Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam belum lama turun ketika BMW sport itu meluncur ke pelataran parkir Hotel Mirage di kawasan Hoora, Manamaibu negeri Bahrain. Musik disco-mix berdentam keras di dalam mobil, meruap keluar lewat kaca. Di pelataran parkir, beberapa teman si pemilik BMW sudah menunggu. Berdandan ala emir Arab, lengkap dengan jubah toub (gamis) putih dan kain penutup kepala yang disampirkan ke igal (cincin pengikatnya), mereka bersenda-gurau dan saling menyapa.
Di lobi hotel, ada lagi beberapa emir yang berbusana serupa. TEMPO, yang menginap di Mirage, berpikir mungkin ada acara pengajian di hotel ini. Eh, meleset jauh. Lewat tengah malam, ketika para tamu lain di hotel itu sudah terlelap, dentam musik justru kian menjadi-jadi. Penasaran, TEMPO turun ke lobi. Dan, astaga, ternyata jemaat emir itu bukan tengah menghadiri pengajian, melainkan menyesaki empat pub di hotel berbintang dua itu. Ada Chilenga Pub yang bermusik India, Golden Wing Pub yang menyajikan musik Arab, serta Bar "Pepper" dan "Strikes". Semuanya terletak di lantai dasar.
Di lobi hotel, bisingnya suara musik seperti menyaingi konser musik rock. Maklum saja, keempat pub itu membunyikan tetabuhan secara bersamaan. Beberapa emir leyeh-leyeh di sofa hotel, ditemani beberapa wanita. "Anda ingin masuk? Malam ini Pepper sedang ladies night," tutur satu petugas hotel menyilakan. Dia juga memberi info bahwa semua pub buka dari pukul 11 malam hingga 3 dini hari.
Di pintu masuk, TEMPO melongok ke dalam pub yang disesaki para emir berseragam gamis itu. Wah, jeri juga untuk masuk seorang diri, apalagi hanya sekadar minum jus. Di pintu masuk, ditempel foto-foto wanita seukuran kartu pos, sebagian besar berwajah Asia. Beberapa saat sebelumnya, di dalam lift, tampak seorang emir berbadan tambun merangkul satu wanita berwajah Asia dengan penuh semangat. Si wanita mengenakan baju berbahan kulit yang ketat. Mungkin mereka mau ngamar.
Menurut Ismael al-Heedari, petugas hotel, para wanita itu kebanyakan berasal dari Filipina. Dia meminta maaf setelah TEMPO mengeluhkan telepon kamar yang berdering setiap saat. Ketika diangkat, terdengar suara wanita mencerocos manja menawarkan jasa sekadar pijat hingga, maaf, hal-hal maksiat. "Saya tidak tahu bahwa Anda perempuan. Mereka (para wanita ini) menelepon tamu tanpa sepengetahuan kami. Biasanya mereka tahu kamar mana saja yang terisi," Ismael mengaku dengan nada menyesal kepada TEMPO.
Jadi, inikah salah satu ekses dari kebebasan yang ditawarkan Raja Hamad? Bisa jadi. Kenyataannya, walaupun busana mereka berwarna "Islami", kelakuan mereka di dalam pub tak beda jauh dengan "bule-bule mabuk" di pub mana pun, misalnya di Bali. Tapi, jangan salah. Berbeda dengan di Indonesia, di Bahrain pakaian tidak mencerminkan keimanan seseorang. "Toub di sini bukan hanya pakaian bebas najis untuk bersalat di masjid, tapi sudah menjadi pakaian tradisional sehari-hari," tutur Abdullah Saleh, pemuda Bahrain yang menemani TEMPO selama di sana.
Keriaan "dugem", dunia gemerlap, seolah menemukan surganya di Bahrain, yang cenderung lebih terbuka ketimbang negara Arab lain. Selain di Mirage, hotel-hotel lain juga memiliki "menu malam" serupa. Para tamu cenderung memilih hotel yang lebih tertutup. Umpama, Arabic Pub. Ada juga pub yang khusus diperuntukkan bagi kaum ekspatriat: Be Geas Pub di Hotel Crown. "Orang Bahrain yang mau masuk harus menanggalkan toub dulu," kata Abdullah.
Kehidupan malam di Manama umumnya dimulai selepas isya hingga azan subuh berkumandang. Harap tahu saja, layaknya negara Timur Tengah lainnya, Bahrain bagai kota mati di siang hari, terutama mulai pukul 12 hingga pukul 4 sore. "Jangan harap Anda menemukan toko atau restoran buka pada jam-jam itu di pinggir jalan," ujar Ali Ahmed al-Alaoam, sopir taksi yang mengantar TEMPO berkeliling ke pusat-pusat hiburan malam Manama pada suatu malam.
Di Adliyaini kawasan diplomatik Bahraintaksi kami terjebak macet pada dini hari. Di sepanjang jalan itu berjajar aneka restoran yang buka hingga pagi. Dari makanan tradisional makbous (semacam nasi kebuli) hingga hidangan yang bercita rasa internasionalumpama makanan di Sizzleratau masakan Meksiko. Suasananya tak berbeda jauh dengan di kawasan nongkrong anak muda Jakarta di Menteng.
Mereka kongko-kongko di atas kap mobil atau trotoar dengan musik berdentam-dentam dari dalam mobil. Tak semuanya bergamis. Sebagian memilih jins dan sepatu olahraga. "Aneh juga melihat mereka bisa funky begitu," ujar Ananda Mikola, pembalap Indonesia yang beberapa malam sebelumnya mengunjungi tempat yang sama bersama TEMPO. Di satu sudut meja Sushi Ko, sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal di kawasan itu, tiga nona cantik asyik merokok sambil menunggu pesanan. Kerudung mereka sendiri telah ditanggalkan di kursi. Rambut mereka yang panjang tergerai lepas dan bisa ditatap sesuka hati oleh setiap mata lelaki yang lewat.
Ternyata merokok adalah hal yang lazim bagi sebagian perempuan Bahrain. Setidaknya, itu yang terlihat di Layali Zaman, sebuah gashow, kedai kopi tradisional, di pinggir laut. Banyak ibu rumah tangga bercengkerama sembari menikmati sheesha, rokok tradisional Arab yang diisap melalui pipa melewati bejana berisi air. Di lantai dekat meja mereka, seorang balita asyik bermain mobil-mobilan sendirian. Kok tega-teganya ibu-ibu ini mengajak anak kecil berkongko di kedai kopi, sementara suhu udara dini hari di luar demikian menggigit tulang? "Ini hal biasa di sini. Biasanya mereka baru kembali ke rumahnya menjelang subuh," ujar seorang pelayan kedai kopi. Tawanya berderai tatkala melihat wartawan TEMPO terperangah oleh penjelasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo