Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemenangan Dewi Sartika dengan novelnya Dadaisme, Abidah el-Khalieqy dengan novelnya Geni Jora, dan Ratih Kumala dengan novelnya Tabula Rasa dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 tidak pelak lagi semakin menstimulasi ketercengangan publik sastra di Indonesia. Bukan kemenangan itu benar yang menjadi persoalan, melainkan mereka bertiga itu perempuan. Tapi kenapa dengan "perempuan"? Pada 1975, ketika Marianne Katoppo dan Suwarsih Djojopuspito, masing-masing dengan novel Raumanen dan Arlinah, memperoleh hadiah dan penghargaan dalam kegiatan yang sama, ketercengangan serupa itu tidak terjadi. Baru pada 1998, sewaktu Ayu Utami menyabet penghargaan tertinggi atas novelnya yang berjudul Saman, kehebohan akan oposisi lelaki-perempuan, serta perihal konsepsi patriarkis yang konon selama itu ada, menyeruak ke permukaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo