Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan publik terhadap susunan calon anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) untuk sementara terjawab. Meski Ketua DPR Akbar Tandjung menyatakan daftar ke-45 calon itu sudah final, menurut Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak, keputusan akhir berada di tangan presiden. Menurut undang-undang, presiden memang memiliki hak untuk memilih 25 dari 45 nama yang diajukan DPR tersebut.
Sejumlah nama seperti Ketua PWI Jaya Tarman Azzam atau aktivis Eggy Sudjana dianggap tidak layak. Selain itu, pemilihan tersebut dianggap tidak transparan karena tidak semua calon dikenai uji tuntas (fit and proper test). Padahal, nanti anggota tim ini punya wewenang yang luas untuk memeriksa kekayaan pejabat negara, termasuk anggota DPR. Mereka bisa memeriksa rekening bank atau meminta bank membekukan transaksi perbankan milik pejabat yang dicurigai menyimpan uang hasil korupsi.
***
Sinyalemen telah terjadi korupsi di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) akhirnya mendapat konfirmasi. Jumat pekan lalu, Panglima Kostrad Letnan Jenderal TNI Agus Wirahadikusumah memberhentikan dua pejabat di kesatuan itu. Mereka adalah Kepala Keuangan Kostrad Kolonel Fahmi Firdaus dan Asisten Logistik Kostrad Kolonel CPL Tanjung. Menurut Agus, pemberhentian itu dilakukan untuk menghindari kemungkinan rekayasa pertanggungjawaban keuangan oleh keduanya.
Penyalahgunaan keuangan di Kostrad mulai diketahui tak lama setelah Agus Wirahadikusumah menjadi Pangkostrad. Ketika itu, ia memerintah jajarannya memberikan laporan, termasuk laporan keuangan. Di sanalah diketahui ada sejumlah uang negara yang raib. Agus tidak menyebut berapa nilai uang yang dikorupsi itu dan bagaimana modusnya. Tapi seorang perwira di Markas Besar TNI memperkirakan jumlahnya mencapai Rp 178 miliar. Sebagian di antaranya diambil dari PT Mandala Airlines, maskapai penerbangan milik Kostrad. Menurut Agus, saat ini kasus itu sedang diperiksa sebuah badan akuntan publik dan diperkirakan Kamis ini sudah selesai untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
***
Untuk kesekian kalinya pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan keras berkaitan dengan kasus Maluku. Pernyataan resmi Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Jumat pekan lalu, meminta agar Indonesia melakukan upaya lebih jauh untuk mencegah pertumpahan darah sambil mengindahkan standar internasional bagi perlindungan hak asasi manusia.
Setelah berkecamuk lebih dari 18 bulan, konflik Maluku memang belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Padahal, awal Juli lalu, pemerintah telah memberlakukan status darurat sipil di kawasan itu. Kamis pekan lalu, misalnya, pertikaian kembali terjadi di kawasan Ponegoro, Ambon. Dalam konflik itu, tujuh orang meninggal, 20 orang terluka, dan sejumlah rumah terbakar. Keesokan harinya, ledakan mortir, granat, dan bom rakitan serta rentetan peluru panser dan senjata organik terdengar sahut-menyahut. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, TNI saat ini sudah sepakat untuk menindak aparat yang terlibat serta memulangkan semua pelaku kerusuhan yang berasal dari luar Maluku.
***
Skandal pemalsuan uang kini menyeret Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto (lihat rubrik Hukum). Seorang pelaku pemalsuan uang kepada polisi mengaku mendapat perintah dari Tyasno. Jumlah uang yang dipalsukan tidak tanggung-tanggung: Rp 19,2 miliar. Disebutkan uang tersebut dipakai KSAD untuk menyelesaikan masalah Timor Timur. Tapi, ketika dikonfirmasi wartawan, Kamis pekan lalu, Tyasno membantah. "Itu tidak benar. Semacam maling teriak maling," katanya.
***
Setelah kasus Timor Timur dan Tanjungpriok, kini muncul tuntutan agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Pemeriksa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk kasus penculikan aktivis pada tahun 1997-1998. Tuntutan itu, Jumat pekan lalu, disampaikan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko kepada anggota Komnas HAM Asmara Nababan. Penculikan aktivis terjadi tidak lama setelah peristiwa 27 Juli meletus. Saat itu, pemerintah menuduh PRD berada di belakang penyerbuan berdarah Kantor PDI Jakarta. Sebagian besar korban penculikan adalah aktivis PRD. Saat ini, sebanyak 14 aktivis masih belum diketahui keberadaannya.
Menurut Budiman, yang juga merupakan salah seorang korban penculikan dan penganiayaan, pengadilan sejumlah perwira menengah Komando Pasukan Khusus tahun lalu terbukti tidak berhasil mengungkap siapa di balik semua tindak kekerasan tersebut. Menurut Asmara Nababan, pembentukan KPP HAM tidak efektif karena tidak ada basis hukumnya.
***
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo