Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Sekitar 14 persen burung di Indonesia merupakan jenis burung migrasi.
Pekan kedua pada Mei diperingati sebagai Hari Burung Migrasi Sedunia.
Hutan lindung menjadi tempat yang sempurna untuk mengamati burung yang tengah menjalani “ritual” migrasi.
JAKARTA – Suara kicau burung sayup-sayup terdengar dari balik pepohonan di Kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu lalu. Hutan mangrove dengan luas 44,76 hektare ini menjadi habitat 28 jenis burung air dan burung terestrial. Bahkan beberapa jenis burung yang berhabitat di lokasi pesisir lain kerap datang mencari makan di kawasan ini, termasuk burung-burung migran.
Pekan kedua pada Mei diperingati sebagai Hari Burung Migrasi Sedunia. Indonesia–termasuk Jakarta–adalah salah satu wilayah penting yang menjadi jalur utama migrasi burung. Saat belahan bumi utara mulai memasuki musim dingin, sumber makanan terus berkurang. Saat itulah jutaan burung terbang ke belahan selatan.
Hutan lindung menjadi tempat yang sempurna untuk mengamati burung yang tengah menjalani “ritual” migrasi. Pegiat Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), Syarif Muhammad, menuturkan ada sekitar 14 persen burung di Indonesia merupakan burung migran. Pada awal tahun, sekitar Januari hingga Mei, migrasi burung didominasi burung-burung air. Mereka bisa ditemukan di sungai, pesisir, ataupun rawa.
"Makanya kita memilih kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk ini sebagai lokasi pengamatan," kata Syarif saat memandu jurnalis, mahasiswa, pramuka, dan peneliti burung untuk mengamati burung-burung di hutan lindung.
Burung kuntul besar (Egretta alba) di permukiman warga pesisir Muara Angke, Jakarta, 2015. Dok Tempo/M. Iqbal Ichsan
Indonesia termasuk dalam jalur lintasan migrasi burung Asia Timur-Australasia. Selain Januari-Mei, migrasi burung terjadi pada September-Desember. Di medio ini, burung yang banyak melakukan migrasi adalah jenis raptor atau elang. "Pengamatannya biasa dilakukan di daerah puncak paralayang," kata Syarif.
Syarif menjelaskan, saat belahan bumi utara mulai memasuki musim dingin, jutaan burung akan menjalani tradisi tahunan untuk mencari makan di belahan bumi selatan. Suhu dingin di habitatnya mengakibatkan cadangan makanan mereka berkurang. "Kalau untuk berkembang biak, mereka tetap di habitatnya," katanya.
Staf edukasi Outreach Yayasan Kehati, Ahmad Baihaqi, menambahkan, pengamatan burung sebetulnya bisa dilakukan di kawasan perkotaan. Ia mencontohkan sejumlah ruang terbuka hijau di Ibu Kota yang bisa dipilih. Misalnya, Taman Suropati, Taman Monas, Lapangan Banteng, dan Taman Danau Sunter.
Di tempat-tempat itu, pengamatan jenis burung akan lebih efektif dilakukan pada siang hingga petang hari. Sebab, pada waktu-waktu tersebut, burung sedang dalam keadaan aktif. "Kalau siang, mereka istirahat kembali ke kandang," ujar pria yang akrab disapa Abai itu. Dalam melakukan pengamatan, Abai menyarankan agar menggunakan binokular. "Bergerak harus perlahan supaya tidak menakuti dan mengganggu burung."
Salah satu pengamat burung di di Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara, 8 Mei 2021. Tempo/Inge Klara
Abai menjelaskan, pengamatan rutin terhadap burung migran yang dilakukan komunitas Biodiversity Warriors Yayasan Kehati memainkan peran penting dalam menjaga proses migrasi burung-burung tersebut. Setiap pengamatan akan dicatat setiap tahun.
Dalam pengamatan pada Sabtu lalu hanya ditemukan satu individu burung migran, yakni jenis trinil pantai. Habitat asli burung ini adalah di Eurasia Utara. Sementara itu, berdasarkan pengamatan komunitas Biodiversity Warriors Yayasan Kehati pada awal 2019, ditemukan burung migran asal Cina Selatan, bubut pacar jambul (Clamator coromandus). "Menurut data, jumlah burung bermigrasi memang terus menurun setiap tahun,” kata Abai. “Penyebabnya, antara lain, rusaknya habitat mereka dan perburuan liar."
INGE KLARA SAFITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo