Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ATAS nama kompromi politik, panitia khusus skandal Bulog jilid dua sangat mungkin batal dibentuk. Rapat pleno Dewan Perwakilan Rakyat mulai Senin pekan ini agaknya membatalkan panitia yang dirancang untuk memeriksa bekas Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung dan penyaluran dana Rp 40 miliar dari Badan Urusan Logistik. Suara-suara dari DPR kian hari kian terdengar bagai kor: Kejaksaan Agung sudah menetapkan Akbar sebagai tersangka, panitia khusus tak relevan lagi.
Alasan itu mungkin benar, walau mengandung "cacat sejarah": dulu Presiden Abdurrahman juga di-pansus-kan walau kasus dugaan korupsi dana Bulog olehnya telah diperiksa Kejaksaan Agung. Dugaan lain, kompromi dicapai karena diduga banyak partai ikut menerima dana "ilegal" dari lumbung beras yang makmur itu.
Tinggallah Akbar berhadapan dengan kejaksaan. Dan orang mulai khawatir penyidikan kejaksaan seakan makin jauh dari "tangan-tangan kuat" di tubuh partai yang bermarkas di Slipi, Jakarta itu. Padahal makin terang-benderang bahwa Yayasan Raudatul Jannah yang diketuai Dadang Sukandar itu sekadar tameng yang dibikin untuk melindungi Akbar dan para petinggi Golkar lainnya.
Dengarlah kesaksian seorang mantan pengurus Raudatul Jannah. Sumber yang minta dengan sangat agar jatidirinya tak diungkap ini bersaksi bahwa keterkaitan Yayasan Raudatul dengan Golkar bukan hanya setelah kasus ini terbongkar tahun lalu, tapi sejak awal pendiriannya pada tahun 1997. Bahkan, katanya lagi, Raudatul memang didirikan sebagai mesin pencuci dana politik Golkar menjelang Pemilu 1999. Beberapa bagian keterangan sumber ini dikukuhkan oleh tiga dokumen akta Raudatul (lihat: Akta Reka-Reka) dan sejumlah bukti lainnya.
Alkisah, pada suatu hari di tahun 1997, Dadang mengajak dia dan sejumlah lainnya untuk mendirikan sebuah yayasan. Belis (begitu Dadang dijuluki teman-temannya) bukan orang asing buat mereka. Mereka teman sepermainan dan sama-sama lahir di Petojo Enclek, sebuah kampung Betawi di Jakarta Pusat. Di antara mereka yang cuma orang kebanyakan—pegawai rendahan, pemilik warung, atau sopir taksi—Dadang bernasib paling mujur. Ketika itu, ia datang dengan mobil mentereng sebagai Direktur Keuangan PT Benua Biru Nusa, perusahaan properti milik M.S. Hidayat, Wakil Bendahara Golkar.
Tak menaruh curiga, pendek kata mereka sepakat. "Tujuannya kan semula baek, katenye buat sosial dan keumatan," kata sumber ini dengan logat Betawi yang kental. Akta pendirian pun diteken pada 10 Desember 1997 silam. Notarisnya, Kartono, S.H., juga sohib Dadang ketika sama-sama bekerja di PT Bangun Tjipta, perusahaan konstruksi milik bekas menteri Siswono Yudohusodo.
Tapi, setelah itu keanehan demi keanehan mulai muncul. Setelah lama berdiri, yayasan tak melakukan aktivitas apa pun. Semua urusan ditangani Dadang sendiri. Kecurigaan makin menjadi pada rapat pertama yang baru digelar setahun kemudian di Hotel Yasmin, Cipanas, 12 Desember 1998 lampau. Ketika itulah mereka melongo mendengar penjelasan Dadang bahwa melalui rekening Raudatul keluar-masuk duit bernilai miliaran rupiah. Ketika itu selembar fotokopi cek senilai Rp 1,2 miliar dipertontonkan. Hal serupa dibahas pada rapat kedua lima hari kemudian, 17 Desember. Kali ini bertempat di Financial Club-Graha Niaga, Jalan Sudirman, Jakarta. Untuk diketahui, di lantai tiga gedung perkantoran mentereng inilah PT Benua milik Hidayat juga berkantor.
Beberapa pengurus mulai bimbang. Mereka baru sadar Raudatul bukanlah sembarang yayasan. Duit miliaran yang masuk cuma numpang lewat. Ternyata, kata sumber itu, dana gelap yang mulai menggelontor sejak September 1998 itu tak lain adalah dana politik Golkar untuk Pemilu 1999. Raudatul rupanya didesain sebagai mesin pencuci dana politik Partai Beringin. Modusnya, dana sumbangan—banyak di antaranya dari para konglomerat—disetor dulu oleh Dadang ke rekening Raudatul di tiga bank. Selang beberapa hari kemudian, untuk menghilangkan jejak, fulus ditarik tunai oleh orang kepercayaan Dadang untuk disetor ke rekening partai dan petinggi Golkar.
"Yayasan sendiri enggak ada duitnya," kata sumber itu, masygul. Boro-boro menyalurkan sembako senilai Rp 40 miliar, sejatinya hingga kini Raudatul cuma memiliki sebuah mobil jenazah butut dan satu unit tenda untuk disewakan. Alhasil, sebagian pengurus protes dan memilih keluar.
Adanya pertemuan di Hotel Yasmin di Cipanas itu dibenarkan Saleh Ganda, mantan Wakil Ketua Raudatul. "Betul, itu saya ingat," katanya. Tapi ia mengaku lupa ihwal cek Rp 1,2 miliar itu ataupun pertemuan di Graha Niaga. Kalau soal masuknya dana Golkar? "Mungkin, ya..., ha-ha-ha," kata Saleh.
Lalu, apa hubungannya dengan Rp 40 miliar dana Bulog? Benarkah dana gelap itu memang pernah diterima pengurus Raudatul pada tahun 1999 seperti dikisahkan Akbar Tandjung? Sama sekali tidak, kata sumber TEMPO. Untuk urusan satu ini, Raudatul cuma dipakai sebagai kedok untuk menutupi keterlibatan para petinggi Partai Beringin. Yayasan ini yang dipakai karena riwayat persekongkolannya dengan Golkar.
Indikasi rekayasa itu jelas terlihat dari dua "akta kembar" yang bisa didapat TEMPO. Dokumen itu secara mencolok memperlihatkan sebuah skenario untuk memuluskan rekayasa perkara ini. Pada akta pendirian 10 Desember 1997, masih tercantum nama sejumlah orang yang tak setuju dengan sepak terjang Dadang. Dalam pemeriksaan, bukan tak mungkin mereka bakal "sumbang bernyanyi". Karena itulah susunan pengurus harus dibersihkan. Pengurus yang akan memberikan keterangan di kejaksaan mestilah orang pilihan yang bisa dipercaya dan jumlahnya tak boleh terlalu banyak—untuk mengurangi risiko kebocoran.
Maka, pada 4 April 2001, hanya dua bulan setelah skandal ini dilansir ke publik oleh Menteri Pertahanan Mahfud, dibuatlah sebuah akta yang memutuskan pengunduran diri dan pergantian semua pengurus, kecuali Dadang Sukandar. Sebagai gantinya, dua nama baru di lingkaran Dadang diangkat sebagai pengurus. Pengecekan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuktikan kesahihan dokumen akta yang diperoleh TEMPO.
Yang menarik, persis pada 4 April 2001 itu jugalah Notaris Kartono mengeluarkan akta lain. Hebatnya, ini akta pendirian sebuah yayasan "baru" yang juga bernama Raudhatul Jannah (dengan huruf 'h', bukan Raudatul seperti sebelumnya). Di sini Dadang cuma menjadi dewan penasihat. Yayasan ini rupanya dibikin untuk melokalisasi pengurus lama dari persoalan gawat ini. Yang menarik, kecuali soal perbedaan huruf 'h' itu dan susunan pengurus, seluruh bunyi klausul dalam akta "baru" ini sama persis sampai ke titik-koma dengan akta pendirian Raudatul pada 10 Desember 1997 silam.
Satu per satu pengurus Raudatul menghindar diwawancarai TEMPO. Penjelasan cuma datang dari anggota keluarga istri Hermansjah Kadir, yang pernah tercatat sebagai anggota dewan pengawas. "Jangan kait-kaitkan nama suami saya dengan urusan orang gedean. Kami ini orang kecil. Yayasan suami saya cuma yayasan kampung sini, cuma urusan kematian, tidak pernah terima uang segitu besar. Suami saya enggak pernah ngurusi sembako, apalagi segede itu. Kami saja kekurangan," katanya terbata-bata. Hal senada diutarakan Hardi, anak Yusuf Ganda, yang pernah tercatat sebagai dewan penasihat, "Bapak saya sudah lama keluar. Jadi, enggak tahu apa-apa," katanya penuh selidik.
Sementara pengurus lama mengaku tak tahu-menahu, lain halnya dengan para pengurus baru. Di depan penyidik, mereka lancar berkisah tentang seluk-beluk penyaluran sembako senilai Rp 40 miliar itu. Siapa wajah-wajah baru ini? Tak lain mereka adalah orang-orang di lingkaran terdekat Dadang Sukandar. Hary Sabari, misalnya. Sekretaris baru yayasan ini adalah staf kepercayaan Dadang di PT Benua. Saat Dadang menjabat direktur keuangan di perusahaan properti milik M.S. Hidayat itu, Hary menjadi manajer keuangan. Penelusuran TEMPO membuktikan Hary hingga kini masih bekerja di kantor perusahaan M.S. Hidayat.
Abu Astaman pun sejenis Hary. Diplot sebagai pembantu umum, di depan penyidik Senin dua pekan lalu Abu mendongeng ikut mengawasi proses distribusi sembako. Menurut sumber TEMPO, Abu adalah mantan karyawan PT Timah yang terkena PHK pada tahun 1990-an. Jabatannya terakhir di perusahaan pelat merah itu cuma setingkat kepala seksi. Ia direkrut oleh karibnya, Rudy Marola, pengurus Raudatul yang masih terhitung keluarga Dadang.
Dan tak cuma akta yang direkayasa. Bahkan mayat pun mereka jebloskan dalam praktek tercela ini. Mendiang yang malang itu adalah Dadi Suryadi. Ia pernah tercatat sebagai Wakil Sekretaris Raudatul. Dadi dijadikan tumbal untuk menambal sebuah bolong besar dalam skenario ini. Seperti ditunjukkan oleh penelusuran mingguan ini sebelumnya, dana Bulog sebenarnya mengalir ke tangan petinggi Golkar. Tapi, bukti autentik penarik dana sesungguhnya di Bank Exim dan Bukopin telah dibersihkan. Alhasil, duit segunung itu tercatat ditarik para "siluman" ber-KTP palsu. Jelas, Dadang, yang dengan gagah berani telah menyatakan dana itu diterima Raudatul, kelimpungan saat mesti menjelaskan siapa pengurus yayasan yang menarik dana. Alhasil, telunjuk pun diarahkan ke jasad Dadi, yang telah membisu dan tak kuasa membantah di kuburan. Tega nian....
Dengarlah penjelasan Sabar Ompu Sungu, pengacara tim Raudatul ini, "Yang mencairkan cek itu Pak Dadi Suryadi, sekretaris yayasan. Sekarang beliau sudah meninggal." Versi Dadang lebih "hebat" lagi. Menurut dia, Dadi yang cuma seorang sopir taksi itu adalah pimpinan proyek senilai Rp 40 miliar ini. "Bukan saya yang menggelapkan. Saya terima uang dari Mensesneg. Saya serahkan semua kepada pimpro. Secara hukum, dialah yang salah jika pekerjaannya tidak beres," kilah Dadang. Sabar juga membantah bahwa para kliennya sekadar "wayang" yang diplot untuk membelokkan alur lakon Buloggate II. Ia bersikukuh dana itu memang ditarik mendiang Dadi. Buktinya? "Saya lupa. Kalau tidak salah, ada bukti kuitansi yang telah diserahkan ke kejaksaan," katanya.
Dadang juga punya dalih soal reka-reka akta ini. Menurut dia, Raudhatul (dengan 'h') adalah yayasan terpisah yang didirikan pada tahun 2001 oleh para bekas pengurus Raudatul yang mengundurkan diri pada tahun 1998. "Orang bikin sepuluh atau lima belas yayasan kan tidak ada larangan," katanya. Hal serupa dinyatakan Kartono. Menurut notaris yang mengakui hubungan pertemanannya dengan Dadang ini, itu sah-sah saja. Sebagai notaris, dia harus menerima setiap permintaan pembuatan akta. Soal kenapa para pengurus ramai-ramai mengundurkan diri dan membentuk yayasan yang serupa tapi tak sama, ia berkata, "Saya tidak etis untuk bertanya."
Tapi, kilah Kartono dan Dadang itu cuma membuat tertawa seorang Ketua Ikatan Notaris Indonesia. Membaca klausul demi klausul "akta kembar" 4 April 2001, notaris senior ini berkata, "Ini kan jelas aneh. Meski beda huruf 'h', tapi kan nama yayasannya terdengar sama, pengurusnya sama, tanggalnya sama, notarisnya pun sama," katanya. Lebih lagi, ia terheran-heran kenapa kejaksaan hanya memeriksa Dadang dan pengurus yang baru diangkat pada akta 2001. Kasus ini terjadi pada 1999. Maka, menurut hukum, mestinya para pengurus lamalah yang bertanggung jawab dan dimintai keterangan untuk mengungkap belang dari segala rekayasa perkara ini. "Bukan memeriksa nama-nama baru yang memang sudah siap pasang badan itu," kata notaris beken ini.
M.S. Hidayat, Wakil Bendahara Golkar, juga membantah kaitan Raudatul dengan partainya. Terlebih lagi, ia keras menyangkal pernah memerintahkan Dadang mendirikan Raudatul untuk mencuci dana pemilu Golkar. "Ini sangat tendensius," katanya. Dia juga menyatakan tak tahu-menahu segala urusan yayasan, termasuk bahwa Raudatul pernah menempati kantornya di Graha Niaga. Hidayat memastikan di kantornya tak pernah ada aktivitas yayasan apa pun. "Bisa saja Dadang menggunakannya sebagai alamat sementara," katanya.
Dadang pun setali tiga uang. Ia menyangkal kaitan Raudatul dengan Golkar ataupun Hidayat. "Ini murni ide saya pribadi bersama teman-teman saya semasa SD," katanya. Soal alamat di Niaga Tower? Itu cuma untuk alamat sementara, katanya, karena sejak 1998 kantor Raudatul adalah di Kompleks DPR Kebonjeruk, Jakarta.
Benarkah? Bukti yang didapat TEMPO menunjukkan Raudatul tak sekadar pinjam alamat di Graha Niaga. Itu jelas tercantum dalam surat keterangan domisili tertanggal 5 Mei 1998 yang diteken Tengku Moh. Dahlan, Manajer Umum PT Grahaniaga Tatautama (pengelola gedung), ataupun kartu nomor pokok wajib pajak yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Kebayoran Baru, Jakarta (lihat gambar). Hal ini dikukuhkan Adiludin Sidik Tanjung, mantan Wakil Sekretaris Raudatul, yang ketika itu sehari-hari berkantor di gedung mentereng itu. "Ruangan kami tersendiri, di depan kantor PT Benua Biru Nusa," katanya. Seorang kawan Dadang juga bersaksi bahwa kantor Raudatul di Kebonjeruk itu sejatinya baru dikontrak Oktober tahun lalu—hanya beberapa minggu sebelum kasus ini meledak—dengan harga sewa Rp 40 juta untuk masa tiga tahun.
Yang menarik, menurut penelusuran TEMPO, perkantoran di lantai tiga Graha Niaga itu baru satu setengah bulan lalu berganti plang nama, dari PT Benua Biru Nusa (yang ramai dikaitkan dengan Yayasan Raudatul Jannah) menjadi PT Puteraco, yang tak lain juga merupakan perusahaan milik M.S. Hidayat.
Dengan bukti-bukti segamblang ini, sangat tak masuk akal bila Kejaksaan Agung masih saja ikut "skenario" Raudatul dan "enggan" berpaling ke Slipi.
Karaniya Dharmasaputra, A. Karina Anom, Leanika Tanjung, Ardi Bramantyo, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo