Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Penggusuran Bukit Duri, 25 Korban Tidak Ingin Hunian tapi Uang

Warga Bukit Duri yang tidak menginginkan hunian meminta pemerintah membayar uang ganti rugi Rp 200 juta per orang.

19 September 2018 | 14.09 WIB

Petugas merobohkan bangunan dikawasan bukit duri saat penertiban bangunan liar dibantaran Kali CIliuwung di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta, 11 Juli 2017. Sebanyak 345 bidang bangunan ditertibkan hari ini dengan target 333 kepala keluarga. TEMPO/Amston Probel
Perbesar
Petugas merobohkan bangunan dikawasan bukit duri saat penertiban bangunan liar dibantaran Kali CIliuwung di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta, 11 Juli 2017. Sebanyak 345 bidang bangunan ditertibkan hari ini dengan target 333 kepala keluarga. TEMPO/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian warga korban penggusuran di Bukit Duri, Jakarta Selatan, menginginkan ganti rugi berupa uang tunai. Mereka meminta pemerintah membayarkan uang ganti rugi Rp 200 juta per orang seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Oktober 2017.

Baca: Warga Bukit Duri Berharap Anies Baswedan Segera Lunasi Janji

Ketua Forum Komunitas Korban Penggusuran Bukit Duri, Kasmo, menuturkan 25 warga yang mengajukan gugatan class action memilih ganti rugi dalam bentuk uang ketimbang hunian di kampung susun. “Anggaran kampung susun itu dari mana? Menuntut (minta ganti rugi) kan juga harusnya masuk akal,” ujar dia, kemarin.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan class action yang diajukan 93 warga Bukit Duri pada Oktober 2017. Hakim menilai para tergugat terbukti lalai dan melanggar aturan ketika menggusur rumah warga di RW 10, 11, dan 12 Bukit Duri pada 2016 untuk normalisasi Kali Ciliwung. Hakim pun menghukum para tergugat —pemerintah DKI Jakarta, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, dan Badan Pertanahan Nasional— membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp 18,6 miliar.

Balai Besar mengajukan permohonan kasasi pada 6 September lalu. Kasasi diajukan lantaran Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan banding Balai Besar. Sedangkan pemerintah DKI tidak mengajukan banding dan berjanji membayar ganti rugi.

Simak: Anies Baswedan Klaim, Jokowi Setuju Soal Bukit Duri

Menurut Kasmo, pemerintah DKI akan lebih mudah membayar ganti rugi secara tunai ketimbang membangun kampung susun untuk warga korban penggusuran. Buktinya, hingga saat ini pemerintah DKI tak kunjung menetapkan lokasi penampungan sementara (shelter) dan kampung susun itu. Bila menerima uang tunai, warga bisa memakainya untuk membeli rumah atau membuka usaha di kampung halaman. “Jadi, kami enggak ingin mempersulit pemerintah DKI dengan meminta ganti rugi berupa unit kampung susun,” kata Kasmo.

Berbeda dengan penjelasan Kasmo, Ketua Komunitas Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, menuturkan sejak awal para penggugat class action sepakat menuntut ganti rugi berupa bangunan atau tanah. “Kesepakatannya tanah ganti tanah dan rumah juga diganti rumah,” ujar dia. Ciliwung Merdeka merupakan komunitas yang mendampingi dan membela warga korban penggusuran di Bukit Duri.

Saat mengajukan gugatan, kata Sandyawan, warga memang menghitung ganti rugi akibat penggusuran. Namun, bila kelak diterima, ganti rugi sebesar Rp 18,6 miliar itu akan diserahkan ke pemerintah DKI untuk membangun kampung susun di kawasan Setia Ciliwung.

Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wenny Soemarwi, mengatakan memang ada 11 warga yang resmi menyatakan keluar dari barisan penggugat pemerintah. Tapi sebagian warga lainnya masih memegang kesepakatan awal, yakni menuntut hunian di kampung susun. “Rumah ganti rumah, tanah ganti tanah,” ujar dia.

Baca: Penanganan Bukit Duri, Anies: Saya Juga Kecewa Aparat Ga Bener

Pelaksana tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI, Melly Budiastuti, menjelaskan bahwa usul kampung susun warga Bukit Duri akan diakomodasi melalui program community action plan (CAP). Namun, sejauh ini, pemerintah DKI belum membahas bagaimana mekanisme mengkonversi uang ganti menjadi unit hunian di kampung susun itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gangsar Parikesit

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014. Liputannya tentang kekerasan seksual online meraih penghargaan dari Uni Eropa pada 2021. Alumnus Universitas Jember ini mendapatkan beasiswa dari PT MRT Jakarta untuk belajar sistem transpotasi di Jepang.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus