BENARKAH Amerika Serikat memblokade Irak untuk membela kedaulatan sebuah negeri yang diinjak-injak oleh negeri lain? Tampaknya, itu memang beralasan. Dan bila pasukan AS juga dipasang di Arab Saudi -- untuk mencegah Irak menyerang negeri ini -- ini pun bisa dipahami. Tapi, juga masul~ akal ditinjau dari sudut lain. Yakni. Paman Sam bergerak cepat untuk melindungi kepenti^ ngannya di Teluk. Memang benar, sejak 1916, pemerintah Riyadh sudah mengambil alih 100% perusahaan minyak asing yang ada di ~Arab Saudi. Tapi kerja sama tetap digala~ dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat. Oktober tahun lalu, misalnya Fluor Daniel, sebuah perusahaan minyak AS, bersama perusahaan Mannesmann dari Jerman Barat memenangkan kontrak senilai US$ 300 juta untuk perluasan pipa minyak mentah timur laut Arab Saudi. Lebih dari itu, sejarah perrninyakan Arab Saudi memang erat berkait dengan perusahaan-perusahaan minyak Amerika. Dimulai pada 1933, ketika perusahaan minyak Standard Oil Co. dari California diberi konsesi pencarian minyak di Arab Saudi. Lalu dibentuk Arabian-American Oil Company (Aramco) sebagai perusahaan pelaksana eksplorasi. Lima tahun kemudian, minyak muncsat dalam jumlah komersial di sana. Ladang-ladang baru pun ditemukan dan perusahaan-perusahaan minyak AS lainnya mulai menancapkan kakinya di Arab Saudi. Getty Oil Corporation, pada 1949, diberi konsesi eksklusif ~60 tahun) oleh pemerintah Riyadh di wilayah perbatasan Kuwait-Saudi. Pada 1982, produksi Getty Oil (milik jutawan AS Jean Paul Getty) mencapai 2,36 juta barel. Pada 19~62, pemerintah Arab Saudi membentuk Petromin, merupakan kerja sama pemerintah Arab Saudi dengan perusahaan-perusahaan minyak AS: Shell, Mobil, dan Petrola. Tujuannya, membentuk perusahaan patungan untuk mengelola keseluruhan penyulingan minyak di Arab Saudi. Sement~ara itu, penyulingan oleh Arameo~ Getty Oil, dan Arabian Oil yang telah ada sebelumnya -- yang 100% sahamsahamnya masih dipegang oleh orang Amerika sendiri -- tetap dibiarkan beroperasi sendiri. Selama itu pula, perusahaan-perusahaan raksasa AS itu menyedot keuntungan mahabesar. Jelas, perusahaan-perusahaan raksasa itu memainkan harga untuk kepentingan negara induknya. Inilah mungkin salah satu sebab munculnya gerakan mengambil alih saham mereka. Pada 1973, dalam suatu aksi bersama negara-negara produsen minyak Arab, Saudi mengambil alih 25% saham Aramco. Setelah embargo minyak OPEC ke Barat, yang menimbulkan boom minyak di negara-negara produsen minyak, Arab Saudi menuntut lebih banyak dari Aramco. Pada 1974, saham Arab Saudi di Aramco sudah 60 Yo . Maka, pemasukan pemerintah Riyadh dari sektor minyak meningkat tajam, dari US$ 1,2 milyar pada tahun 1970 menjadi US$ 22,5 milyar pada l974. Pada 198~0, pengambilalihan 100% saham Aramco oleh pemerintah Arab Saudi ditandatangani, yang berlaku surut sejak 1976. Berdasarkan perjanjian, keempat induk Aramco hanya menerima upah jasa (service fee) 18-19 sen dolar per barel dari tiap produksi minyak Aramco. Tahun 1980, jumlah uang jasa meningkat menjadi sekitar 27 sen per barel. Dengan produksi minyak Arab Saudi sekitar 5 juta barel per hari, perusahaan-perusahaan minyak AS ini jelas masih kecipratan rezeki minyak cukup besar tanpa harus kerja keras. Sementara itu, di Kuwait, perusahaan minyak AS pun sejak awal telah ikut melakukan eksplorasi. Yakni operasi gabungan perusahaan minyak AS Gulf Oil dengan perusahaan minyak Inggris British Petroleum Company dalam bentuk Kuwait Oil Company (KOC) pada 1938. Selain itu, Aminoil dan Arabian Oil Co - dua perusahaan minyak AS lainnya ~ juga diberi konsesi di wilayah perbatasan Kuwait-Saudi oleh pemerintah Kuwait. Setelah pemerintah Kuwait mengambil alih seluruh saham KOC pada 1975, sebagai kompensasi, British Petroleum dan Gulf Oil mendapat jasa 15 sen dolar tiap barel minyak yang diproduksi selama tahun. Memang benar, sebagian besar perusahaan minyak di Teluk bukan lagi sepenuhnya dikuasai Amerika. Tapi AS, yang memproduksi sekitar 13,3~% minyak dunia, masih harus mengimpor guna mencukupi kebutuhan sendiri FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini