Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARAPAN Rani Bautista membeli rumah pertama nyaris musnah ketika bank hanya mengabulkan sebagian permohonan kreditnya pada akhir tahun lalu. Perantau asal Sumatera itu mengajukan Rp 650 juta, tapi bank hanya menyetujui Rp 450 juta. "Waktu itu sempat ingin batal beli rumah," kata perempuan 32 tahun yang namanya disamarkan itu pada Senin pekan lalu.
Sebermula Rani dan suami ingin membeli rumah dengan kredit pemilikan rumah (KPR) tapi tanpa uang muka. Mereka memakai jurus yang umum dipakai pembeli rumah pertama dengan dana cekak: menggelembungkan harga. Cara ini memerlukan kerja sama dengan pengembang.
Saat itu keduanya ingin membeli griya di sebuah perumahan di Kota Depok, Jawa Barat. Rumah telah ketemu, pengembang sudah cocok. Harga rumah mungil tipe 36/96 atawa luas bangunannya 36 meter persegi itu Rp 530 juta.
Bank Indonesia sebetulnya tidak mengatur batas rasio kredit properti atau minimal uang muka untuk KPR tipe rumah dengan luas bangunan di bawah 70 meter persegi. Tapi kebanyakan bank saat itu mematok plafon kredit 90 persen dari harga atau mewajibkan persekot 10 persen.
Sampai Agustus 2016, Bank Indonesia membatasi plafon kredit syariah untuk rumah tapak pertama luas bangunan di atas 70 meter persegi sebesar 85 persen alias calon pembeli mesti menyiapkan persekot 15 persen. Sedangkan untuk kredit bank umum plafonnya 80 persen atau diwajibkan menyediakan persekot 20 persen. Tapi bank kadang menerapkan batas plafon lebih ketat untuk menerapkan prinsip kehati-hatian.
Rani masih ingat, agar tak perlu keluar panjar, dia kongkalikong dengan pengembang buat menggelembungkan harga asli rumah pada tahun lalu. Harga digelembungkan jadi Rp 650 juta. Dengan markup segitu, Rani berharap bank menyetujui 90 persennya atau Rp 585 juta. Angka itu sudah melebihi harga asli rumah Rp 530 juta. Tapi bank cuma menyetujui 70 persen dari pengajuan.
Keputusan bank syariah milik negara tersebut membuat Rani gusar. Sebab, dia mesti menyediakan Rp 80 juta sebagai persekot ke pengembang untuk menutup harga rumah Rp 530 juta. Ketika kepepet itulah Rani menerima tawaran pinjaman lunak dari ibunya. "Awalnya gengsi, tapi apa boleh buat kalau punya ibu yang baik dan pengertian," ujar Rani berkelakar.
Pinjaman ibu itu kemudian dibayarkan ke pengembang sebagai panjar, tapi Rani melaporkan persekot Rp 200 juta dalam surat perjanjian jual-beli (SPJB) di depan notaris. Laporan persekot Rp 200 juta penting karena Rani sudah kadung menggelembungkan harga rumah asli. SPJB adalah salah satu syarat akad KPR di bank.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Edi Ganefo mengakui banyak pengembang berkongsi dengan konsumen mengakali kewajiban uang muka kredit hunian. Trik yang dipakai Rani hanya salah satu.
Trik lain adalah pengembang bekerja sama dengan bank dengan cara menyimpan dana awal. Uang itu disiapkan sebagai panjar calon pembeli agar pengembang bisa berjualan rumah dengan iming-iming tanpa persekot. "Kalau angsuran nasabah lancar, enggak jadi masalah, kan?" kata Edi.
Dengan kondisi ekonomi global dan nasional yang kurang baik, Edi mengatakan semestinya syarat uang muka dikendurkan. Pada 26 Agustus lalu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo sebetulnya telah merevisi batas rasio pinjaman (loan-to-value/LTV) dan pembiayaan (finance-to-value/FTV) properti.
Aturan itu berlaku mulai 29 Agustus. Salah satu isinya: plafon kredit dan pembiayaan akad murabahah dan istishna' rumah tapak dengan luas bangunan di atas 70 meter persegi sebesar 85 persen dari harga. Plafon sebelumnya maksimal 80 persen. BI memberikan pelonggaran tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, calon pembeli cukup menyiapkan persekot 15 persen.
Edi melihat kelonggaran yang diberikan BI belum menggigit. Seharusnya, menurut dia, khusus untuk pembeli pertama tidak ada pagu kredit. "Baru saya yakin dampaknya akan signifikan," ujarnya. Edi paham ketiadaan persekot kredit rumah membuat angsuran jadi berat. Tapi cicilan tak akan terasa ketika ekonomi sudah pulih. "Biarpun BI tidak kasih batasan, bank tetap memilih nasabah yang mampu mengangsur."
Rani mengalami cara bank menerapkan kehati-hatian. Saat negosiasi kredit, petugas bank mengatakan bahwa bank melihat kemungkinan keduanya bercerai atau suaminya meninggal sebagai alasan hanya menyetujui 70 persen kredit. "Bank takut beban angsuran hanya ditanggung satu orang," katanya.
Executive Director of Investment Cushman & Wakefield Indonesia Handa Sulaiman menganggap pelonggaran LTV/FTV tidak bisa menjadi pendongkrak tunggal pertumbuhan industri properti, khususnya hunian, pada tahun depan. Handa lebih khawatir terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Tahun ini pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Pada kuartal II 2016, pertumbuhan ekonomi secara year-on-year baru 5,18 persen. Pemerintah juga telah menetapkan angka pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017 sebesar 5,3 persen. Handa menganggap angka 5,3 persen tidak jelek-jelek amat untuk mendorong pertumbuhan properti. "Tapi saya rasa dengan pertumbuhan 5,5 persen baru akan membuat sektor ini jadi lebih dinamis," ujarnya.
Kekhawatiran Handa rupanya tak dialami Bank Mandiri. Sebulan setelah LTV/FTV longgar, Mandiri mencatat kenaikan kredit pemilikan rumah lumayan besar sepanjang September 2016, senilai Rp 1,360 triliun. Padahal pencairan KPR Mandiri rata-rata per bulan sepanjang Januari-Agustus 2016 cuma Rp 800-900 miliar. "Kami belum bisa memastikan apakah kenaikan tersebut terkait dengan langkah terbaru Bank Indonesia," ucap Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas, Selasa pekan lalu. Soalnya, ada iming-iming bunga KPR rendah selama perayaan 18 tahun Bank Mandiri tahun ini.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan, sampai Juli 2016, pertumbuhan kredit pemilikan rumah di bank umum konvensional dan bank umum syariah baru 7,50 persen dan 0,11 persen untuk apartemen atau rumah susun (KPA/KPS) secara year-on-year. Pada Juli 2015, KPR di bank umum sebanyak Rp 338,464 triliun dan KPA Rp 13,602 triliun dengan persentase kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) masing-masing 2,70 dan 1,70 persen. Pada Juli 2016, jumlah kredit naik menjadi Rp 363,866 triliun dan Rp 13,618 triliun dengan NPL masing-masing 2,84 dan 2,10 persen.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Eddy Hussy melihat pelonggaran LTV/FTV bukan pemicu tunggal mendongkrak pertumbuhan properti pada 2017. Justru Eddy rada harap-harap cemas terhadap dampak amnesti pajak. Sepanjang 2014-2015, kata dia, permintaan hunian kelas menengah dan menengah ke atas terus turun karena pemerintah sedang mengejar pajak. "Banyak sekali pembeli properti didatangi otoritas pajak. Akhirnya banyak yang batal beli, diam dululah," ujar Eddy di Senayan, Jakarta, Jumat dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo