Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Perda Prostitusi Ini Diubah Gara-gara Denda Hanya Rp 10 ribu

Perda prostitusi juga memuat tentang penutupan lokalisasi
prostitusi secara bertahap, dengan memberi batas kesempatan
beroperasi lima tahun.

18 Agustus 2015 | 20.34 WIB

Ilustrasi prostitusi/pelacuran. ANOEK DE GROOT/AFP/Getty Images
Perbesar
Ilustrasi prostitusi/pelacuran. ANOEK DE GROOT/AFP/Getty Images

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Semarang - Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, segera mengganti peraturan daerah tentang prostitusi yang hanya memberlakukan denda bagi pelaku sebasar Rp 10 ribu. Pergantian Perda itu dilakukan karena dinilai sudah tak efektif dengan kondisi sekarang.
 
“Isi perda lama tahun 1969, sanksi yang ketangkap melakukan perbuatan prostitusi hanya bayar denda Rp 10 ribu. Itu tak sesuai dengan kondisi sekarang,” kata  Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah, DPRD Kota Semarang, Suharsono, Selasa 18 Agustus 2015.
 
Saat ini badan tersebut memasukkan rancangan perda penanganan pelacuran itu pada agenda program legislasi daerah 2015. DPRD Kota Semarang  sudah membahas beberapa kali termasuk melibatkan LSM dan akademisi. “Kami utamakan kenyamanan masyarakat jadi jaminan agar penyakit masyarakat berupa prostiitusi bisa diatasi di Kota Semarang,” kata Suharsono.
 
Perda baru itu juga kan memuat tentang penutupan lokalisasi prostitusi secara bertahap, dengan memberi batas  kesempatan  beroperasi  lima tahun. Pekerja seks komersial akan dibekali pelatihan inisiatif usaha yang lebih baik. “Kebijakan itu dinilai solusi terbaik bagi pemerintah Kota Semarang yang bertangung jawab terhadap publik,” ujar Suharsono.
 
Koordinator Griya Asa, lembaga swadaya yang mendampingi pekerja seks komersial di kawasan Sunan Kuning Kota Semarang, Ari Istiadi, menyambut baik  rancangan perda  yang membubarkan lokalisasi secara bertahap. Menurut dia, perda itu diharapkan mampu mengentaskan pekerja seks komersial. “Karena pelaku merasa nyaman dengan pendapatan dari pekerjaan ini,” kata Ari.
 
Ia menjelaskan  kenyamanan pelaku protitusi di lokalisasi itu sudah dibatasi hanya bekerja tak lebih dari tiga tahun. “Tapi nyatanya mereka masih enggan pergi meski lebih dari tiga tahun di sini,” kata Ari.
 
Minat menjadi pekerja seks di kawasan prostitusi Sunan Kuning justru makin besar saat  pemerintah  ingin menutup lokalisasi itu. Bahkan upaya melatih mereka untuk alih profesi makin sulit. “Karena merasa lebih nyaman dengan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang cepat dan lebih mudah,” ujar Ari.
 
EDI FAISOL

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raihul Fadjri

Raihul Fadjri

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus