Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN presiden ibarat ujian terbesar bagi Joko Widodo, 53 tahun. Dipandang miskin pengalaman di level nasional, calon presiden asal Solo ini juga menghadapi persoalan serius dalam masa kampanye yang sudah berlangsung tiga pekan: dia tercatat sebagai calon presiden yang paling kerap dilanda serangan kampanye hitam. Tema serangan gelap ini juga tergolong amat sensitif di kalangan pemilih-terutama pemilih tradisional Indonesia-yakni suku, agama, ras, dan antargolongan.
Disebut-sebut nonmuslim dan beretnis Tionghoa dalam aneka propaganda gelap, Jokowi akhirnya menjawab secara terbuka. "Saya diam karena ingin tawadu," ujarnya kepada Tempo. Tapi, menurut dia, kesabaran itu ada batasnya. "Saya juga bisa marah karena tentu tak semua orang suka difitnah," dia menambahkan. Kampanye hitam sejatinya bukan hal baru bagi Jokowi. Pada 2012, ketika bertarung dalam pemilihan Gubernur Jakarta, dia sempat digoyang isu serupa.
Calon presiden dari kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai-partai koalisinya ini tak menampik kabar bahwa elektabilitasnya tergerus oleh informasi serba hitam di atas. Tapi dia mengaku optimistis jumlah pemilih yang menyokongnya meningkat dalam sisa waktu terakhir. Alasan Jokowi, seluruh mesin politik pendukungnya-yang sempat seret akibat keterbatasan dana dan koordinasi-akan digenjot habis-habisan dalam sisa waktu kampanye. "Lihat saja nanti," ucapnya.
Di sela-sela jadwal kampanye yang amat padat, Jokowi memberikan wawancara kepada wartawan Tempo Agustina Widiarsi dan Ananda Teresia dalam dua kesempatan terpisah.
Apa penilaian Anda terhadap pertarungan politik dalam pemilihan umum presiden ini?
Saya melihatnya kurang beradab. Padahal yang terjun di politik itu orang yang berpendidikan. Saling serang, saling fitnah, saling menjatuhkan. Lihat saja di media sosial. Seharusnya pemilu kali ini diwarnai kegembiraan. Ini pestanya rakyat.
Sejumlah survei menyebutkan elektabilitas Anda menurun. Ada komentar?
Wajar sempat turun di beberapa provinsi karena banyak faktor. Kampanye hitam dan mesin politik yang baru panas dalam tiga pekan terakhir. Kami sadar betul soal itu. Mengapa belum gerak, juga salah satunya keterbatasan dana. Tapi mari kita lihat: kalau mesin partai sudah panas semua, kami optimistis bisa memenangi pertarungan.
Apa saja strateginya?
Waktu yang tersisa adalah untuk memulihkan kepercayaan publik. Ini soal permainan persepsi. Kami dihajar dan dikepung kampanye hitam yang amat jahat karena menggunakan isu agama dan banyak lagi. Ini merusak masyarakat. Tapi, saya meyakini, masyarakat sudah pintar.
Oke. Tepatnya apa yang akan Anda lakukan?
Tentu saja dengan turun langsung ke masyarakat. Itu serangan daratnya. Kami juga akan melakukan serangan udara di televisi dan radio. Mesin relawan bergerak, partai bergerak, semuanya menyambung.
Menurut Anda, apa tantangan Indonesia lima tahun ke depan?
Menghadirkan kembali negara dalam warga, di dalam ataupun di luar negeri; tata kelola pemerintahan yang bersih, ekonomi yang kuat; dan perlindungan warga negara. Ini harus menjadi perhatian yang sangat karena sekarang warga negara banyak yang kena ancaman pancung dan mati (di luar negeri). Lalu bagaimana agar pembangunan di daerah bisa segera dimulai. Indonesia tak hanya butuh presiden, tapi juga satu dirigen.
Anda meyakini itu bisa dilakukan dalam lima tahun?
Kenapa tidak? Ada niat yang baik dan tekad yang kuat membawa negeri ini (ke arah yang) lebih baik.
Tolong jelaskan soal mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Mulai membangun sistem e-government. Ini tak mungkin dilewatkan. Memang benar pembenahan bisa dilakukan dengan pendidikan, tapi menuainya masih lama. Jadi, jangka pendek, sistemnya yang diubah. Untuk jangka panjang, basisnya adalah membangun karakter bangsa. Soal revolusi mental karakter bangsa adalah hal mendasar-mungkin ini yang pertama dibuat.
Bagaimana Anda menciptakan lembaga hukum yang bersih?
Pola rekrutmen harus dibenahi. Saya kira pola rekrutmen di Komisi Pemberantasan Korupsi sudah baik dan layak ditiru lembaga lain. Proses rekrutmennya harus menumbuhkan kepercayaan. Pola-pola rekrutmen, seleksi dan promosi terbuka, itu penting. Ada banyak sumber daya manusia: di kepolisian, kejaksaan.
Kabinet seperti apa yang akan dibangun Jokowi-JK?
Kabinet profesional yang bekerja. Artinya, dibutuhkan kumpulan orang yang mengerti bidangnya, paham manajemen birokrasi dan organisasinya. Punya leadership yang kuat, berani memutuskan, dan punya nyali mengambil risiko. Itu penting.
Apakah semuanya dari kalangan profesional?
Akan jauh lebih banyak dari profesional.
Bagaimana dengan menteri dari partai?
Profesional juga, orang partai yang profesional.
Apa pendapat Anda tentang pendapat ini: tak ada sokongan politik gratis?
Sejak awal saya sampaikan tak pernah ada jatah menteri. Menang dulu, baru bicara itu. Sejak awal kami sudah menekankan nantinya ke depan adalah kabinet kerja yang profesional.
Apakah kubu lawan juga akan dirangkul, misalnya mengambil orang profesional dari sana?
Lho, yang di sini jutaan, ngapain ambil di sana? Kami belum bicara kabinet, bicara bagaimana menang dulu. Sejak awal saya dan Pak JK tak mau bicara itu di depan.
Bakal ada perampingan lembaga negara?
Ada beberapa. Misalnya Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya di bawah presiden karena itu penerimaan negara. Tapi dalam bentuk apa, apa badan, apa kementerian, itu belum dibahas. Lalu soal kementerian pendidikan tinggi apakah akan digabung dengan riset? Lagian masih lama. Menang dulu, baru setelah itu menyiapkannya.
Kementerian yang ada sekarang tidak efektif?
Banyak dan tidak banyak itu kan tergantung. Banyak tapi berjalan semua itu baik karena bisa mempercepat proses penyelesaian program. Tapi kalau banyak tapi tidak bekerja, ya, sama aja.
Apa kelemahan terbesar pemerintah sekarang?
Kecepatan memutuskan. Banyak perencanaan bagus, tapi keputusan lapangannya harus dipercepat.
Maksud Anda, sosok presiden kurang cepat memutuskan?
Tidak, saya tidak berbicara soal itu. Keputusan bisa diambil di kementerian.
Anda akan memberi target kepada menteri-menteri Anda?
Saya kira semua kerja harus ada targetnya. Menteri diberi target, lembaga diberi target.
Kalau target tak sesuai?
Ya, gimana, kalau dikasih target enggak sesuai, masak diterusin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo