia menderita di Johor selama dua tahun. Apalagi kalau mengingat ia hidup di Johor seperti di penjara. Ia tak bisa keluar dari tempat bekerja. Hanya pada waktu Lebaran ia berani keluar ke Johor karena pada hari besar itu tak ada razia polisi Malaysia. Beberapa kali ia terpaksa lari bersembunyi ke hutan kecil di belakang perkebunan karena ada razia. Rudi dan Maarif hanya contoh pekerja yang gagal, dan pulang dengan cara gelap. *** Masalah pemulangan ''pendatang haram'' yang tertangkap di Malaysia sendiri sebenarnya belum tuntas. Awal 1992 lalu, 106 pekerja Indonesia yang ditahan di Penjara Pudu, Kuala Lumpur, melakukan aksi mogok makan. Mereka protes karena belum dibebaskan walau ganjaran hukuman penjara selama tiga bulan dari Pengadilan Rendah Malaysia sudah mereka penuhi. Waktu itu ke-106 pekerja tersebut belum bisa dideportasi karena tak jelas pihak yang bertanggung jawab atas deportasi. Soalnya, perjanjian antara pemerintah Malaysia dan Indonesia baru sebatas pengaturan pelintas batas dan pengerahan tenaga resmi. Untuk orang-orang di luar perjanjian itu, termasuk pencari kerja gelap yang disebut pendatang haram, belum ada peraturan secara rinci. Artinya, tak jelas siapa yang menanggung biaya deportasi pendatang haram itu. Akhirnya, diambil jalan kerja sama dengan melibatkan pihak swasta, yakni Doyan Shipping Agency Malaysia dan KM Camar. Yang penting, bagaimana agar para pekerja gelap itu bisa dideportasi. Setiap ada pendatang haram yang harus dideportasi, maka KM Camar, kapal barang dan kapal sayur yang rutin menyeberangi Selat Malaka, mendapat tugas membawa para pendatang haram yang sudah tak punya uang lagi. Yang masih punya uang atau barang-barang bernilai diminta menanggung sendiri perjalanan mereka. Daripada berkurung di penjara Malaysia, para pekerja gelap itu tidak keberatan menjual gelang emas maupun arlojinya. Toh, setibanya kembali di Indonesia, kalau memang mau, ia bisa melakukan ''napak tilas'' perjalanan ke Malaysia. Banyaknya pekerja gelap Indonesia ke Malaysia karena memang negeri tetangga itu membutuhkannya. Juni lalu, misalnya, pemerintah Malaysia menyatakan masih memerlukan 80.000 tenaga kerja untuk ditempatkan di sektor perkebunan, bangunan, dan elektronik. Menurut Deputi Sekjen Kementerian Sumber Manusia Malaysia, Abullah Ibrahil, kebutuhan tenaga kerja itu merupakan kuota lama yang belum dipenuhi agen tenaga kerja Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Thailand, dan Filipina. Pekerja Indonesia paling diminati karena tak ada kesulitan berbahasa, mudah menyesuaikan diri karena sesama rumpun Melayu, dan umumnya pekerja keras. Hal-hal inilah yang dimanfaatklan para tekong. Apalagi mengingat izin kerja yang resmi jauh lebih sulit dan bertele-tele. Ini sebuah contoh. Ia bernama Sunarti, ibu dua anak. Ia ingin bekerja di Malaysia secara resmi. Ia mengurus perjalanannya dari Kantor Departemen Tenaga Kerja Banyuwangi dan berhasil mendapat paspor Jakarta. Setelah membayar uang administrasi dan biaya perjalanan ke Dumai sebesar Rp 300.000, ia masih harus menunggu lagi selama 20 hari di Dumai sebelum menyeberang ke Malaysia, sedangkan yang gelap bisa berangkat setiap saat. Jika seorang tekong sudah mengumpulkan sekitar 50 pencari kerja di rumah-rumah penampungan, ia segera menyeberangkannya. Tak perlu menunggu berhari-hari. Hanya, setelah berada di Selat Malaka, semuanya tergantung nasib baik. Bisa terjaring patroli, ditelan gelombang besar karena perahunya kecil, diturunkan paksa sebelum sampai daratan Malaysia karena kepergok patroli, atau sampai dengan selamat di Malaysia sebelum kena jaring di daratan. Kenekatan pencari kerja gelap ini juga disebabkan pemerintah Malaysia kurang tegas dalam beberapa hal. Di sana, tenaga kerja Indonesia memang sangat diperlukan. Walau setiap saat ada razia, pengadilan, deportasi, dan sebagainya, tak jarang pemerintah Malaysia melakukan pemutihan. Peluang pemutihan ini yang sering ditunggu-tunggu para pendatang ''haram'' itu. Awal tahun 1992 lalu, pemerintah Malaysia membuka kesempatan pemutihan bagi 300.000 pekerja gelap Indonesia. Prosedurnya mudah. Mereka cukup mendaftar ke kantor imigrasi Malaysia, kemudian memastikan kewarganegaraan dari KBRI, dan balik lagi ke kantor imigrasi Malaysia. Urusan beres dan izin kerja selama tiga tahun ada di tangan. Sayangnya, pemutihan itu pun menjadi semacam sumber pendapatan tetap bagi calo-calo di Malaysia. Calo ini umumnya memungut uang jasa sekitar 500 ringgit. Bagi beberapa pekerja tetap, biaya yang setara dengan gaji sebulan itu tidak masalah asal bisa bekerja dengan tenang selama masa kontrak dua atau tiga tahun. Tapi bagi pekerja serabutan, pemutihan itu hanya membuat rumit saja. Selain berbelit-belit dan bisa-bisa dimakan calo, toh untuk keluar-masuk Malaysia tersedia banyak jalan dan banyak cara. Bagi pekerja Indonesia, urusan keluar dari Malaysia bukan masalah. Malah jauh lebih gampang karena tidak harus berdesak- desakan atau lewat rute yang tersembunyi. Bisa naik feri sambil menenteng barang belanjaan seperti pesawat televisi atau radio. Ibarat turis pulang belanja dari Malaysia. Untuk mengurus perjalanan pulang dengan baik-baik, asal ada uang ada pula sejumlah calo resmi yang bisa membantu. Salah satu adalah ATA Company yang dahulu berkantor di Jalan Raja Bot, Kuala Lumpur. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengisi formulir identitas diri. Lalu ada tarif biaya pemulangan dari Malaysia. Tujuan ke Dumai dikenai 300 ringgit, Pekanbaru dan Medan sebesar 400 riggit, dan tujuan Jakarta tarifnya 650 ringgit. Setelah formulir diisi lengkap dan biaya perjalanan dibayar lunas, formulir diserahkan kepada seorang pegawai kantor imigrasi dari kantor Kedutaan Besar Indonesia, yang memeriksa pengisian formulir itu. Dengan adanya persetujuan dari pegawai imigrasi itu, baru diberikan tanda bukti untuk pengambilan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Surat inilah yang di kalangan pekerja Indonesia disebut paspor tendang. Celakanya, paspor tendang itu tak hanya digunakan untuk perjalanan pulang, tapi bisa juga digunakan untuk permohonan pemutihan dari pemerintah Malaysia. Singkatnya, dengan SPLP itu, para pekerja punya tanda identitas resmi. Tak ada biaya yang dikutip untuk pengurusan SPLP, selain biaya perjalanan pulang ke daerah asal yang bisa dibayarkan sendiri ke pemilik feri. Artinya, bagi pekerja yang ingin punya paspor tendang, ia harus mengeluarkan uang yang besarnya sama dengan biaya pulang ke tanah air walau kepulangan itu hanya semu. *** Mengapa harus menjadi pekerja gelap? Mengapa tidak ''pekerja terang'' saja? Untuk menjadi pekerja legal itu ternyata tidak mudah. Sumber TEMPO di sebuah perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia (PPTKI) mengatakan bahwa tiap pekerja yang menuju Malaysia resminya menghabiskan biaya Rp 650.000. Biaya itu untuk mengurus paspor, pelatihan, dan biaya perjalanan. Bahkan pencari kerja itu tak perlu membayar uang tersebut karena dimodali perusahaan PPTKI. Sedangkan PPTKI akan mendapatkan kembali uang itu dari perusahaan yang menyerap pekerja tadi di Malaysia. Masalahnya, ada keterbatasan modal PPTKI. Karena harus menutup biaya lebih dahulu, perusahaan PPTKI hanya bisa melepas sekitar 50 orang tiap bulan. Untuk mengirim 50 pekerja, perusahaan itu sedikitnya harus mengeluarkan modal Rp 32,5 juta. Di samping itu, ada lagi hambatan dari perusahaan yang membutuhkan pekerja. Tak selalu mereka segera mengirim kabar ke PPTKI agar segera mengirim pekerja. Masih ada lagi hambatan pengurusan working permit di Malaysia yang tak bisa keluar dengan cepat. Hasilnya, pengiriman 50 pekerja itu tiap bulan sudah maksimal. Dan rata-rata pekerja yang berangkat sudah menunggu dua sampai tiga bulan. Apa boleh buat, kenyataan di lapangan jauh lebih mudah. Satu kali penyeberangan gelap bisa membawa 50 sampai 150 pekerja. Mereka juga lebih cepat mendapat kerja karena umumnya pekerja gelap siap bekerja sebagai buruh perkebunan, buruh bangunan, atau pembantu rumah tangga, yang tidak memerlukan keterampilan tinggi tapi sangat dibutuhkan di Malaysia. Lalu di mana sumber benang rumit itu? Pihak Imigrasi dan Departemen Tenaga Kerja yakin sudah memberi banyak kemudahan bagi pencari kerja. Itu memang sudah dilakukan, seperti pembebasan biaya fiskal atau pelatihan tanpa biaya. Namun, rupanya, para calo lebih unggul di lapangan. Mereka turun langsung ke kampung-kampung dan melakukan pendekatan personal kepada pencari kerja dengan janji-janji yang menggiurkan. Padahal, mengamankan calo-calo itu bukan masalah mudah karena daerah operasi yang terbuka luas, dan cara kerjanya yang terselubung. Kenyataan lain, masalah pekerja gelap ibarat angin yang kadang berembus keras, kadang sepoi-sepoi, dan kadang malah tak berembus sama sekali. ''Penyeberangan gelap itu sudah tradisi sejak dulu. Kalau ada yang kecebur di laut, baru jadi heboh,'' kata seorang pegawai Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta. Pegawai imigrasi itu agaknya benar. Jatuhnya korban yang disebabkan kapal Bara Damai membuat banyak orang kebakaran jenggot. Pengamanan di pesisir timur Sumatera ditingkatkan. Namun, hanya sepekan setelah kasus itu, sudah terungkap lagi sekitar 600 pencari kerja terkatung-katung di Dumai. Penyeberangan tanpa dokumen apa-apa tetap terus berlangsung. Entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini