Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA bisa dibilang raja siluman. Mahir menghilang. Sulit bagi aparat untuk mengenali, apalagi menangkapnya. Dialah buruan polisi nomor wahid. Seorang pria bertubuh kecil yang punya keahlian membunuh: merakit bom dan memainkan senjata. Dialah panglima lapangan dan pengatur strategi sejumlah peledakan bom di Indonesia. Namanya Abu Dujanah.
Begitu berbahayanya lelaki 37 tahun itu sampai-sampai Surya Dharma, Direktur Keamanan dan Transnasional Kepolisian Nasional, mewanti-wanti agar masyarakat mewaspadainya. ”Setelah mendalami jaringan teroris di Indonesia,” kata jenderal bintang satu itu di Sekolah Calon Perwira, Sukabumi, Jawa Barat, Senin pekan lalu, ”saya berani katakan Abu Dujanah adalah orang yang sangat berbahaya.”
Menurut beberapa sumber di kepolisian, penangkapan Abu Dujanah kini menjadi ”prioritas” polisi. Tim Detasemen Khusus Antiteror 88 pun dalam beberapa pekan terakhir meningkatkan perburuan pria itu.
Abu Dujanah lahir dengan nama Ainul Bahri. Ia dibesarkan di Cianjur, Jawa Barat, kota asal Hambali alias Riduan Isamuddin, tersangka teroris yang kini ditahan aparat intelijen Amerika Serikat. Ainul belajar mengaji kepada Dadang Hafidz, ustad yang memiliki hubungan erat dengan pergerakan Darul Islam.
Pertengahan 1980-an, setelah beralih nama menjadi Abu Dujanah, pria Sunda ini melanjutkan belajar ke Pakistan. Di sana ia berkenalan dengan banyak mujahidin, yang belakangan membuatnya ikut berperang ke Afganistan. Ia berada di negeri itu pada 1989–1991 dan mendapat pelatihan di Akademi Militer Mujahidin Afganistan.
Di situlah kemampuan membunuhnya diasah. Ia berlatih menggunakan senjata ringan, pembuatan bom, dan pelbagai taktik. Abu Dujanah juga menjalin persahabatan yang sangat erat dengan Zulkarnaen, yang belakangan diduga terlibat pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002.
Sosok Abu Dujanah dikenal oleh Nasir Abas, mantan instruktur di Akademi Militer Mujahidin Afganistan. Menurut dia, Abu Dujanah ”pintar, cerdik, rajin, dan aktif”. Ia juga mampu cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. ”Ia sangat fasih berbahasa Arab dan Inggris,” kata penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah itu kepada Tempo pekan lalu.
Kemampuan berbahasa Arab itu membuat Abu Dujanah bisa berhubungan baik dengan para petinggi Al-Qaidah. Ia bahkan sempat bertemu secara pribadi dengan Usamah bin Ladin, pemimpin organisasi teroris versi dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, itu.
Keluar dari Afganistan, Abu Dujanah beralih kegiatan menjadi guru di Pesantren Luqmanul Hakiem, Johor, Malaysia. Saat itu, Luqmanul dipimpin oleh Mukhlas—kini terpidana mati kasus pengeboman di Bali, 12 Oktober 2002. Noor Din Mohammad Top juga pernah memimpin pesantren ini. Dari sinilah, Abu Dujanah menjalin hubungan sangat dekat dengan buron polisi nomor wahid itu.
Abu Dujanah kemudian ikut membesarkan Jemaah Islamiyah. Ia sempat menjadi sekretaris Mantiqi II, yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada Oktober 2002, ia mendapat promosi ketika diangkat menjadi sekretaris markaziyah (pusat) Jemaah Islamiyah.
Menurut Brigadir Jenderal Surya Dharma, Abu Dujanahlah yang kini memberi perlindungan bagi Noor Din. Ia, antara lain, menyediakan akomodasi bagi buron yang oleh polisi dihargai Rp 1 miliar itu. ”Abu Dujanah juga memberi perlindungan fisik bagi Noor Din,” Surya menambahkan.
Itu tidak mengherankan, karena Abu Dujanah, seperti yang dikenang Nasir Abas, adalah pemimpin yang sangat melindungi temannya. Karena itu, ia yakin, Abu Dujanah tidak akan menyerahkan Noor Din kepada polisi. ”Meski dia belum tentu setuju dengan tindakan-tindakan Noor Din,” kata Nasir.
Betapa Noor Din sangat mengandalkan Abu Dujanah bisa dilihat dari cerita ini. Segera setelah lolos dari penyergapan polisi di Jalan Kebon Kembang, Bandung, akhir 2003, Noor Din lari menuju Yogyakarta. Di kota ini, menurut Nasir, Noor Din bingung mencari tempat persembunyian.
Noor Din lalu menghubungi Abu Dujanah melalui surat elektronik. Abu Dujanah merespons dengan langsung meminta Noor Din datang ke Solo, Jawa Tengah. Di kota itu, Abu Dujanah menyediakan rumah Fauzan, anggota Jemaah Islamiyah, untuk persembunyian sang buron. ”Noor Din dirawat dan dilindungi oleh Abu Dujanah, tetapi ia tak boleh ke mana-mana,” kata Nasir.
Keadaan berbalik sejak bom meledak di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, 9 September 2004. Menurut Nasir, mulai saat itu, Noor Din tak lagi berlindung pada para aktivis Negara Islam Indonesia yang dianggapnya ”kurang radikal”. Aktivis Jemaah Islamiyahlah yang kini menjadi gantungan bagi Noor Din. ”Itu karena anggota Jemaah Islamiyah terikat sumpah untuk saling melindungi,” ujar Nasir.
Dari keterangan sejumlah tersangka terorisme yang telah ditangkap, sejak 2005 Noor Din sering bersembunyi di Pekalongan, Solo, Semarang, dan Temanggung, Jawa Tengah. Tempat-tempat ini menjadi suaka favorit bagi Noor Din. Tak hanya karena merupakan basis Islam yang kuat, tapi juga karena kondisi daerahnya.
Setelah kematian sekondannya, Dr Azahari Husin, November tahun lalu, Noor Din selalu memilih tempat persembunyian di daerah padat atau sebaliknya, daerah terpencil yang tak bisa dijangkau sinyal telepon seluler. Di beberapa daerah, Noor Din membangun sel-sel baru.
Kepada masing-masing sel, Noor Din mengenalkan diri dengan nama berbeda. Di Semarang, ia memakai nama Ridwan, Ahmad, dan Farhan. Di Temanggung, ia menyandang nama Herman. Di Pekalongan ia mengaku sebagai Jat atau Hazmi. Tapi, ada satu kode yang dipakai anggota sel untuk merujuk kepada dirinya: ”Mamiku”.
Sumber Tempo di kepolisian menyebutkan, Abu Dujanah kini menjadi penyaring bagi Noor Din untuk merekrut anggota baru. ”Noor Din hanya mau menerima orang-orang yang direkomendasikan dia,” kata perwira yang mengetahui seluk-beluk perburuan teroris itu.
Selain Abu Dujanah, Noor Din kini juga mengandalkan Rino alias Tedy. Identitas pria itu—menurut beberapa tersangka kasus terorisme, ia berusia 30-an—masih gelap. Namun, ia dipastikan ikut membantu pembuatan cakram padat video berisi rekaman pernyataan Noor Din tentang pengeboman di Bali, 1 Oktober 2005.
Menurut Subur Sugiyanto alias Abu Mujahid, tersangka yang ditangkap di Semarang, awal tahun ini, Tedy adalah alumni Ma’had Darusysyahadah, Boyolali, Jawa Tengah. Ia berasal dari Wonogiri dan dikenal jago komputer. ”Tedy memiliki kemampuan perang dan militer,” ujarnya dalam berita acara pemeriksaan yang salinannya diperoleh Tempo.
Tedy pula yang mencari rumah kontrakan bagi Azahari dan Noor Din di Jalan Flamboyan, Batu, Jawa Timur. Di tempat inilah Azahari tewas dalam penggerebekan polisi, November tahun lalu. Menurut seorang saksi, Tedy juga pernah membeli tiga pucuk pistol yang dibayar dengan hasil penjualan emas hasil rampokan.
Di luar mereka, beberapa orang masih menjadi buron polisi. Sebut saja Dulmatin dan Umar Patek, dua orang yang diduga terlibat bom Bali 12 Oktober 2002 dan diyakini bersembunyi di Mindanao, Filipina Selatan. Ada pula Zulkarnaen, Qotada, Nuim, dan Zulkifli bin Hir. Menurut Nasir Abas, mereka memiliki kemampuan berperang.
Para veteran Afganistan itu bisa jadi masih menebar ancaman. Seperti pengakuan Mohamad Cholily, 28 tahun, yang pekan lalu dihukum 18 tahun dalam kasus bom Bali, Azahari pernah berikrar: aksi pengeboman dengan sasaran kepentingan Barat akan dilakukan setahun sekali.
Budi Setyarso dan Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo