Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA foto Ernesto “Che” Guevara, tokoh revolusioner Kuba, yang terpampang di Diorama Arsip Jogja itu menarik perhatian. Foto pertama, Che Guevara saat menjabat Menteri Perindustrian Kuba mengunjungi pabrik gula Madukismo, Yogyakarta, pada 31 Juli 1959. Che tampak berjabat tangan dengan salah seorang pengurus pabrik gula. Foto kedua, pada tanggal yang sama, Che bertandang ke pabrik cerutu Tarumartani, Yogyakarta. Dalam foto itu, Che bersama rombongan pemerintah Kuba tampak berada di tengah ibu-ibu pekerja yang melinting cerutu. Dia tampak dengan saksama melihat pengolahan tembakau menjadi cerutu. Che tampak berbincang dengan rekannya dari Kuba dan menunjuk tembakau di tangan para ibu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diorama Arsip Jogja (DAJ), sebuah museum arsip baru di Yogyakarta, banyak menampilkan foto langka asal Yogya dari 1940-an. Perpustakaan dan Dinas Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta, lembaga yang berada di belakang DAJ, mulai merancang museum arsip ini empat tahun lalu. Saat itu pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Gregorius Budi Subanar, yang akrab dipanggil Romo Banar, dipercaya memimpin tim pengarsipan hingga tahun lalu terlibat dalam perencanaan lini sejarah dan desain. DAJ menghadirkan arsip foto dan dokumen dengan napas baru sehingga bisa dinikmati semua kalangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memimpin tim melakukan riset yang menghadirkan sejarah Yogyakarta dari awal terbentuknya. Diorama dari arsip ini dibuat untuk menarik minat kalangan muda. Romo Banar dan timnya mengolah arsip menjadi sesuatu yang bisa dihadirkan dengan berbagai macam alat teknologi komunikasi. Arsip dan data secara kreatif dihadirkan dengan cara baru, antara lain teknologi hologram, untuk memikat generasi tua sampai anak-anak. Cara komunikasi DAJ disesuaikan dengan kelompok usia, wilayah atau bentuk, rupa, kata-kata, gambar, serta suara atau musik.
Romo Banar mencontohkan arsip tentang kunjungan Che Guevara ke pabrik gula Madukismo dan pabrik cerutu Tarumartani tersebut. "Arsip ini bagi anak-anak muda sangat menarik. Mereka terkejut Che Guevara ternyata pernah ke Yogya,” ujar Romo Banar.
Ia bersama tim visual dan kurator kemudian mengembangkan arsip itu. Arsip direproduksi dengan sentuhan seni dan gaya visual seperti aslinya. Sebab, ada beragam arsip dari Yogyakarta, termasuk manuskrip kuno dari keraton. Mereka menghadirkan halaman-halaman dari manuskrip langka yang digarisbawahi pada peristiwa-peristiwa tertentu. Romo Banar bercerita, awalnya mereka diminta membuat perencanaan dengan mengacu pada penyajian arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Tapi Romo Banar ingin mengolah ekshibisi secara lebih canggih dan variatif dengan melibatkan banyak seniman dan animator. Hasilnya, kata dia, petinggi ANRI dan Perpustakaan Nasional sekarang malah tertarik membuat program serupa.
Romo Banar dikenal sebagai sejarawan yang biasa bergelut dengan arsip langka. Misalnya, saat menulis buku tentang rohaniwan Albertus Soegijapranata, yang kemudian difilmkan oleh sutradara Garin Nugroho, ia mencari banyak arsip berupa dokumen dari sumber primer ataupun sekunder.
Koleksi Diorama Arsip Jogja saat Che Guevara bertandang ke Pabrik cerutu Tarumartani, 1 Juli 1959/Diorama Arsip Jogja
Menurut Romo Banar, pemerintah sesungguhnya memiliki banyak arsip, termasuk berupa foto. Tantangannya adalah bagaimana membangun dan menghidupkan arsip tersebut untuk publik. Pemerintah juga harus terus mencari arsip yang masih berada di tengah masyarakat untuk kemudian diperbaiki, disimpan, dan dikonservasi. “Sehingga arsipnya terus berkembang, catatan peristiwa dan dinamika pemikiran yang ada di masyarakat ikut terdokumentasi,” ucapnya. Partisipasi pihak swasta juga sangat dibutuhkan.
Romo Banar memuji usaha-usaha pribadi mencari foto langka mengenai Indonesia, apalagi mencari foto sekitar 1965 seperti yang dilakukan Jacob Cass. Namun menghidupkan sebuah foto lewat diorama dan dalam museum yang bisa dikunjungi secara fisik oleh publik tidak semudah menampilkan foto itu di Instagram. Fotografer senior sekaligus Kepala Divisi Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara Kantor Berita Antara, Oscar Motulloh, menilai kegiatan Cass cukup menarik. Oscar melihat keaslian foto-foto Cass bisa dipercaya. Sebab, Cass mendapatkan foto tersebut dari sumber primer, seperti pusat data perusahaan serta perpustakaan dan arsip perusahaan media.
Ia memastikan foto-foto tersebut tidak berasal dari Indonesian Press Photo Service. Banyak di antaranya yang berasal dari kantor berita asing, seperti Associated Press, Agence France-Presse, dan United Press. Foto yang diperoleh Cass, kata Oscar, biasanya adalah radio foto. “Dikirim seperti faksimile, tapi lebih detail. Zaman itu disebutnya wire,” tutur Oscar kepada Tempo, Kamis, 8 September lalu.
Oscar menyebutkan bisa saja foto Cass pernah dipublikasikan oleh perusahaan media yang bersangkutan. Bisa juga foto peristiwa utamanya pernah dicetak di surat kabar, tapi versi lain belum sempat dimuat dan dilihat publik. Oscar mengatakan belum pernah melihat foto-foto yang dipublikasikan Cass dalam penerbitan khusus, seperti dalam bentuk buku. Melihat ciri-ciri foto yang diperlihatkan di akun media sosialnya, foto-foto tersebut dicetak asli dari radio foto atau wire. Ia melihat koleksi Cass adalah foto-foto yang diambil pada masa revolusi hingga awal berdirinya Indonesia, ketika Indonesia banyak berdiplomasi dengan negara sahabat.
PIKRI RAMADHAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo