Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Orang-orang kaya el salvador

Kelompok elite el salvador (kelompok oligarki), hampir semuanya menyelamatkan diri ke luar negeri, akibat kerusuhan berkepanjangan di dalam negeri. (sel)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYEBERANGAN dari San Salvador -- ke Kota Guatemala sudah merupakan acara perjalanan mingguan bagi Francisco Schmidt Enriquez. Berbeda dengan anggota kelompok elite El Salvador lainnya, yang berduyun-duyun mengungsi ke luar negeri, Francisco dengan tabah bertahan di tanah air yang sedang diumbang-ambingkan kerusuhan tak berkesudahan. Setiap Jumat pagi, Francisco (bukan nama sebenarnya) yang berperawakan langsing gesit itu menyarungkan pistol Colt 45 di pinggangnya, dan bergegas ke mobil Jeep wgoneer yang sudah menantinya di pintu keluar. Seorang sopir yang setia sudah menunggu lelaki 38 tahun itu. Begitu pula seorang pengawal pribadi yang bersen jata. Kecuali seorang pembantu rumah tangga, tak ada yang menemani Francisco di rumah besar dengan tujuh kamar tidur itu. Keluarganya, termasuk istri, orangtua dan anak-anaknya sendiri, sudah pindah ke Kota Guatemala lebih setahun lalu. Harta yang berharga juga sudah diselamatkan ke kota tersebut. Francisco sendiri sudah berniat menjual rumah yang lengang itu. Tapi pemukiman elite bertembok yang terletak di San Benito tersebut mengalami kenaikan harga gila-gilaan la mengurungkan niatnya -- paling tidak untuk sementara waktu. Mobilnya yang kukuh dilapisi baja tahan peluru seberat 1.600 pon. Meluncur kebarat di Jalan Lintas Pan-American, menuju kawasan kopi di daerah Pegunungan Santa Ana, tempat keluarga besar Francisco memiliki perkebunan dan penggilingan kopi. Dengan pemilik lainnya berada di luar negeri, tugas mengawasi perusahaan itu tertanggung ke pundak Francisco seorang. Di pinggiran kota, Francisco melewati daerah proyek perumahan yang dibangun pemerintah. Disediakan bagi sekitar 450 keluarga berpenghasilan rendah, proyek ini dipercayakan para penguasa El Salvador kepada perusahaan konstruksi milik keluarga Francisco. Tadinya, dalam keluarga itu memang sudah ada semacam pembagian kerja. Saudara Francisco mengurus bisnis keluarga semacam perusahaan konstruksi tadi. Sedang Francisco sendiri, seorang agronomis terlatih, dipercayai mengelola perkebunan. Kopi adalah sumberpertama keberuntungan keluarga besar itu -- dan tulang punggung ekonomi El Salvador sampai sekarang. Setiap mengunjungi penggilingan kopinya, Francisco merasa lebih aman dengan pistol di pinggang. Akhir-akhir ini kesetiaan pada buruh dan karyawan di negeri itu sudah tak bisa diandalkan seratus persen oleh para majikan. Para pekerja di kilang kopi Francisco menerima upah Rp 2.600 sehari - termasuk tinggi untuk El Salvador. Tapi dalam kunjungan terakhir, manajernya membisikkan berita tak sedap kepada Francisco. Acara kerja minggu itu berantakan, gara-gara munculnya segerombolan gerilya, entah dari sayap mana. Mereka memaksa para buruh dan karyawan mendengarkan pidato, lalu bergitar-gitar sembari mendendangkan "lagu-lagu revolusioner". SANG manajer cuma bisa mencatat kejadian itu dalam agenda, seolah-olah merupakan peristiwa bisnis. Dan Francisco sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ya, begitulah memang El Salvador sekarang ini. Francisco biasanya tiba di perbatasan Guatemala sekitar penghujung tengah hari. Ia meninggalkan pistolnya pada sopir dan pengawal di mobil, berurusan 10 menit dengan para petugas perbatasan, kemudian meloncat ke sebuah mobil Subaru yang sudah menunggu di seberang sana bersama seorang sopir lain. Lega rasanya berada di luar tanah air -- perasaan yang sebetulnya aneh bagi orang yang tak mengalami huru-hara El Salvador. Perjalanan menuju Kota Guatemala tak begitu jauh. Dengan mata setengah terpejam Francisco sudah bisa membayangkan makan malam yang lezat segera setelah senja jatuh. Berbeda dengan di negerinya sendiri, di Guatemala ia bisa ke restoran dan bioskop tanpa memikirkan seorang pembunuh di belakang punggung. Perjalanan Francisco itu -- dengan pengawalan bersenjata dan mobil berlapis baja, melintasi pedalaman El Salvador --menceminkan keresahan yang melanda kelas tertentu negeri itu sekarang. Sampai dua tahun lalu, tak ada yang bisa membuat khawatir kalangan ini - kecuali harga pasaran kopi internasional. Francisco hanya sebuah contoh keluarga cabang atas El Salvador dengan solidaritas dan kesetiaan kelompok yang tangguh. Mereka hisa dikenali dari nama-namanya: de Sola, Llach, Hill, Duenas, Dalton, Regalado, Quinones dan Salaverria. Itulah "beberapa ribu orang di negeri berpenduduk hampir 5 juta, yang membentuk oligarki El Salvador," kata Paul Heath Hoeffel dalam tulisannya di The New York Times Magazine, September tahun kemarin. Selama ini Hoeffel memang rajin menulis perihal Amerika Latin. Hampir semua anggota kelompok ini sudah menyelamatkan diri ke negeri asing, terutama ke Kota Guatemala dan Miami. Negeri-negeri ini menyambut mereka dengan hangat, mengucapkan selamat datang dan membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya. Banyak orang percaya mereka tak lagi berselera pulang ke El Salvador, kendati di kampung halaman mereka masih memiliki perkebunan kopi dan bank. "Perang revolusioner telah menghancurkan dunia mereka di sana," tulis Hoeffel. Tapi ada juga yang meramalkan kelompok ini masih punya harapan mudik. Terutama para pencinta garis keras politik pemerintah Ronald Reagen. Dari negeri pengasingan masing-masing, anggota kelompok oligarki ini mengamati pembunuhan dan ekonomi El Salvador yang sedang bangkrut, sambil tetap berharap dapat menuntut kembali hak milik mereka yang kini terlantar dan menghuni lagi rumah-rumah mereka yang bertembok tinggi. Sama seperti 'las catorce familius (keluarga yang 14), 'oligarki' adalah istilah yang tak disenangi elite El Salvador yang sedang memerintah -- kendati mereka sendiri menggunakan istilah itu di mana-mana "la berbeda dengan aristokrasi, yang juga kami punyai," tutur Jorge Sol Castellanos, oligark tua berusia 66 tahun -- dan bekas menteri ekonomi. "la dinamakan oligarki karena keluarga-keluarga ini memiliki dan mengelola hampir segala yang bisa dijadikan uang di El Salvador." Bisnis kopi telah melahirkan oligarki ini, dan "sejak itu pertumbuhan ekonomi berkisar di sekitar mereka." Menurut Sol -- bekas direktur eksekutif Dana Moneter Internasional yang kini bermukim di Washington sebagai konsultan ekonomi -- terdapat sekitar 20 keluarga yang membangun benteng oligarki El Salvador. Masing-masing mungkin lebih tepat disebut sebagai klan Mereka mengontrol lebih 60% bank pribadi, kilang gula, produksi dan ekspor kopi negeri itu. Mereka juga menguasai televisi dan surat kabar. Kendati El Salvador negeri kecil dan wabah kemiskinan merajalela, beberapa di antara keluarga oligarki itu sejajar dengan keluarga-keluarga terkaya di dunia. Ambillah umpamanya keluarga Salaverrias, yang kekayaannya ditaksir sekitar US$ 70 juta. Atau klan Duenas-Regalado, yang hartanya mendekati US$ 300 juta. Mereka punya pengaruh besar bahkan sampai ke luar negeri. Selama seabad suasana langgeng dan penuh keberuntungan, bukan tak pernah oligarki ini mengalami masa sukar. Hubungan sosial yang dulunya seolah-olah berpihak kepada mereka, kini sudah mengalami guncangan. Di mana-mana orang sibuk mendiskusikan "perjuangan revolusioner." Sedikit banyaknya para oligark ini juga mencaci-maki sekutu lama mereka, yaitu Angkatan Darat, Gereja Roma Katolik, dan Amerika Serikat, seperti dikatakan Paul Heath Hoeffel dalam tulisannya. Namun sumpah serapah paling keras tentu dialamatkan kepada para oposan revolusioner yang menggerogoti junta sipil-militer El Salvador. AKAN halnya Francisco Schmidt Enriquez, pada perjalanan terakhir ke Guatemala, ia sempat berkumpul dengan sanak saudara dalam acara makan malam di rumah salah seorang iparnya di Teluk Pine, salah satu peristirahatan terpandang di sebelah barat Miami. Di negeri mereka sendiri anggota keluarga itu tinggal di tengah lingkungan yang terkenal mahal. Selain rumah-rumah mewah mereka di tengah kota, keluarga itu memiliki pula peristirahatan musim panas di pantai Lautan Teduh, dan hacienda yang luas dan nyaman di daerah pinggiran. Dalam ukuran dan gaya, pemukiman itu mengambil model rumah-rumah perkebunan Amerika Serikat. Kini semua itu seperti berlalu. Di Miami, para pengungsi elite itu hidup dalam dua gaya. Beberapa di antaranya -- termasuk ipar Francisco -- membangun kediaman tetap dan meneruskan kemewahan model lama. Beberapa lagi, termasuk Francisco, datang berkunjung sewaktu-waktu dengan selalu berusaha memperpanjang paspor dan visa bisnisnya. Kelompok terakhir ini selalu menjauhi publisitas -- demi keamanan. Hal ini berarti membatasi diri untuk muncul di tempat-tempat umum dengan mobil Volvo yang disetir sendiri -- suatu gaya Amerika Utara yang selama ini digandrungi para oligark itu. Rumah mewah ipar Francisco di Miami, memang mencerminkan kekayaan yang ditinggalkan keluarga itu di kampung halaman. Para pelayan berkebangsaan Salvador berjaga-jaga dengan takzim di pintu masuk. Mereka bertugas mengantarkan para tamu keluarga ke rumah ranch yang luas, yang dihiasi perabotan berselera tinggi. Serombongan pelayan lain ditugasi melayani makan malam di patio yang beratapkan genteng Spanyol. Di tengah patio itu terhampar kolam renang yang biru dan luas. Hadirin tetap tentulah anggota klan Francisco sendiri. Saudara sepupunya salah seorang pemimpin berpengaruh Aliansi Produktif, organisasi bisnis paling penting di El Salvador yang dikontrol para oligark. Kadang-kadang hadir pula bekas menteri, tokoh bisnis terkemuka yang datang dalam busana santai, serta para istri mereka yang cantik dan gemerlapan. Para nyonya ini segera terlibat dalam kecek yang lebih konservatif ketimbang suami mereka. Sementara kaum pria berbincang-bincang dalam bahasa Inggris, nyonya-nyonya itu tetap setia berbahasa Spanyol. Hubungan batin mereka dengan Amerika sulit dilukiskan. "Kami memuji jiwa dagang Anda, tapi tak menyukai gagasan-gagasan politik Anda," kata seorang oligark sekali waktu kepada Paul Hoeffel. Francisco adalah contoh khas dari kaumnya. Semua anggota klan ini bersekolah di Amerika Serikat. Francisco sendiri mula-mula masuk sekolah Katolik yang berasrama di New England Kemudian mempelajari agronomi di Texas lalu menyelesaikan studi di Wharton School Universitas Pennsylvania. Seluruhnya makan waktu 11 tahun. "Seperti lainnya masyarakat cabang atas di sebagian besar negeri Amerika Tengah," tulis Hoeffel, "elite El Salvador tak pernah mengembangkan kebudayaan mereka sendiri." Mereka tergila-gila kepada segala yang berbau Amerika, tapi tak seorang betah menetap di negeri itu. Percakapan setelah makan malam biasanya dimulai dengan berita-berita keluarga. Kemudian beralih ke gunjing politik. Topik ini tak pernah kehilangan daya tariknya di kalangan perantau hartawan itu. Perdebatan biasanya timbul dari masalah "cara terbaik menggulingkan Presiden Jose Napoleon Duarte yang didukung kaum Demokrat Kristen." Sebagian besar kalangan oligarki memandang penguasa ini tak bertanggungjawab dalam memikirkan kepentingan bisnis. TAPI mereka juga tak sudi memberi kesempatan kepada Front Revolusioner Demokratik (FDR), pihak oposan yang sudah terlalu jauh disusupi ideologi kiri. FDR memiliki lima kelompok gerilya yang dipimpin Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti (FMLN). Menyaksikan pertarungan tak berkesudahan antara FDR, FMLN, dan junta yang dikepalai Duarte, kaum oligark ini kadang tergerak pula untuk mengambil peluang politis. "Duarte adalah seorang komunitarian," ujar adik Francisco, seorang pemimpin bisnis. "Pembaruannya bersifat sosialistis." Kaum oligarki ini ingin meyakinkan Amerika dan Angkatan Darat, bahwa Duarte "sedang menghancurkan ekonomi," dan bahwa mereka "tak bisa bekerjasama dengan pemerintah, sampai Duarte turun panggung atau mengubah sikapnya." Mereka tak mau dituduh merencanakan kup tapi menyatakan "tak bisa bekerjasama dengan pemerintah yang dipimpin Duarte." Dalam beberapa hal kelompok ini demikian Amerikanya, hingga lebih senang minum kopi instant. Seolah-olah melupakan fakta bahwa nasib baik mereka justru ditunjang perkebunan kopi yang dirintis nenek moyang pada sekitar peralihan abad. Bisnis kopi dan perkawinan silang antara kaum oligarki telah melahirkan jaringan dunia usaha dan hubungan keluarga yang kait-berkait. Di samping usaha perkebunan keluarga Francisco umpamanya bergerak pula dalam bisnis real estate, asuransi, pergudangan, konsesi impor konstruksi, dan perusahaan simpan pinjam. Tahun 1980 pemerintah El Salvador mengambil alih kontrol atas semua bank swasta. Langkah ini, kata mereka, ditempuh sebagai ikhtiar pengembangan modal dan pemberian kredit dalam usaha reformasi agraria yang dilancarkan dalam tiga tahap. Anehnya, berhadapan dengan reformasi dan tindakan keras itu, bisnis keluarga justru bertambah maju. "Setelah bertahun-tahun, kami mengalihkan orientasi kegiatan kami kepada konsumen kelas menengah," Francisco menerangkan. Sebelumnya impor bagai semata-mata melayani kaum berharta -- dengan pemasaran yang sempit. Belakangan masyarakat bisnis ingin melihat perluasan pasar. Sementara itu para pengritik kaum oligarki menyalahkan kelompok ini sebagai hambatan atas usaha perubahan radikal. Terutama peranan mereka dilapangan ekonomi, khususnya di daerah pedalaman yang berpenduduk padat. SAMBIL menghadang setiap langkah pembaruan sosial dan politik sampai saat ini, kaum oligark. sendiri menilai peranan mereka sebagai "arsitek El Salvador". Yaitu "kaum yang secara terus-menerus menghimbau semangat industri, sehingga tanah yang tandus ini menjadi salah satu negeri paling produktif bersama Peru dan Israel di mata Barat. Mereka membanggakan diri sebagai elite paling kosmopolitan di kawasan tersebut. "Semangat wiraswasta kami adalah satu-satunya sumber nasional negeri ini," ujar seorang nyonya hartawan dalam sebuah percakapan. "Tanpa kami negeri ini bakal masuk liang kubur." Bukan main. Ada dua hal yang membuat para oligark memilih kabur ke luar negeri. Pertama ancaman penculikan dan penyanderaan, yang menghantui mereka sejak tak kurang satu dekade terakhir. Yang kedua adalah pernyataan pemerintah El Salvador tentang pembaruan di lapangan perdagangan dan pertanian. Penculikan dimulai pada 1972 dengan Ernesto Regalado Duenas sebagai horban pertama. Uang tebusan yang dituntut para penculik mencapai jumlah jutaan dollar. Toh Duenas dibunuh sebelum uang tebusan dibayarkan. Sejak saat itu, sekitar US$ 50 juta mengalir ke tangan para penculik. Salah seorang oligark yang menyembunyikan namanya bahkan mengaku ikut menaikkan pasaran uang tebusan. Kebetulan scorang adiknya menjadi korban penculikan. "Setelah berunding berbulan-bulan," katanya, "kami menyerahkan US$ 4 juta tunai. " la malah bersyukur, "tak sampai menggadaikan kebun" untuk memenuhi tuntutan. Kini ia terpaksa membayar semacam pajak. Soalnya, "kami tak mau lagi mengalami kesulitan," katanya. Tapi seperti semua hal-ihwal di El Salvador, tak jelas benar kepada siapa "pajak" itu dibayarkan. Kepada gerombolan penculik, para gerilyawan, kawanan bromocorah biasa -- atau para perwira yang sedang naik daun, yang juga mengutip semacam "pajak keadaan darurat" dari para oligark. Sekarang perkara 'pembaruan'. Banyak pihak menilai langkah ini sebagai hasil "tekanan" Washington. Terutama untuk maksud mematahkan kekuatan kaum oligarki di lapangan ekonomi. Junta yang sekarang, yang memperoleh kekuasaannya dengan menggulingkan pemerintahan Jenderal Carlos Humberto Rumero pada Oktober 1979, mengumumkan landreform tiga tahap, kontrol atas bank swasta dan nasionalisasi ekspor kopi, gula dan kapas. Dari tiga tahapan pembaruan agraria baru satu yang bisa jalan. Yaitu pengambilalihan tanah pertanian yang luasnya melebihi 1250 acre. Tahap kedua, yang menyangkut tanah pertanian kelas menengah -- tempat utama perladangan kopi--tetap tak bisa dilaksanakan. Sedang tahap ketiga -- "tanah untuk penggarap" - yang kabarnya dirancang dari Washington, hanya terlaksana sekelumit. Usaha pokok yang dilancarkan para oligark ialah menggagalkan "pembaruan" ini. Kemudian mengangkut harta mereka secara utuh ke luar negeri. Para tuan tanah yang sekaligus mengontrol bank, tak segan-segan "menggadaikan" kebun mereka dengan harga miring, kemudian memindahkan uangnya ke berbagai bank Miami. Jalan keluar yang ditempuh keluarga Francisco lain lagi. Pada 1978 mereka sudah mengatasnamakan tanah perkebunannya kepada beberapa sanak saudara. Luas masing-masing tanah itu tak terjangkau lagi oleh ketentuan 'pembaruan'. Mereka tetap berjaya, sembari memperolok-olokkan usaha ambil alih itu sebagai "perampasan." Dengan pelbagai cara kaum oligarki membuat 'pembaruan' tak bisa berkutik. Dan elite El Salvadortehp megap-megap dalam pelbagai kesulitan. "Kendati sudah memerintah tak kurang dari setengah abad, Angkatan Bersenjata El Salvador tetap dipandang sebagai 'hamba' kaum oligarki," tulis Hoeffel. Mereka menangguk kemakmuran dari lautan korupsi yang diciptakan birokrasi. Tapi kini, kata para oligark, tentara melaksanakan perintah Washington. Melalui 'pembaruan' mereka konon beroleh keuntungan yang masuk ke kocek pribadi, terutama dari pajak dan ekspor. Gereja Katolik juga tak bisa dipercaya lagi, kata pembela para oligark. Kini sudah lahir generasi rahib yang baru, yang berani mengutuk kaum oligarki sebagai pemeras dan pembunuh. Banyak oligark, menurut Francisco, kini meninggalkan kepercayaan katolik mereka dan bergabung dengan Gereja Protestan. Ketika Francisco ditanya mengenai pembunuhan Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero dua tahun lalu, ia mengangkat bahu. Malah balik bertanya: "Mungkinkah para perwira menenggang seorang uskup agung yang menyarankan para serdadu meletakkan senjata, dan melawan perintah membunuh dari atasan mereka? " Sekarang setiap oligark boleh dikatakan memandang Washington dengan kebencian berapi-api. Beberapa di antara mereka menuding Jimmy Carter sebagai biang keladi. Dengan kebijaksanaannya mengenai 'hak-hak asasi manusia' sekitar lima tahun lalu, presiden AS itu mereka nilai "mengkhianati Jenderal Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua dan mentolerir gerilya Sandinish." Padahal, kaum "revolusioner" itulah yang menaburkan 'wahyu pemberontakan' ke seluruh Amerika Tengah. Latar belakang yang lebih bersifat ideologis agaknya bisa dikaji dari tahun 1960 -- ketika Washington menjawab revolusi Kuba dengan membentuk apa yang dinamakan Aliansi Untuk Kemajuan. Atas nama 'kemajuan', industri dipaksakan bangkit di Amerika Latin. Negeri seperti El Salvador kemudian menjadi tempat pelemparan utama berbagai hasil produksi yang sesungguhnya tak begitu bermanfaat. Ia juga menjadi sasaran para penanam modal asing yang mengincar tenaga kerja murah dan pajak yang "bisa diatur". Kaum oligarki segera berhadapan dengan perusahaan multinasional. Mereka dipaksa menerima "pembaruan", yang antara lain menetapkan upah minimal dan kerja enam hari seminggu bagi kaum buruh. Langkah ini dituding para oligark sebagai kutipan dari gagasan sosialisme. TAPI ada juga yang menimbang persoalan dengan neraca sejarah yang lebih rumit. Bermula dari 1932, tahun depresi, tatkala perkebunan-perkebunan kopi mengalami masa suram. Itu juga tahun penindasan atas kaum tani, yang dibangkitkan oleh keadaan yang morat-marit, dan kaum komunis lokal di bawah pimpinan tokoh semacam Augustinus Farabundo Marti. Kini nama itu diabadikan sebagai tanda pengenal Front Gerilya El Salvador. Pemberontakan tani itu diakhiri dengan penjagalan yang berlangsung seminggu penuh. Puluhan ribu campesinos -- para petani penggarap - diantrekan di depan algojo dan dibantai tanpa perkara. Peristiwa ini menandai tahun pertama naiknya kediktatoran militer di El Salvador. Di sisi lain, ia merupakan awal dibabatnya kebudayaan Indian negeri itu. Jorge Sol, yang pada tahun pembantaian itu masih seorang mahasiswa, melihat latar belakang ini bagi munculnya "pasukan-pasukan pembunuh" di El Salvador belakangan. Kaum oligarki begitu terkesan menyaksikan Angkatan Bersenjata menumpas pemberontakan itu. Para oligark muda kemudian membentuk kelompok para militer yang menamakan diri Garda Nasional. Dan garda ini ikut membunuh ribuan rakyat. Hingga kini, kebiasaan menempuh jalan pintas dengan kekerasan itu belum berhenti. Semboyan yang digunakan pihak-pihak yang bermusuhan tepat seperti zaman dulu: "Muerto el perro, se acabo la rabia" (Bunuh sang anjing, demi memberantas penyakit anjing gila). Membalik lembaran sejarah, pada 1898 Herbert de Sola menginjakkan kakinya di San Salvador. Keturunan Yahudi ini beremigrasi dari Negeri Belanda ke Pulau Curacao di Karibia, sekitar 1.750-an. Di tempat baru ini ia segera menjadi eksportir damar balsam dan bahan celup indigo -- kelak ekspor utama El Salvador. Awal 1940-an ia membeli perkebunan kopi dan tebu, dan mengangkat dirinya di antara para oligark negeri itu. Ia merupakan contoh sungsang dari sejarah keluarga Francisco, yang memulai bisnis dari perkebunan, baru kemudian memperluas usaha ke perdagangan umum. Herbert de Sola kini meninggalkan seorang cucu, Orlando, pria 39 tahun yang menamatkan studinya di Universitas Columbia pada 1968. Orlando adalah satu di antara ratusan hartawan El Salvador yang 'mengungsi' ke Miani, dan tak berani pulang. Orlando de Sola adalah seorang ekstrim konservatif dari nenek moyang yang liberal menurut ukuran kaum oligarki. Ia berada di Miami dengan visa turis, tapi tak bisa menghindarkan diri dari publisitas. Ia oligark El Salvador yang paling melibatkan diri dalam kegiatan politik, dan salah seorang jurubicara Yayasan Kemerdekaan El Salvador, sebuah kelompok lobi para pengungsi oligark. Banyak anggota klub ini dekat dengan tokoh penting AS, dan bersangkut-paut dengan kegiatan kelompok ekstrim kanan di El Salvador. De Sola selalu membanggakan kakeknya dari garis itu. John T. Wright, yang datang dari San Francisco pada 1917. Dibayang-bayangi semangat klasik kaum kolonial, de Sola menghabiskan waktunya menikmati hidup di Miami. Kadang-kadang ia memacu perahu motornya di Teluk Biscayne, dari dermaga pribadinya yang terlindung. Pada waktu yang lain ia bercengkerama dengan rekan-rekan dekat di sekitar perairan Key Biscayne. Sering, setelah menikmati makan malam bersama istrinya, Claudia, dan bayi perempuannya, Camilo, di rumah mereka yang bernilai US$ 500 ribu di Miami, de Sola terkenang sebuah peristiwa pada masa kecilnya. Peristiwa itu begitu mencekam dan membekas, dan membuatnya yakin betapa murahnya hidup di El Salvador. Pada suatu malam, ia mengendarai mobil bersama ibunya. Mereka baru mengunjungi perkebunan kapas kakek de Sola, di hutan sepanjang pantai Pasifik. Tiba-tiba lampu mobil menyorot dua orang petani yang sedang berkelahi di jalan. "Saya masih ingat bagaimana parang turun cepat menghantam kepala salah seorang yang berkelahi itu," kata de Sola terkenang. "Kemudian suara besi membelah tengkorak. Pembunuh itu melakukannya seperti membelah kelapa saja." Pada 1976, ibu de Sola membagi-bagikan tanah warisannya menjadi 10 bagian, dan menyerahkannya kepada anak-anaknya. Tapi karena tanah itu saling bergandengan, jumlah luasnya mlebihi ketentuan yang tertera dalam keputusan 'pembaruan' tahap satu. Semuanya diambil-alih pemerintah. Di samping itu, keluarga ini kehilangan pula perkebunan kopi, sekalian dengan perusahaan ekspor kopinya De Sola tak sampai terkejut. Ia bukan orang baru di El Salvador, dan sudah terbiasa dengan pelbagai "kejutan". Kini ia mengamati pertarungan kekuatan yang terjadi di negerinya dengan seksama. "Soalnya bukan perkara kiri dan kanan," katanya kepada seorang wartawan. "Melainkan perkara salah dan benar." Menurut hematnya, landreform yang dilaksanakan pemerintah lebih cepat meruntuhkan ekonomi ketimbang sepak terjang para gerilyawan. Ia percaya, institut Amerika yang menuntun pelaksanaan landreform di El Salvador tergoda oleh gagasan "setiap orang harus memiliki tanah." Padahal, kata de Sola, "campesinos itu membutuhkan keamanan dan pekerjaan, bukan tanah." "Apa yang kita butuhkan adalah industrialisasi," kata de Sola lebih lanjut. "Membangun zona perdagangan bebas seperti yang dilakukan Singapura dan Filipina. Kita harus menciptakan kesempatan kerja di lapangan industri, untuk menanggulangi pengangguran . " KAUM oligark ini tak suka pada taktik politik. Yayasan kemerdekaan, yang basisnya berada di Amerika, merupakan semacam tandingan bagi Aliansi Produktif yang sempat memegang posisi penting di El Salvador. De Sola termasuk salah seorang yang mengutuk aliansi ini lantaran keinginannya untuk ikut pemerintah. "Mereka hanya segelintir oligark yang ingin mendirikan sebuah klub santai, saling mendukung seperti pada zaman yang silam," katanya mencemooh Aliansi Produktif. "Apa yang kami inginkan ialah ekonomi pasar bebas, sebuah negeri yang berdiri pada kaki sendiri dan tidak hanya menunggu rezeki." Dari pihak aliansi datang jawaban yang tak kalah sengit. Adalah Manuel Enrique, jurubicara dan pelobi aliansi di Washington, yang angkat bicara. Yayasan Kemerdekaan, katanya, adalah perkumpulan oligark yang tak berarti, yang tak memahami realitas politik di El Salvador. Tapi kedua kelompok itu sependapat dalam memandang Presiden Jose Napoleon Duarte. "Duarte adalah seorang komunis yang mempercayai Tuhan," kata de Sola sengit. "Ia seorang demagog profesional yang didukung tentara semata-mata karena ia punya koneksi internasional. Kejatuhannya sudah dapat dipastikan." Penyelesaian politik semacam pemilihan umum sudah tak menarik hati orang-orang seperti de Sola. "Berkali-kali pemilihan akhirnya merupakan urusan brengsek," katanya. "Lebih baik tentara mengambil alih pemerintahan. Bila Amerika bisa membantu pemerintahan militer di Guatemala, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di El Salvador? Kelak toh semua orang bisa dipaksa menerima kenyataan . " SEPERTI banyak oligark El Salvador, Orlando de Sola dituduh menghasut dan membiayai kaum teroris sayap kanan. Kemungkinan ini wadah ditebak. Sebagai pengikut garis keras, ia melihat kekuatan bersenjata sebagai lembaga satu-satunya yang mampu bertahan menghadapi krisis selama tiga tahun terakhir. " Salah seorang yang sependapat dengan Orlando adalah Roberto D'Aubuisson, bekas mayor Angkatan Darat. Tokoh ini dipaksa keluar dari dinas militer oleh para perwira penganut garis keras lainnya. Setelah kudeta yang menggulingkan Jenderal Romero, ia bermukim di Kota Guatemala. Pada 1977, tatkala kekerasan politik meningkat secara dramatis, D'Aubuisson, bekas perwira intelijen Garda Nasional berusia 38 tahun, membentuk Pasukan Tentara Putih -- semacam kelompok pembunuh yang menampung bekas anggota Garda Nasional dan organisasi keamanan lain. Menurut dokumen yang diungkapkan bekas Dubes Robert E. White, para "prajurit putih" ini terlibat beberapa pembunuhan politik yang penting di El Salvador. Mereka juga, konon, yang menyediakan penembak jitu dalam pembunuhan Uskup Agung Romero, Maret 1980. Tak lama sebelum peristiwa tragis itu, sang uskup agung pernah menyebut D'Aubuission "pendusta, penganiaya dan pembunuh'. Setelah pembunuhan itu, D'Aubuisson berpidato dalam rekaman kaset video. Tanpa tedeng aling-aling ia menyatakan bersukacita atas kematian Romero. Ia juga menghimbau para perwira untuk berpihak kepadanya dan menggulingkan pemerintah. Salah seorang sahabat Orlando de Sola, Alfonso Salaverria, mengedarkan kaset video itu secara gelap ke barak-barak tentara pemerintah. Kini Alfonso menjadi tetangga Orlando di Miami. Dia adalah anggota Yayasan Kemerdekaan yang banyak kehilangan perkebunan kopi akibat 'pembaruan' yang dilancarkan pemerintah. Dalam menghadapi dilema negeri itu, ia menganut garis keras model de Sola. "Pusat kekuatan yang sesungguhnya, itulah Angkatan Bersenjata dan pasukan-pasukan pembunuh yang berhadapan dengan para oposan dan gerilyawan kiri," kata Alfonso. "Situasi politik hanya bisa diatasi dengan salah satu cara-cara Vietnam atau Chili," Seperti halnya de Sola, Salaverria menjadi pendukung D'Aubuisson. "D'Aubuisson telah bangkit dan memprotes Angkatan Bersenjata yang begitu saja menyetujui pembaruan inkonstitusional yang didiktekan Washington," kata de Sola. "Saya, bersama sejumlah perwira muda, mengagumi keberaniannya." Mei 1980, de Sola mengundang D'Aubuisson ke Miami. Secara pribadi ia mengantarkan D'Aubuisson menemui beberapa senator dan anggota Kongres Amerika yang sepaham. Sebaliknya de Sola juga pernah mengunjungi D'Aubuisson di Kota Guatemala. Di sana ia membuka kontak dengan beberapa bekas perwira Garda Nasional rezim Somoza. Mereka kebetulan sedang membentuk tentara sewaan untuk menumbangkan pemerintahan Sandinistadi Nikaragua. Juga melatih pasukan-pasukan maut di El Salvador. "Mereka sangat terlatih dan membutuhkan US$ 40 ribu," kata de Sola, dalam sebuah pertemuan dua tahun lalu. "Saya katakan kepada mereka: saya sangat berminat membantu, tapi tak punya uang sebanyak itu." Dubes White mengakui, sangat sulit membuktikan secara kongkrit keterlibatan para oligark menyeponsori kegiatan para teroris. "Tak ada yang pasti di negeri seperti El Salvador," katanya "Desas-desus dan gosip sudah sulit dibedakan dcngan laporan intelijen." Tapi hubungan mesra antara para tuan tanah dan Garda Nasional sudah berjalan beberapa dekade. Sesuai dengan hukum yang berlaku, pasukan-pasukan Garda bahkan bisa menerima perintah dari para tuan tanah. Dengan gaji yang rendah, sekitar US$ 160 sebulan, para perwira muda Garda Nasional menjadi sasaran empuk kaum ol igark yang bernafsu menanamkan pengaruh. Mereka bisa saja dikerahkan mendukung pelbagai gerakan. Mungkin saja di masa yang akan datang para oligark penganut garis keras tak begitu memperhatikan lagi urusan membina pasukan bersenjata -- dan lebih memusatkan diri pada kegiatan politik. Bagi Orlando de Sola, memperoleh dukungan pemerintah militer Argentina dan Chili sangat penting -- demi mengurangi pengaruh internasional Venezuela dan Meksiko di seantero kawasan tersebut. Sementara itu, menurut Kementerian Luar Negeri AS, pendekatan yang dilakukan para tentara El Savador terhadap Argentina dan Chili bisa merupakan faktor sangat penting di masa depan. Di dalam negeri, persekutuan tradisional kaum oligark El Salavador dengan Angkatan Bersenjata sedang mengalami keadaan surut. Tapi tokoh seperti Francisco Schmidt Enriquez dan Orlando de Sola belum kehilangan harapan. Suatu hari kelak, kata mereka, kerjasama akan di jalin kembali seperti sediakala. Hanya tak seorang pun percaya mukjizat akan terjadi dalam satu malam. Angkatan Bersenjata, yang dulunya dianggap partner yunior, kini sudah berkembang menjadi pasangan senior. Ditunjang bantuan ekonomi dan militer AS, mereka makin mafhum nikmatnya kekuasaan. Beberapa pengamat bahkan meramalkan, kelompok 500 perwira dalam pasukan keamanan El Salvador kini mulai memperlihatkan tingkah laku "oligarki baru". KALAU hal ini terjadi, "pengasingan" para oligark di luar tanah air bisa berkepanjangan. Francisco mungkin akan menetap di Miami. De Sola boleh jadi memanfaatkan hubungan dengan diktator militer di Amerika Latin. Pagi-pagi dia sudah mencanangkan, "bila segala-galanya gagal, saya dan keluarga akan hengkang ke Chili." Keadaan tampaknya cenderung bertambah buruk. Sementara pemilu dilaksanakan di El Salvador, Guatemala diguncang 'gempa' kudeta pula. Para oligark El Salvador yang menumpangkan nasib dan harta benda mereka di negeri ini tentu ikut runyam memikirkan tempat baru yang aman. Kecuali kalau penguasa baru El Salvador bisa membuat negeri itu aman untuk kaum oligark, kata Paul Heath Hoeffel, nama-nama seperti de Sola, Llach, Duenas, Quinonez, dan Salaverria, makin lama akan semakin jauh. Dan akhirnya tinggal kenangan bagi negeri yang kecil itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus