Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sabda Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X akhirnya mendapat dukungan dari tingkat bawah. Sabda Raja ini berturut-turut dikeluarkan pada medio pertengahan tahun 2015 lalu yang secara materi menyinggung soal aturan adat baru nama gelar raja dan suksesi kepemimpinan.
Salah satu kelompok yang menyatakan dukungan pada Sabda Raja itu menamakan diri Laskar Ratu Mangkubumi yang berbasis di Gunungkidul Yogyakarta. Nama laskar ini identik dengan gelar baru putri pertama Sultan HB X Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi yang sebelumnya bernama Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.
Keberadaan Pembayun belakangan menjadi kontroversial karena disebut-sebut bakal ditunjuk HB X untuk menggantikan posisi Sultan sebagai raja keraton berikutnya, meskipun sejumlah kerabat keraton dan pangeran menolak adanya raja perempuan.
“Paguyuban laskar ini sengaja kami bentuk untuk mewacanakan jika Sabda Raja itu adalah titah raja yang wajib hukumnya dihormati dan ditaati. Kami bukan pesanan siapapun,” ujar Siswanta, Koordinator Laskar Ratu Mataram, kepada Tempo.
Siswanta menuturkan, pertama dibentuk di Gunungkidul, target organisasi yang diklaim beranggotakan sudah mencapai 100 orang dari kalangan aktivis, petani, tokoh masyarakat, dan akademisi itu untuk membantu mencerahkan sikap pesimistis masyarakat yang menolak keberadaan raja perempuan.
“Selain menghargai sabda seorang raja dan institusi keraton, kami ingin masyarakat bersikap terbuka pada perubahan, karena perubahan itu kekal dan selalu ada,” ujar Siswanta.
Siswanta pun merujuk pada sejarah adat di tanah air yang terus menyesuaikan perkembangan masa agar tetap bertahan.
“Adat itu sepanjang membawa kebaikan tak ada salahnya mengalami perubahan, tak ada yang perlu ditabukan sepanjang tak melanggar hak-hak asasi manusia yang mendasar,” ujarnya. “Meskipun kami tak tahu apakah nanti jika ada raja perempuan kondisi menjadi lebih sejahtera dan makin baik, kami hanya menyoroti soal perubahan adat ini agar tak terlalu dirisaukan masyarakat.”
Ketua Dewan Penasehat Paguyuban Dukuh Kabupaten Gunungkidul Sutiyono mengatakan paguyuban dukuh telah sepakat akan menghargai kalangan internal keraton sepanjang menjaga paugeran adat yangs udah turun temurun diwariskan dan dijaga sejak masa Hamengku Buwono I hingga IX.
“Paugeran itu sakral dan tak seharusnya diubah, termasuk nama gelar raja apalagi soal raja yang mesti laki-laki,” ujar Sutiyono.
Namun Paguyuban Dukuh menegaskan pihaknya tak akan melakukan cara-cara yang memicu konflik jika ada kelompok yang mendukung Sabda Raja.
“Kami serahkan ke keraton, soal penghormatan paugeran itu, tapi sikap masyarakat pada keraton mungkin akan berubah jika paugeran itu benar diubah,” ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini