Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyangga Tiga Ngarai

Fuling, kota yang ”berkorban” banyak demi suksesnya proyek Bendungan Tiga Ngarai. Ada yang tergilas korupsi, ada pula yang ketiban rezeki.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT Fuling masih terang pada Ahad sore, 18 Mei lalu. Kehidupan masih berdetak cepat di sudut-sudut kota salah satu distrik di Chongqing ini. Di alun-alun kota, pria dan wanita berjejer rapi, bersenam bersama mengikuti irama lagu yang terpancar dari corong pengeras suara di pusat kota yang terletak tidak jauh dari Sungai Yangtze alias Chang Jiang.

Sementara itu, di sudut lain, di sebuah pelataran luas di depan kompleks pusat belanja, sekelompok ibu tua asyik menari. Tak jauh dari situ, sekumpulan bocah tampak riang meluncur bersepatu roda hilir-mudik ke sana-kemari menikmati langit sore yang cerah. ”Berbeda dengan Beijing dan Chongqing yang sibuk, di sini orang-orangnya lebih santai,” ujar seorang jurnalis.

Tapi, berbeda dengan dua kota besar itu, kegiatan bisnis Fuling pada umumnya ada di toko-toko kecil yang jumlahnya tidak banyak. Mereka pun masih harus bersaing dengan pedagang kaki lima yang justru menggelar dagangannya di emperan toko atau di trotoar di depan toko mereka. Jalan-jalan utama Fuling lebih didominasi bangunan apartemen tua bertingkat, tempat bermukim warga Fuling.

Meskipun tidak banyak kegiatan bisnis, irama kehidupan masih terus berjalan hingga tengah malam. Sebagian asyik berkumpul. Sebagian tenggelam dalam permainan judi mahyong massal di beberapa tempat terbuka. Adapun lainnya sekadar makan dan minum sambil mengobrol di restoran-restoran pinggir jalan, yang baru buka setelah gelap datang. Mereka bahkan terus bertahan hingga malam hampir berganti pagi.

l l l

Suasana kota kecil Fuling yang permai itu bisa jadi tak lama lagi bakal berubah. Jika tak ada aral melintang, proyek bendungan raksasa Tiga Ngarai yang mulai dibangun sejak akhir 1994 akan dioperasikan. Rencananya, pada tahun ini juga, ketinggian air waduk ”Three Gorges Dam” yang dibendung dari Sungai Yangtze itu akan dinaikkan ke tingkat maksimum: 175 meter di atas permukaan laut.

Dampaknya, sejumlah area permukiman di sekitar waduk yang menjadi kawasan penyangga bendungan, termasuk sebagian kawasan Fuling, akan tenggelam. Ini akan menjadi penanda dimulainya sebuah era baru bagi warga Fuling dan bangsa Cina pada umumnya.

Proyek ambisius ini boleh dibilang merupakan proyek terbesar Cina setelah pembangunan dinding raksasa ”The Great Wall”. Berlokasi di Sandouping, Yichang, Provinsi Hubei, yang berbatasan dengan Chongqing, proyek dam raksasa ini membendung Sungai Yangtze, sungai terpanjang ketiga di dunia setelah Sungai Nil dan Amazon.

Dari proyek inilah akan dilahirkan pembangkit hidroelektrik alias pembangkit listrik tenaga air terbesar di dunia. Total listrik yang bakal dihasilkan mencapai 22.500 megawatt atau setara dengan 22 pembangkit listrik bertenaga nuklir.

Pendiri Cina, Sun Yat-Sen, adalah orang yang melontarkan ide itu pertama kali pada 1919, delapan tahun setelah Republik Cina berdiri. Proyek raksasa ini sesungguhnya juga mendapat dukungan dari Mao Zedong, setelah partai komunis berkuasa 30 tahun kemudian. Namun, akibat terganjal masa revolusi kebudayaan, proyek ini baru bisa kembali digulirkan setelah mendapat pengesahan kongres pada 1992 di era Perdana Menteri Li Peng.

Tak kurang dari 18 miliar yuan atau sekitar Rp 234 triliun dana bakal dihabiskan untuk membiayai proyek ini. Damnya memanjang sampai 2.300 meter dengan lebar 115 meter dan tinggi 101 meter. Untuk membangunnya, dihabiskan 27 juta meter kubik semen dan 463 ribu ton baja—yang cukup untuk membangun 63 Menara Eiffel.

Waduknya sendiri mengular hingga 660 kilometer dan lebarnya 1,1 kilometer. Area yang akan dialiri air waduk ini tidak tanggung-tanggung: 632 kilometer persegi, sedikit lebih kecil daripada luas DKI Jakarta yang 662 kilometer persegi. Di dalamnya termasuk 24.500 hektare lahan petani yang dihuni 844 ribu orang.

Terkait dengan proyek itu, 1,2 juta penduduk desa dan kota harus dipindahkan ke kota-kota yang baru dibangun. Sekitar 85 persen penduduk yang direlokasi di antaranya berasal dari Chongqing, sedangkan sisanya dari Hubei.

Hingga dua tahun lalu, sudah 800 ribu penduduk yang direlokasi. Sebanyak 140 ribu di antaranya dipindahkan ke 10 provinsi lain, juga ke Shanghai. Untuk proyek relokasi ini, hingga akhir tahun lalu pemerintah sedikitnya telah mengucurkan 41 miliar yuan atau sekitar Rp 53 triliun.

Meskipun berjalan lumayan lancar, relokasi penduduk besar-besaran ini terus menuai pro dan kontra. Di luar itu, masih ada isu lingkungan dan kekhawatiran hancurnya situs-situs purbakala di sepanjang lokasi pembangunan dam.

Sejumlah kalangan mempersoalkan lemahnya posisi tawar penduduk yang direlokasi, termasuk soal besaran kompensasi yang diberikan pemerintah. Itu pula yang diungkapkan Zhang Yonglin, petani di Fuling. ”Saya tidak tahu kapan dan ke mana kami akan dipindahkan,” ujarnya, seperti ditulis Arthur Zich dalam artikelnya di majalah National Geographic.

Beberapa penduduk di Desa Bao Ta juga mempersoalkan berbagai praktek korupsi para pejabat pemerintah, berupa pemotongan dana kompensasi. ”Ada korupsi di sini,” kata seorang lelaki tua, seperti dikisahkan Zich. ”Makin banyak uang, makin banyak korupsi terjadi.”

Pemerintah tak menyangkal adanya praktek kotor ini. Menurut harian China Daily tahun lalu, dalam kurun 10 tahun terakhir, sudah lebih dari 200 pejabat lokal yang dihukum karena telah menggelapkan uang relokasi penduduk.

Nasib lebih beruntung dialami warga Desa Muhe di Kota Nantuo, Fuling. Kawasan seluas 5,9 kilometer persegi di sebelah selatan Sungai Yangtze ini bahkan dijadikan proyek percontohan keberhasilan program relokasi yang dijalankan pemerintah.

Berpenghuni 545 rumah tangga dengan 2.063 penduduk, Muhe dikenal sebagai salah satu desa migrasi utama untuk proyek Tiga Ngarai. Di gerbang desa, terpampang foto besar Perdana Menteri Wen Jiabao saat berkunjung ke sana.

Bukan itu yang menarik. Di sana, berhektare-hektare kebun kelengkeng, leci, dan jeruk tersebar di seantero desa. Dengan keberhasilan itu, Muhe kini telah menjelma menjadi desa relokasi berbasis agrikultur yang menghasilkan buah-buahan berkualitas tinggi. Sepasang suami-istri tua yang ikut program relokasi ini sepuluh tahun silam pun ikut happy.

Berkat program ini, ”Kami bisa punya televisi dan perabotan rumah baru,” ujar sang istri. Mereka kini malah punya toko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus