Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYEBERANGAN dari San Salvador -- ke Kota Guatemala sudah
merupakan acara perjalanan mingguan bagi Francisco Schmidt
Enriquez. Berbeda dengan anggota kelompok elite El Salvador
lainnya, yang berduyun-duyun mengungsi ke luar negeri, Francisco
dengan tabah bertahan di tanah air yang sedang
diumbang-ambingkan kerusuhan tak berkesudahan.
Setiap Jumat pagi, Francisco (bukan nama sebenarnya) yang
berperawakan langsing gesit itu menyarungkan pistol Colt 45 di
pinggangnya, dan bergegas ke mobil Jeep wgoneer yang sudah
menantinya di pintu keluar. Seorang sopir yang setia sudah
menunggu lelaki 38 tahun itu. Begitu pula seorang pengawal
pribadi yang bersen jata.
Kecuali seorang pembantu rumah tangga, tak ada yang menemani
Francisco di rumah besar dengan tujuh kamar tidur itu.
Keluarganya, termasuk istri, orangtua dan anak-anaknya sendiri,
sudah pindah ke Kota Guatemala lebih setahun lalu. Harta yang
berharga juga sudah diselamatkan ke kota tersebut.
Francisco sendiri sudah berniat menjual rumah yang lengang itu.
Tapi pemukiman elite bertembok yang terletak di San Benito
tersebut mengalami kenaikan harga gila-gilaan la mengurungkan
niatnya -- paling tidak untuk sementara waktu.
Mobilnya yang kukuh dilapisi baja tahan peluru seberat 1.600
pon. Meluncur kebarat di Jalan Lintas Pan-American, menuju
kawasan kopi di daerah Pegunungan Santa Ana, tempat keluarga
besar Francisco memiliki perkebunan dan penggilingan kopi.
Dengan pemilik lainnya berada di luar negeri, tugas mengawasi
perusahaan itu tertanggung ke pundak Francisco seorang.
Di pinggiran kota, Francisco melewati daerah proyek perumahan
yang dibangun pemerintah. Disediakan bagi sekitar 450 keluarga
berpenghasilan rendah, proyek ini dipercayakan para penguasa El
Salvador kepada perusahaan konstruksi milik keluarga Francisco.
Tadinya, dalam keluarga itu memang sudah ada semacam pembagian
kerja. Saudara Francisco mengurus bisnis keluarga semacam
perusahaan konstruksi tadi. Sedang Francisco sendiri, seorang
agronomis terlatih, dipercayai mengelola perkebunan. Kopi adalah
sumberpertama keberuntungan keluarga besar itu -- dan tulang
punggung ekonomi El Salvador sampai sekarang.
Setiap mengunjungi penggilingan kopinya, Francisco merasa lebih
aman dengan pistol di pinggang. Akhir-akhir ini kesetiaan pada
buruh dan karyawan di negeri itu sudah tak bisa diandalkan
seratus persen oleh para majikan.
Para pekerja di kilang kopi Francisco menerima upah Rp 2.600
sehari - termasuk tinggi untuk El Salvador. Tapi dalam kunjungan
terakhir, manajernya membisikkan berita tak sedap kepada
Francisco. Acara kerja minggu itu berantakan, gara-gara
munculnya segerombolan gerilya, entah dari sayap mana. Mereka
memaksa para buruh dan karyawan mendengarkan pidato, lalu
bergitar-gitar sembari mendendangkan "lagu-lagu revolusioner".
SANG manajer cuma bisa mencatat kejadian itu dalam agenda,
seolah-olah merupakan peristiwa bisnis. Dan Francisco sendiri
tak bisa berbuat apa-apa. Ya, begitulah memang El Salvador
sekarang ini.
Francisco biasanya tiba di perbatasan Guatemala sekitar
penghujung tengah hari. Ia meninggalkan pistolnya pada sopir dan
pengawal di mobil, berurusan 10 menit dengan para petugas
perbatasan, kemudian meloncat ke sebuah mobil Subaru yang sudah
menunggu di seberang sana bersama seorang sopir lain.
Lega rasanya berada di luar tanah air -- perasaan yang
sebetulnya aneh bagi orang yang tak mengalami huru-hara El
Salvador. Perjalanan menuju Kota Guatemala tak begitu jauh.
Dengan mata setengah terpejam Francisco sudah bisa membayangkan
makan malam yang lezat segera setelah senja jatuh. Berbeda
dengan di negerinya sendiri, di Guatemala ia bisa ke restoran
dan bioskop tanpa memikirkan seorang pembunuh di belakang
punggung.
Perjalanan Francisco itu -- dengan pengawalan bersenjata dan
mobil berlapis baja, melintasi pedalaman El Salvador
--menceminkan keresahan yang melanda kelas tertentu negeri itu
sekarang. Sampai dua tahun lalu, tak ada yang bisa membuat
khawatir kalangan ini - kecuali harga pasaran kopi
internasional.
Francisco hanya sebuah contoh keluarga cabang atas El Salvador
dengan solidaritas dan kesetiaan kelompok yang tangguh. Mereka
hisa dikenali dari nama-namanya: de Sola, Llach, Hill, Duenas,
Dalton, Regalado, Quinones dan Salaverria. Itulah "beberapa ribu
orang di negeri berpenduduk hampir 5 juta, yang membentuk
oligarki El Salvador," kata Paul Heath Hoeffel dalam tulisannya
di The New York Times Magazine, September tahun kemarin. Selama
ini Hoeffel memang rajin menulis perihal Amerika Latin.
Hampir semua anggota kelompok ini sudah menyelamatkan diri ke
negeri asing, terutama ke Kota Guatemala dan Miami.
Negeri-negeri ini menyambut mereka dengan hangat, mengucapkan
selamat datang dan membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya.
Banyak orang percaya mereka tak lagi berselera pulang ke El
Salvador, kendati di kampung halaman mereka masih memiliki
perkebunan kopi dan bank. "Perang revolusioner telah
menghancurkan dunia mereka di sana," tulis Hoeffel.
Tapi ada juga yang meramalkan kelompok ini masih punya harapan
mudik. Terutama para pencinta garis keras politik pemerintah
Ronald Reagen. Dari negeri pengasingan masing-masing, anggota
kelompok oligarki ini mengamati pembunuhan dan ekonomi El
Salvador yang sedang bangkrut, sambil tetap berharap dapat
menuntut kembali hak milik mereka yang kini terlantar dan
menghuni lagi rumah-rumah mereka yang bertembok tinggi.
Sama seperti 'las catorce familius (keluarga yang 14),
'oligarki' adalah istilah yang tak disenangi elite El Salvador
yang sedang memerintah -- kendati mereka sendiri menggunakan
istilah itu di mana-mana "la berbeda dengan aristokrasi, yang
juga kami punyai," tutur Jorge Sol Castellanos, oligark tua
berusia 66 tahun -- dan bekas menteri ekonomi. "la dinamakan
oligarki karena keluarga-keluarga ini memiliki dan mengelola
hampir segala yang bisa dijadikan uang di El Salvador." Bisnis
kopi telah melahirkan oligarki ini, dan "sejak itu pertumbuhan
ekonomi berkisar di sekitar mereka."
Menurut Sol -- bekas direktur eksekutif Dana Moneter
Internasional yang kini bermukim di Washington sebagai konsultan
ekonomi -- terdapat sekitar 20 keluarga yang membangun benteng
oligarki El Salvador. Masing-masing mungkin lebih tepat disebut
sebagai klan Mereka mengontrol lebih 60% bank pribadi, kilang
gula, produksi dan ekspor kopi negeri itu. Mereka juga menguasai
televisi dan surat kabar.
Kendati El Salvador negeri kecil dan wabah kemiskinan
merajalela, beberapa di antara keluarga oligarki itu sejajar
dengan keluarga-keluarga terkaya di dunia. Ambillah umpamanya
keluarga Salaverrias, yang kekayaannya ditaksir sekitar US$ 70
juta. Atau klan Duenas-Regalado, yang hartanya mendekati US$ 300
juta. Mereka punya pengaruh besar bahkan sampai ke luar negeri.
Selama seabad suasana langgeng dan penuh keberuntungan, bukan
tak pernah oligarki ini mengalami masa sukar. Hubungan sosial
yang dulunya seolah-olah berpihak kepada mereka, kini sudah
mengalami guncangan. Di mana-mana orang sibuk mendiskusikan
"perjuangan revolusioner."
Sedikit banyaknya para oligark ini juga mencaci-maki sekutu lama
mereka, yaitu Angkatan Darat, Gereja Roma Katolik, dan Amerika
Serikat, seperti dikatakan Paul Heath Hoeffel dalam tulisannya.
Namun sumpah serapah paling keras tentu dialamatkan kepada para
oposan revolusioner yang menggerogoti junta sipil-militer El
Salvador.
AKAN halnya Francisco Schmidt Enriquez, pada perjalanan terakhir
ke Guatemala, ia sempat berkumpul dengan sanak saudara dalam
acara makan malam di rumah salah seorang iparnya di Teluk Pine,
salah satu peristirahatan terpandang di sebelah barat Miami. Di
negeri mereka sendiri anggota keluarga itu tinggal di tengah
lingkungan yang terkenal mahal.
Selain rumah-rumah mewah mereka di tengah kota, keluarga itu
memiliki pula peristirahatan musim panas di pantai Lautan Teduh,
dan hacienda yang luas dan nyaman di daerah pinggiran. Dalam
ukuran dan gaya, pemukiman itu mengambil model rumah-rumah
perkebunan Amerika Serikat.
Kini semua itu seperti berlalu. Di Miami, para pengungsi elite
itu hidup dalam dua gaya. Beberapa di antaranya -- termasuk ipar
Francisco -- membangun kediaman tetap dan meneruskan kemewahan
model lama. Beberapa lagi, termasuk Francisco, datang berkunjung
sewaktu-waktu dengan selalu berusaha memperpanjang paspor dan
visa bisnisnya. Kelompok terakhir ini selalu menjauhi publisitas
-- demi keamanan. Hal ini berarti membatasi diri untuk muncul
di tempat-tempat umum dengan mobil Volvo yang disetir sendiri --
suatu gaya Amerika Utara yang selama ini digandrungi para
oligark itu.
Rumah mewah ipar Francisco di Miami, memang mencerminkan
kekayaan yang ditinggalkan keluarga itu di kampung halaman. Para
pelayan berkebangsaan Salvador berjaga-jaga dengan takzim di
pintu masuk. Mereka bertugas mengantarkan para tamu keluarga ke
rumah ranch yang luas, yang dihiasi perabotan berselera tinggi.
Serombongan pelayan lain ditugasi melayani makan malam di patio
yang beratapkan genteng Spanyol. Di tengah patio itu terhampar
kolam renang yang biru dan luas.
Hadirin tetap tentulah anggota klan Francisco sendiri. Saudara
sepupunya salah seorang pemimpin berpengaruh Aliansi Produktif,
organisasi bisnis paling penting di El Salvador yang dikontrol
para oligark. Kadang-kadang hadir pula bekas menteri, tokoh
bisnis terkemuka yang datang dalam busana santai, serta para
istri mereka yang cantik dan gemerlapan.
Para nyonya ini segera terlibat dalam kecek yang lebih
konservatif ketimbang suami mereka. Sementara kaum pria
berbincang-bincang dalam bahasa Inggris, nyonya-nyonya itu tetap
setia berbahasa Spanyol.
Hubungan batin mereka dengan Amerika sulit dilukiskan. "Kami
memuji jiwa dagang Anda, tapi tak menyukai gagasan-gagasan
politik Anda," kata seorang oligark sekali waktu kepada Paul
Hoeffel.
Francisco adalah contoh khas dari kaumnya. Semua anggota klan
ini bersekolah di Amerika Serikat. Francisco sendiri mula-mula
masuk sekolah Katolik yang berasrama di New England Kemudian
mempelajari agronomi di Texas lalu menyelesaikan studi di
Wharton School Universitas Pennsylvania. Seluruhnya makan waktu
11 tahun.
"Seperti lainnya masyarakat cabang atas di sebagian besar negeri
Amerika Tengah," tulis Hoeffel, "elite El Salvador tak pernah
mengembangkan kebudayaan mereka sendiri." Mereka tergila-gila
kepada segala yang berbau Amerika, tapi tak seorang betah
menetap di negeri itu.
Percakapan setelah makan malam biasanya dimulai dengan
berita-berita keluarga. Kemudian beralih ke gunjing politik.
Topik ini tak pernah kehilangan daya tariknya di kalangan
perantau hartawan itu.
Perdebatan biasanya timbul dari masalah "cara terbaik
menggulingkan Presiden Jose Napoleon Duarte yang didukung kaum
Demokrat Kristen." Sebagian besar kalangan oligarki memandang
penguasa ini tak bertanggungjawab dalam memikirkan kepentingan
bisnis.
TAPI mereka juga tak sudi memberi kesempatan kepada Front
Revolusioner Demokratik (FDR), pihak oposan yang sudah terlalu
jauh disusupi ideologi kiri. FDR memiliki lima kelompok gerilya
yang dipimpin Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN).
Menyaksikan pertarungan tak berkesudahan antara FDR, FMLN, dan
junta yang dikepalai Duarte, kaum oligark ini kadang tergerak
pula untuk mengambil peluang politis.
"Duarte adalah seorang komunitarian," ujar adik Francisco,
seorang pemimpin bisnis. "Pembaruannya bersifat sosialistis."
Kaum oligarki ini ingin meyakinkan Amerika dan Angkatan Darat,
bahwa Duarte "sedang menghancurkan ekonomi," dan bahwa mereka
"tak bisa bekerjasama dengan pemerintah, sampai Duarte turun
panggung atau mengubah sikapnya." Mereka tak mau dituduh
merencanakan kup tapi menyatakan "tak bisa bekerjasama dengan
pemerintah yang dipimpin Duarte."
Dalam beberapa hal kelompok ini demikian Amerikanya, hingga
lebih senang minum kopi instant. Seolah-olah melupakan fakta
bahwa nasib baik mereka justru ditunjang perkebunan kopi yang
dirintis nenek moyang pada sekitar peralihan abad.
Bisnis kopi dan perkawinan silang antara kaum oligarki telah
melahirkan jaringan dunia usaha dan hubungan keluarga yang
kait-berkait. Di samping usaha perkebunan keluarga Francisco
umpamanya bergerak pula dalam bisnis real estate, asuransi,
pergudangan, konsesi impor konstruksi, dan perusahaan simpan
pinjam.
Tahun 1980 pemerintah El Salvador mengambil alih kontrol atas
semua bank swasta. Langkah ini, kata mereka, ditempuh sebagai
ikhtiar pengembangan modal dan pemberian kredit dalam usaha
reformasi agraria yang dilancarkan dalam tiga tahap.
Anehnya, berhadapan dengan reformasi dan tindakan keras itu,
bisnis keluarga justru bertambah maju. "Setelah bertahun-tahun,
kami mengalihkan orientasi kegiatan kami kepada konsumen kelas
menengah," Francisco menerangkan.
Sebelumnya impor bagai semata-mata melayani kaum berharta --
dengan pemasaran yang sempit. Belakangan masyarakat bisnis ingin
melihat perluasan pasar.
Sementara itu para pengritik kaum oligarki menyalahkan kelompok
ini sebagai hambatan atas usaha perubahan radikal. Terutama
peranan mereka dilapangan ekonomi, khususnya di daerah pedalaman
yang berpenduduk padat.
SAMBIL menghadang setiap langkah pembaruan sosial dan politik
sampai saat ini, kaum oligark. sendiri menilai peranan mereka
sebagai "arsitek El Salvador". Yaitu "kaum yang secara
terus-menerus menghimbau semangat industri, sehingga tanah yang
tandus ini menjadi salah satu negeri paling produktif bersama
Peru dan Israel di mata Barat.
Mereka membanggakan diri sebagai elite paling kosmopolitan di
kawasan tersebut. "Semangat wiraswasta kami adalah satu-satunya
sumber nasional negeri ini," ujar seorang nyonya hartawan dalam
sebuah percakapan. "Tanpa kami negeri ini bakal masuk liang
kubur." Bukan main.
Ada dua hal yang membuat para oligark memilih kabur ke luar
negeri. Pertama ancaman penculikan dan penyanderaan, yang
menghantui mereka sejak tak kurang satu dekade terakhir. Yang
kedua adalah pernyataan pemerintah El Salvador tentang pembaruan
di lapangan perdagangan dan pertanian.
Penculikan dimulai pada 1972 dengan Ernesto Regalado Duenas
sebagai horban pertama. Uang tebusan yang dituntut para penculik
mencapai jumlah jutaan dollar. Toh Duenas dibunuh sebelum uang
tebusan dibayarkan. Sejak saat itu, sekitar US$ 50 juta
mengalir ke tangan para penculik.
Salah seorang oligark yang menyembunyikan namanya bahkan mengaku
ikut menaikkan pasaran uang tebusan. Kebetulan scorang adiknya
menjadi korban penculikan. "Setelah berunding berbulan-bulan,"
katanya, "kami menyerahkan US$ 4 juta tunai. "
la malah bersyukur, "tak sampai menggadaikan kebun" untuk
memenuhi tuntutan. Kini ia terpaksa membayar semacam pajak.
Soalnya, "kami tak mau lagi mengalami kesulitan," katanya.
Tapi seperti semua hal-ihwal di El Salvador, tak jelas benar
kepada siapa "pajak" itu dibayarkan. Kepada gerombolan penculik,
para gerilyawan, kawanan bromocorah biasa -- atau para perwira
yang sedang naik daun, yang juga mengutip semacam "pajak keadaan
darurat" dari para oligark.
Sekarang perkara 'pembaruan'. Banyak pihak menilai langkah ini
sebagai hasil "tekanan" Washington. Terutama untuk maksud
mematahkan kekuatan kaum oligarki di lapangan ekonomi.
Junta yang sekarang, yang memperoleh kekuasaannya dengan
menggulingkan pemerintahan Jenderal Carlos Humberto Rumero pada
Oktober 1979, mengumumkan landreform tiga tahap, kontrol atas
bank swasta dan nasionalisasi ekspor kopi, gula dan kapas.
Dari tiga tahapan pembaruan agraria baru satu yang bisa jalan.
Yaitu pengambilalihan tanah pertanian yang luasnya melebihi 1250
acre. Tahap kedua, yang menyangkut tanah pertanian kelas
menengah -- tempat utama perladangan kopi--tetap tak bisa
dilaksanakan. Sedang tahap ketiga -- "tanah untuk penggarap" -
yang kabarnya dirancang dari Washington, hanya terlaksana
sekelumit.
Usaha pokok yang dilancarkan para oligark ialah menggagalkan
"pembaruan" ini. Kemudian mengangkut harta mereka secara utuh ke
luar negeri. Para tuan tanah yang sekaligus mengontrol bank, tak
segan-segan "menggadaikan" kebun mereka dengan harga miring,
kemudian memindahkan uangnya ke berbagai bank Miami.
Jalan keluar yang ditempuh keluarga Francisco lain lagi. Pada
1978 mereka sudah mengatasnamakan tanah perkebunannya kepada
beberapa sanak saudara. Luas masing-masing tanah itu tak
terjangkau lagi oleh ketentuan 'pembaruan'. Mereka tetap
berjaya, sembari memperolok-olokkan usaha ambil alih itu sebagai
"perampasan."
Dengan pelbagai cara kaum oligarki membuat 'pembaruan' tak bisa
berkutik. Dan elite El Salvadortehp megap-megap dalam pelbagai
kesulitan.
"Kendati sudah memerintah tak kurang dari setengah abad,
Angkatan Bersenjata El Salvador tetap dipandang sebagai 'hamba'
kaum oligarki," tulis Hoeffel. Mereka menangguk kemakmuran dari
lautan korupsi yang diciptakan birokrasi.
Tapi kini, kata para oligark, tentara melaksanakan perintah
Washington. Melalui 'pembaruan' mereka konon beroleh keuntungan
yang masuk ke kocek pribadi, terutama dari pajak dan ekspor.
Gereja Katolik juga tak bisa dipercaya lagi, kata pembela para
oligark. Kini sudah lahir generasi rahib yang baru, yang berani
mengutuk kaum oligarki sebagai pemeras dan pembunuh. Banyak
oligark, menurut Francisco, kini meninggalkan kepercayaan
katolik mereka dan bergabung dengan Gereja Protestan.
Ketika Francisco ditanya mengenai pembunuhan Uskup Agung Oscar
Arnulfo Romero dua tahun lalu, ia mengangkat bahu. Malah balik
bertanya: "Mungkinkah para perwira menenggang seorang uskup
agung yang menyarankan para serdadu meletakkan senjata, dan
melawan perintah membunuh dari atasan mereka? "
Sekarang setiap oligark boleh dikatakan memandang Washington
dengan kebencian berapi-api. Beberapa di antara mereka menuding
Jimmy Carter sebagai biang keladi.
Dengan kebijaksanaannya mengenai 'hak-hak asasi manusia' sekitar
lima tahun lalu, presiden AS itu mereka nilai "mengkhianati
Jenderal Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua dan mentolerir
gerilya Sandinish." Padahal, kaum "revolusioner" itulah yang
menaburkan 'wahyu pemberontakan' ke seluruh Amerika Tengah.
Latar belakang yang lebih bersifat ideologis agaknya bisa dikaji
dari tahun 1960 -- ketika Washington menjawab revolusi Kuba
dengan membentuk apa yang dinamakan Aliansi Untuk Kemajuan.
Atas nama 'kemajuan', industri dipaksakan bangkit di Amerika
Latin. Negeri seperti El Salvador kemudian menjadi tempat
pelemparan utama berbagai hasil produksi yang sesungguhnya tak
begitu bermanfaat. Ia juga menjadi sasaran para penanam modal
asing yang mengincar tenaga kerja murah dan pajak yang "bisa
diatur".
Kaum oligarki segera berhadapan dengan perusahaan multinasional.
Mereka dipaksa menerima "pembaruan", yang antara lain menetapkan
upah minimal dan kerja enam hari seminggu bagi kaum buruh.
Langkah ini dituding para oligark sebagai kutipan dari gagasan
sosialisme.
TAPI ada juga yang menimbang persoalan dengan neraca sejarah
yang lebih rumit. Bermula dari 1932, tahun depresi, tatkala
perkebunan-perkebunan kopi mengalami masa suram. Itu juga tahun
penindasan atas kaum tani, yang dibangkitkan oleh keadaan yang
morat-marit, dan kaum komunis lokal di bawah pimpinan tokoh
semacam Augustinus Farabundo Marti. Kini nama itu diabadikan
sebagai tanda pengenal Front Gerilya El Salvador.
Pemberontakan tani itu diakhiri dengan penjagalan yang
berlangsung seminggu penuh. Puluhan ribu campesinos -- para
petani penggarap - diantrekan di depan algojo dan dibantai tanpa
perkara. Peristiwa ini menandai tahun pertama naiknya
kediktatoran militer di El Salvador. Di sisi lain, ia merupakan
awal dibabatnya kebudayaan Indian negeri itu.
Jorge Sol, yang pada tahun pembantaian itu masih seorang
mahasiswa, melihat latar belakang ini bagi munculnya
"pasukan-pasukan pembunuh" di El Salvador belakangan. Kaum
oligarki begitu terkesan menyaksikan Angkatan Bersenjata
menumpas pemberontakan itu. Para oligark muda kemudian membentuk
kelompok para militer yang menamakan diri Garda Nasional.
Dan garda ini ikut membunuh ribuan rakyat. Hingga kini,
kebiasaan menempuh jalan pintas dengan kekerasan itu belum
berhenti. Semboyan yang digunakan pihak-pihak yang bermusuhan
tepat seperti zaman dulu: "Muerto el perro, se acabo la rabia"
(Bunuh sang anjing, demi memberantas penyakit anjing gila).
Membalik lembaran sejarah, pada 1898 Herbert de Sola
menginjakkan kakinya di San Salvador. Keturunan Yahudi ini
beremigrasi dari Negeri Belanda ke Pulau Curacao di Karibia,
sekitar 1.750-an. Di tempat baru ini ia segera menjadi eksportir
damar balsam dan bahan celup indigo -- kelak ekspor utama El
Salvador.
Awal 1940-an ia membeli perkebunan kopi dan tebu, dan mengangkat
dirinya di antara para oligark negeri itu. Ia merupakan contoh
sungsang dari sejarah keluarga Francisco, yang memulai bisnis
dari perkebunan, baru kemudian memperluas usaha ke perdagangan
umum.
Herbert de Sola kini meninggalkan seorang cucu, Orlando, pria 39
tahun yang menamatkan studinya di Universitas Columbia pada
1968. Orlando adalah satu di antara ratusan hartawan El
Salvador yang 'mengungsi' ke Miani, dan tak berani pulang.
Orlando de Sola adalah seorang ekstrim konservatif dari nenek
moyang yang liberal menurut ukuran kaum oligarki. Ia berada di
Miami dengan visa turis, tapi tak bisa menghindarkan diri dari
publisitas.
Ia oligark El Salvador yang paling melibatkan diri dalam
kegiatan politik, dan salah seorang jurubicara Yayasan
Kemerdekaan El Salvador, sebuah kelompok lobi para pengungsi
oligark. Banyak anggota klub ini dekat dengan tokoh penting AS,
dan bersangkut-paut dengan kegiatan kelompok ekstrim kanan di El
Salvador.
De Sola selalu membanggakan kakeknya dari garis itu. John T.
Wright, yang datang dari San Francisco pada 1917.
Dibayang-bayangi semangat klasik kaum kolonial, de Sola
menghabiskan waktunya menikmati hidup di Miami.
Kadang-kadang ia memacu perahu motornya di Teluk Biscayne, dari
dermaga pribadinya yang terlindung. Pada waktu yang lain ia
bercengkerama dengan rekan-rekan dekat di sekitar perairan Key
Biscayne.
Sering, setelah menikmati makan malam bersama istrinya, Claudia,
dan bayi perempuannya, Camilo, di rumah mereka yang bernilai US$
500 ribu di Miami, de Sola terkenang sebuah peristiwa pada masa
kecilnya. Peristiwa itu begitu mencekam dan membekas, dan
membuatnya yakin betapa murahnya hidup di El Salvador.
Pada suatu malam, ia mengendarai mobil bersama ibunya. Mereka
baru mengunjungi perkebunan kapas kakek de Sola, di hutan
sepanjang pantai Pasifik. Tiba-tiba lampu mobil menyorot dua
orang petani yang sedang berkelahi di jalan.
"Saya masih ingat bagaimana parang turun cepat menghantam kepala
salah seorang yang berkelahi itu," kata de Sola terkenang.
"Kemudian suara besi membelah tengkorak. Pembunuh itu
melakukannya seperti membelah kelapa saja."
Pada 1976, ibu de Sola membagi-bagikan tanah warisannya menjadi
10 bagian, dan menyerahkannya kepada anak-anaknya. Tapi karena
tanah itu saling bergandengan, jumlah luasnya mlebihi ketentuan
yang tertera dalam keputusan 'pembaruan' tahap satu. Semuanya
diambil-alih pemerintah.
Di samping itu, keluarga ini kehilangan pula perkebunan kopi,
sekalian dengan perusahaan ekspor kopinya De Sola tak sampai
terkejut. Ia bukan orang baru di El Salvador, dan sudah terbiasa
dengan pelbagai "kejutan".
Kini ia mengamati pertarungan kekuatan yang terjadi di negerinya
dengan seksama. "Soalnya bukan perkara kiri dan kanan," katanya
kepada seorang wartawan. "Melainkan perkara salah dan benar."
Menurut hematnya, landreform yang dilaksanakan pemerintah lebih
cepat meruntuhkan ekonomi ketimbang sepak terjang para
gerilyawan.
Ia percaya, institut Amerika yang menuntun pelaksanaan
landreform di El Salvador tergoda oleh gagasan "setiap orang
harus memiliki tanah." Padahal, kata de Sola, "campesinos itu
membutuhkan keamanan dan pekerjaan, bukan tanah."
"Apa yang kita butuhkan adalah industrialisasi," kata de Sola
lebih lanjut. "Membangun zona perdagangan bebas seperti yang
dilakukan Singapura dan Filipina. Kita harus menciptakan
kesempatan kerja di lapangan industri, untuk menanggulangi
pengangguran . "
KAUM oligark ini tak suka pada taktik politik. Yayasan
kemerdekaan, yang basisnya berada di Amerika, merupakan semacam
tandingan bagi Aliansi Produktif yang sempat memegang posisi
penting di El Salvador. De Sola termasuk salah seorang yang
mengutuk aliansi ini lantaran keinginannya untuk ikut
pemerintah.
"Mereka hanya segelintir oligark yang ingin mendirikan sebuah
klub santai, saling mendukung seperti pada zaman yang silam,"
katanya mencemooh Aliansi Produktif. "Apa yang kami inginkan
ialah ekonomi pasar bebas, sebuah negeri yang berdiri pada kaki
sendiri dan tidak hanya menunggu rezeki."
Dari pihak aliansi datang jawaban yang tak kalah sengit. Adalah
Manuel Enrique, jurubicara dan pelobi aliansi di Washington,
yang angkat bicara. Yayasan Kemerdekaan, katanya, adalah
perkumpulan oligark yang tak berarti, yang tak memahami realitas
politik di El Salvador.
Tapi kedua kelompok itu sependapat dalam memandang Presiden Jose
Napoleon Duarte. "Duarte adalah seorang komunis yang mempercayai
Tuhan," kata de Sola sengit. "Ia seorang demagog profesional
yang didukung tentara semata-mata karena ia punya koneksi
internasional. Kejatuhannya sudah dapat dipastikan."
Penyelesaian politik semacam pemilihan umum sudah tak menarik
hati orang-orang seperti de Sola. "Berkali-kali pemilihan
akhirnya merupakan urusan brengsek," katanya. "Lebih baik
tentara mengambil alih pemerintahan. Bila Amerika bisa membantu
pemerintahan militer di Guatemala, mengapa mereka tidak
melakukan hal yang sama di El Salvador? Kelak toh semua orang
bisa dipaksa menerima kenyataan . "
SEPERTI banyak oligark El Salvador, Orlando de Sola dituduh
menghasut dan membiayai kaum teroris sayap kanan. Kemungkinan
ini wadah ditebak. Sebagai pengikut garis keras, ia melihat
kekuatan bersenjata sebagai lembaga satu-satunya yang mampu
bertahan menghadapi krisis selama tiga tahun terakhir. "
Salah seorang yang sependapat dengan Orlando adalah Roberto
D'Aubuisson, bekas mayor Angkatan Darat. Tokoh ini dipaksa
keluar dari dinas militer oleh para perwira penganut garis keras
lainnya. Setelah kudeta yang menggulingkan Jenderal Romero, ia
bermukim di Kota Guatemala.
Pada 1977, tatkala kekerasan politik meningkat secara dramatis,
D'Aubuisson, bekas perwira intelijen Garda Nasional berusia 38
tahun, membentuk Pasukan Tentara Putih -- semacam kelompok
pembunuh yang menampung bekas anggota Garda Nasional dan
organisasi keamanan lain.
Menurut dokumen yang diungkapkan bekas Dubes Robert E. White,
para "prajurit putih" ini terlibat beberapa pembunuhan politik
yang penting di El Salvador. Mereka juga, konon, yang
menyediakan penembak jitu dalam pembunuhan Uskup Agung Romero,
Maret 1980. Tak lama sebelum peristiwa tragis itu, sang uskup
agung pernah menyebut D'Aubuission "pendusta, penganiaya dan
pembunuh'.
Setelah pembunuhan itu, D'Aubuisson berpidato dalam rekaman
kaset video. Tanpa tedeng aling-aling ia menyatakan bersukacita
atas kematian Romero. Ia juga menghimbau para perwira untuk
berpihak kepadanya dan menggulingkan pemerintah.
Salah seorang sahabat Orlando de Sola, Alfonso Salaverria,
mengedarkan kaset video itu secara gelap ke barak-barak tentara
pemerintah. Kini Alfonso menjadi tetangga Orlando di Miami. Dia
adalah anggota Yayasan Kemerdekaan yang banyak kehilangan
perkebunan kopi akibat 'pembaruan' yang dilancarkan pemerintah.
Dalam menghadapi dilema negeri itu, ia menganut garis keras
model de Sola. "Pusat kekuatan yang sesungguhnya, itulah
Angkatan Bersenjata dan pasukan-pasukan pembunuh yang berhadapan
dengan para oposan dan gerilyawan kiri," kata Alfonso. "Situasi
politik hanya bisa diatasi dengan salah satu cara-cara Vietnam
atau Chili," Seperti halnya de Sola, Salaverria menjadi
pendukung D'Aubuisson.
"D'Aubuisson telah bangkit dan memprotes Angkatan Bersenjata
yang begitu saja menyetujui pembaruan inkonstitusional yang
didiktekan Washington," kata de Sola. "Saya, bersama sejumlah
perwira muda, mengagumi keberaniannya."
Mei 1980, de Sola mengundang D'Aubuisson ke Miami. Secara
pribadi ia mengantarkan D'Aubuisson menemui beberapa senator dan
anggota Kongres Amerika yang sepaham.
Sebaliknya de Sola juga pernah mengunjungi D'Aubuisson di Kota
Guatemala. Di sana ia membuka kontak dengan beberapa bekas
perwira Garda Nasional rezim Somoza. Mereka kebetulan sedang
membentuk tentara sewaan untuk menumbangkan pemerintahan
Sandinistadi Nikaragua. Juga melatih pasukan-pasukan maut di El
Salvador.
"Mereka sangat terlatih dan membutuhkan US$ 40 ribu," kata de
Sola, dalam sebuah pertemuan dua tahun lalu. "Saya katakan
kepada mereka: saya sangat berminat membantu, tapi tak punya
uang sebanyak itu."
Dubes White mengakui, sangat sulit membuktikan secara kongkrit
keterlibatan para oligark menyeponsori kegiatan para teroris.
"Tak ada yang pasti di negeri seperti El Salvador," katanya
"Desas-desus dan gosip sudah sulit dibedakan dcngan laporan
intelijen."
Tapi hubungan mesra antara para tuan tanah dan Garda Nasional
sudah berjalan beberapa dekade. Sesuai dengan hukum yang
berlaku, pasukan-pasukan Garda bahkan bisa menerima perintah
dari para tuan tanah.
Dengan gaji yang rendah, sekitar US$ 160 sebulan, para perwira
muda Garda Nasional menjadi sasaran empuk kaum ol igark yang
bernafsu menanamkan pengaruh. Mereka bisa saja dikerahkan
mendukung pelbagai gerakan.
Mungkin saja di masa yang akan datang para oligark penganut
garis keras tak begitu memperhatikan lagi urusan membina pasukan
bersenjata -- dan lebih memusatkan diri pada kegiatan politik.
Bagi Orlando de Sola, memperoleh dukungan pemerintah militer
Argentina dan Chili sangat penting -- demi mengurangi pengaruh
internasional Venezuela dan Meksiko di seantero kawasan
tersebut. Sementara itu, menurut Kementerian Luar Negeri AS,
pendekatan yang dilakukan para tentara El Savador terhadap
Argentina dan Chili bisa merupakan faktor sangat penting di masa
depan.
Di dalam negeri, persekutuan tradisional kaum oligark El
Salavador dengan Angkatan Bersenjata sedang mengalami keadaan
surut. Tapi tokoh seperti Francisco Schmidt Enriquez dan Orlando
de Sola belum kehilangan harapan. Suatu hari kelak, kata mereka,
kerjasama akan di jalin kembali seperti sediakala.
Hanya tak seorang pun percaya mukjizat akan terjadi dalam satu
malam. Angkatan Bersenjata, yang dulunya dianggap partner
yunior, kini sudah berkembang menjadi pasangan senior. Ditunjang
bantuan ekonomi dan militer AS, mereka makin mafhum nikmatnya
kekuasaan. Beberapa pengamat bahkan meramalkan, kelompok 500
perwira dalam pasukan keamanan El Salvador kini mulai
memperlihatkan tingkah laku "oligarki baru".
KALAU hal ini terjadi, "pengasingan" para oligark di luar tanah
air bisa berkepanjangan. Francisco mungkin akan menetap di
Miami. De Sola boleh jadi memanfaatkan hubungan dengan diktator
militer di Amerika Latin. Pagi-pagi dia sudah mencanangkan,
"bila segala-galanya gagal, saya dan keluarga akan hengkang ke
Chili."
Keadaan tampaknya cenderung bertambah buruk. Sementara pemilu
dilaksanakan di El Salvador, Guatemala diguncang 'gempa' kudeta
pula. Para oligark El Salvador yang menumpangkan nasib dan harta
benda mereka di negeri ini tentu ikut runyam memikirkan tempat
baru yang aman. Kecuali kalau penguasa baru El Salvador bisa
membuat negeri itu aman untuk kaum oligark, kata Paul Heath
Hoeffel, nama-nama seperti de Sola, Llach, Duenas, Quinonez, dan
Salaverria, makin lama akan semakin jauh. Dan akhirnya tinggal
kenangan bagi negeri yang kecil itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo