Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pembantaian Bedawang Nala

Penyu hijau dikeramatkan oleh masyarakat Bali, tapi sekaligus diburu. Ini akibat dari adat yang salah kaprah. Perdagangan penyu lalu diperketat, tapi penegakan hukumnya diabaikan.

15 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB dua saudara ini berbeda, bagaikan langit dan bumi. Kura-kura Ninja adalah tokoh kartun kondang di layar kaca yang jadi pahlawan si Upik. Adapun di pantai Bali, riwayat penyu hijau (Chelonia mydas) harus berakhir di tusuk sate. Hewan amfibi ini merupakan komoditi yang laris diperdagangkan di Pulau Dewata?sejak dua dasawarsa lalu?meski selama itu pula para pemerhati lingkungan dengan lantang mengingatkan masyarakat tentang populasi penyu yang kian lama kian anjlok. Kekhawatiran mereka mudah dipahami karena dari enam jenis penyu yang ada di Nusantara, hanya penyu hijau yang belum dilindungi. Untunglah, setelah dinanti sekian lama, akhir Januari lalu keluar Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa penyu yang boleh diperdagangkan adalah penyu hasil penangkaran. Itu pun sebatas kategori F2 (keturunan setingkat cucu). Di luar itu, diharamkan. Namun peraturan baru itu belum efektif menahan laju kematian penyu hijau di Bali. Penegakan hukum di Indonesia?terutama untuk pelestarian lingkungan?jarang dilakukan sebagaimana mestinya. Pihak penegak hukum tidak bekerja serius dan dana pun tidak tersedia?itulah dua dari beberapa faktor penyebab. Di sisi lain, perburuan penyu hijau memang gila-gilaan. Tengok saja laporan World Wide Fund for Nature (WWF). Pada suatu hari bulan November tahun lalu, tim pemantauWWF memergoki tiga kapal pemburu penyu di sepanjang perairan Dobo, Maluku. Target tangkapan tiap kapal sampai 300 ekor per hari. Hewan-hewan ini kemudian dilempar ke Tanjungbenua, Bali, yang telah lama merupakan pintu masuk perdagangan penyu dari perairan Maluku, Flores, Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Rupanya, peminat penyu di Bali cukup banyak. Sebab, menurut penggemarnya, daging penyu jauh lebih manis dan empuk daripada daging sapi. Tak aneh bila harga seekor penyu paling rendah Rp 500 ribu. Pembantaian penyu yang tak terkendali membuat WWF dan Green Peace bereaksi keras. Pada 1990, ada ancaman boikot dari para wisatawan asing. Ancaman ini tak ubahnya pukulan untuk Bali, yang perekonomiannya banyak mengandalkan pariwisata. Gubernur Bali waktu itu, Ida Bagus Oka, tak bisa lain kecuali menandatangani keputusan untuk membatasi perdagangan penyu hingga 5.000 ekor per tahun. Tapi, karena penegakan hukum lemah, pembantaian jalan terus. Dari pemantauan WWF diketahui bahwa jumlah penyu yang dijual tetap melampaui kuota (lihat infografik). Memang benar, jumlah penyu yang diperdagangkan merosot terus dari tahun ke tahun. Namun hal itu bukan pertanda bahwa kesadaran untuk tak lagi menyembelih hewan bermata bening itu telah meningkat. Faktor utamanya, menurut "ahli penyu" di WWF Bali, Veda Santiaji, adalah karena habitatnya makin tergerus. Rupanya, sejak tahun 1980-an, jumlah hewan bercangkang ini makin susut karena pantai pendaratannya?di Sanur, Kuta, dan Nusa Dua?telah bersalin rupa menjadi hotel dan restoran. Hal ini cukup "menakutkan" bagi penyu, yang amat pemalu dan hanya mau bertelur di pantai yang sunyi. Selain habitatnya dirusak, penggusuran penyu juga terjadi di Pulau Serangan?sebuah kawasan di selatan Denpasar yang pernah kondang sebagai "pulau penyu". Lokasi ini kemudian dicaplok oleh pengembang pariwisata, Bali Turtle Island Development Project, yang 11 persen sahamnya dikuasai Tommy dan Sigit Soeharto. Tanpa pikir panjang, surga tempat penyu hijau beranak- pinak ini digasak. Pantainya direklamasi hingga tiga kali luas pulau aslinya. Melihat ini, keluarga penyu pun merasa terancam dan tidak kerasan. Kegemaran masyarakat Bali akan daging penyu merupakan faktor lainnya yang mengancam kelestarian hewan tersebut. Dalam pandangan rakyat Bali, penyu adalah binatang yang diagungkan, diberi gelar Bedawang Nala, dan diyakini sebagai penjaga keseimbangan jagat. Setiap Padmasana, bangunan suci Hindu, selalu disangga dengan relik Bedawang Nala. Namun kebiasaan memakan daging penyu ini ditentang oleh seorang pendeta Hindu terkemuka, Ida Pedanda Gde Ngurah Kaleran. Menurut pendapatnya, adalah salah kalau orang berpikir bahwa bila memakan daging binatang suci, otomatis sang penyantap terbebas dari dosa. Justru karena kesuciannya itulah, menurut Kaleran, penyu hijau harus dilindungi dan tak boleh dibunuh, kecuali untuk keperluan ritual. Dia memperhitungkan, tak diperlukan banyak penyu untuk acara-acara ritual itu. Untuk seluruh upacara di Bali selama setahun, 300 ekor penyu sudah lebih dari cukup. Dan jika keadaan tidak memungkinkan, seperti yang banyak terjadi belakangan ini, penyu bisa diganti dengan jaja cacalan (penganan ketan berupa replika penyu). Apa oleh buat, salah kaprah itu telanjur meluas. Banyak penduduk desa menyembelih penyu hijau untuk pesta adat. Salah kaprah ini perlu diluruskan agar aturan baru tentang perdagangan penyu hijau bisa efektif dalam upaya melindungi hewan langka itu. >Karaniya Dharmasaputra, Agus S. Riyanto (Jakarta), I Nyoman Sugiharta (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus