Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berburu Pajak ke Negeri Seberang

Alih-alih memberi pengampunan baru, pemerintah diminta mengoptimalkan pengejaran aset wajib pajak Indonesia yang disembunyikan di luar negeri.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah diminta mengejar aset wajib pajak Indonesia yang disembunyikan di luar negeri.

  • Perburuan harta ke negeri orang dapat memanfaatkan data tax amnesty 2016.

  • Masih ada potensi dana repatriasi sekitar Rp 850 triliun yang bisa ditarik.

JAKARTA — Alih-alih memberi pengampunan baru, pemerintah diminta mengoptimalkan pengejaran aset wajib pajak Indonesia yang disembunyikan di luar negeri. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menyebutkan sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau automatic exchange of information sudah menjadi modal besar untuk mengembalikan harta tersebut ke dalam negeri.

Piter menuturkan perburuan harta ke negeri orang dapat memanfaatkan data yang dipegang pemerintah saat menggelar tax amnesty pada 2016. "Datanya sudah lengkap. Pemerintah saja yang tidak berani," kata dia kepada Tempo, kemarin. Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa mengandalkan data tersebut untuk mengejar wajib pajak yang tidak patuh dan mengenakan hukuman sebagai efek jera.

Salah satu data yang sudah tersedia pada 2016 adalah seputar aliran modal gelap (illicit funds) dari dalam negeri. Piter, yang saat itu bekerja di Bank Indonesia, terlibat dalam proses pengumpulan data tersebut. Menurut dia, potensinya luar biasa besar. "Jumlahnya tidak main-main, ribuan triliun rupiah," ujar dia.

Merujuk pada target program tax amnesty saja, setidaknya terdapat potensi harta wajib pajak Indonesia sebesar Rp 1.000 triliun di luar negeri. Ketika periode pengampunan berakhir, pemerintah hanya berhasil mengumpulkan dana repatriasi Rp 146 triliun. Artinya, masih ada potensi sekitar Rp 850 triliun yang bisa ditarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas menjelaskan cara membuat pelaporan SPT tahunan PPh pajak orang pribadi dengan sistem online (E-Filing) kepada warga wajib pajak, di kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Madya Jakarta, Jakarta Pusat. Dokumentasi TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gulfino Guevarrato, juga menilai perburuan aset di luar negeri sudah sangat mendesak. Selain menambah pendapatan, keberhasilan pemerintah akan memperbaiki citra bangsa. "Bahwa Indonesia mampu tegas kepada warga negaranya yang melanggar, pengemplang tidak dibiarkan," ucapnya.

Untuk mewujudkannya, Gulfino menyatakan Kementerian Keuangan tidak bisa berjalan sendiri. Presiden, kementerian, dan lembaga diminta bertanggung jawab membangun hubungan bilateral dengan negara-negara lain perihal pelacakan aset wajib pajak.

Gulfino mencontohkan alasan Kementerian Keuangan membutuhkan bantuan. Pada 2016, pemerintah tak bisa mengekstradisi koruptor serta hartanya dari Singapura ke Indonesia karena perjanjian bilateral yang gagal disepakati. Saat itu Singapura mengizinkan ekstradisi dengan syarat diizinkan menggunakan teritori udara Indonesia untuk latihan militer. "Hal tersebut tidak diizinkan Komisi I DPR saat itu," tuturnya.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo serta Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor tak merespons Tempo ketika dimintai konfirmasi soal rencana pihaknya mengoptimalkan pengejaran potensi pajak di luar negeri. Namun salah satu rencana yang sedang disusun pemerintah adalah menggelar program pengungkapan harta wajib pajak secara sukarela yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).

Merujuk pada naskah rancangan beleid hasil kesepakatan Kementerian Keuangan dan Komisi Keuangan, konsep program itu mirip dengan tax amnesty 2016. Wajib pajak yang belum melaporkan hartanya bisa memperoleh pengampunan. Sebagai gantinya, mereka harus membayar tarif pengenaan pajak dari 6 hingga 18 persen, tergantung skemanya. Program tersebut direncanakan dimulai pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan RUU HPP dirancang untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. Di samping itu, program ini bertujuan melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan. "Selain itu, RUU ini diharapkan akan terus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak," katanya.

VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus