Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 80 ribu unit Koperasi Desa Merah Putih.
Kegagalan KUD di masa Orde Baru menjadi cermin susahnya membangun bisnis koperasi secara profesional di desa.
Pengelolaan anggaran besar oleh politikus rentan ditunggangi kepentingan politik.
JUDUL laporan utama edisi pekan ini adalah “Koper-Koperasi Merah Putih”. Anda mungkin jarang mendengar warga desa menyingkat penyebutan koperasi dengan koper atau singkatan ka-u-de, dari koperasi unit desa. Ini koperasi andalan Presiden Soeharto untuk memberdayakan masyarakat melalui bisnis penyediaan bahan kebutuhan sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ilustrator Tempo memainkan tipografi “asi” dalam judul sampul itu sehingga huruf yang tebal menjadi seolah-olah terbaca “koper-koper”. Jikapun Anda membacanya seperti itu, tidak salah juga karena temuan dalam liputan ini adalah centang-perenangnya konsep Koperasi Desa Merah Putih yang membutuhkan anggaran Rp 400 triliun. Butuh berapa koper untuk uang sebanyak itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gambarnya menunjukkan Presiden Prabowo Subianto sedang membuka keran uang dari brankas dengan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi di belakangnya. Zulkifli memang mendapat mandat Prabowo mengkoordinasikan pembentukan koperasi ini, bukan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat yang membawahkan urusan koperasi.
Rancangan sampul Tempo Koperasi Merah Putih.
Penunjukan Zulkifli bukan tanpa alasan, yakni mempermudah koordinasi dengan Menteri Desa Yandri Susanto. Zulkifli dan Yandri adalah politikus Partai Amanat Nasional. Yandri berwenang mengatur penyaluran dana desa yang akan dipotong untuk modal pendirian koperasi ini.
Penunjukan Zulkifli dan pemakaian dana desa saja sudah aneh. Pelibatan politikus dalam mengelola anggaran besar rawan penyelewengan karena mereka punya kebutuhan merawat atau memperbesar konstituen partainya. Sementara itu, dana desa adalah hak desa untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar. Undang-Undang Desa tak mencantumkan uang ini untuk memodali koperasi.
Ketidakjelasan konsep, anggaran, dan tujuan Koperasi Desa Merah Putih juga membingungkan para kepala desa yang mendapat perintah membentuknya. Jika dana desa dipotong untuk koperasi dan tak bisa dipakai karena jadi agunan pinjaman ke bank untuk operasional, bagaimana mereka bisa membangun desa?
Apalagi jika menilik ke dalam sejarah. Banyak KUD gagal menjalankan misi menyejahterakan masyarakat desa karena kalah bersaing dengan usaha modern. Usaha sembako gagal karena kalah oleh warung kelontong dan gerai-gerai swalayan. Koperasi simpan-pinjam bangkrut karena tak bisa bersaing dengan kredit bank.
Jika kini Koperasi Merah Putih mendapat beking pemerintah pusat, sama saja negara mendorong persaingan tak sehat antarpedagang di desa-desa. Gerai swalayan yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari kini sudah merangsek ke pelosok. Mereka akan bersaing dengan Koperasi Merah Putih untuk jenis usaha yang sama.
Dari mana ide membentuk Koperasi Merah Putih yang jumlahnya mencapai 80 ribu unit itu? Susah melacaknya karena program ini tanpa kajian akademik dan informasi publik yang memadai. Tapi, agaknya, tak jauh beda dengan ide lain Prabowo membentuk Danantara. Gagasannya datang dari ayahnya, ekonom Sumitro Djojohadikusumo.
Syahdan, saat berceramah sebagai Ketua Umum Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia pada 16 Desember 1996, Sumitro melontarkan gagasan badan usaha milik negara menyisihkan 1-5 persen dividen untuk memodali koperasi. Sesungguhnya ide ini sudah ia sampaikan 17 tahun sebelumnya kepada J.B. Sumarlin, Menteri Keuangan 1988-1993. Namun Sumarlin menolaknya secara halus dengan mengatakan, “Belum waktunya.”
Dengan variasi yang melenceng, penyisihan dividen BUMN itu kini berwujud Danantara. Sementara itu, modal untuk koperasi kini berwujud pelibatan bank-bank negara memberikan kredit untuk Koperasi Desa Merah Putih. Untuk keduanya, Prabowo Subianto tak memiliki konsep yang terukur dan transparan sehingga bisa diuji publik sebelum diwujudkan.
Nasi sudah jadi bubur. Nostalgia Prabowo akan ide-ide ayahnya sudah mulai berjalan. Di beberapa desa, Koperasi Merah Putih sudah berdiri meski para pengelolanya bingung mendapat modal dan menjalankan usahanya. Jika implementasi lebih dulu dibanding perencanaannya, siap-siap terjadi kekacauan. Koperasi akan bergeser menjadi koper-koper belaka, tempat penampungan uang publik yang rentan dipakai untuk kepentingan politik. ●