Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah permohonan dispensasi perkawinan anak sejak 2018 hingga 2020 melonjak.
Peningkatan permintaan pengecualian itu dipicu oleh revisi batas usia perempuan untuk menikah.
Jumlah pernikahan anak di bawah tangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka yang tercatat oleh pemerintah.
Bagi panitera muda Kamar Agama Mahkamah Agung, Mardi Candra, meningkatnya jumlah permohonan dispensasi perkawinan di pengadilan agama dan pengadilan negeri tidak selalu berarti kemunduran. Melonjaknya permintaan pengecualian itu salah satunya disebabkan oleh terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi itu mengubah batas usia mengawinkan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun. Akibatnya, orang tua yang akan menikahkan anak perempuannya yang masih berusia 17 atau 18 tahun harus mengajukan permohonan dispensasi perkawinan ke pengadilan. "Logis kan kalau kemudian terlihat ada peningkatan," tutur Mardi kepada Tempo, Kamis, 29 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya peningkatan jumlah permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan ke pengadilan. Pada 2018, permintaan pengecualian sebanyak 15.574 berkas. Setahun kemudian, jumlahnya naik menjadi 29.359 permohonan. Adapun pada tahun lalu jumlah permohonan dispensasi perkawinan melonjak hingga 59.177 berkas.
Hal serupa ditemukan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Lembaga itu menemukan 23.700 permohonan dispensasi perkawinan diajukan ke pengadilan pada 2019. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 34 ribu permohonan. Dari semua permintaan pengecualian pernikahan itu, sebanyak 97 persen dikabulkan pengadilan.
Seorang warga melihat layar data pernikahan dari Sistem Informasi Manajemen Nikah di Jakarta,. TEMPO/Imam Sukamto
Menurut Mardi, lonjakan jumlah permohonan dispensasi perkawinan itu menunjukkan adanya peningkatan ketaatan hukum masyarakat. Sebab, mereka berupaya meminta izin pengadilan untuk menikahkan anaknya yang belum genap berusia 19 tahun agar tercatat oleh negara. Mardi merujuk pada survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Saat itu, BPS mencatat angka perkawinan anak mencapai 1,2 juta.
Dari jumlah itu, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21 persen dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah tersebut berbanding kontras dengan laki-laki, yakni 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Jumlah pernikahan anak pada 2018 jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan ke pengadilan. "Selama ini banyak pernikahan anak yang ilegal (di bawah tangan) dan tidak tercatat," tutur Hakim Yustisial Mahkamah Agung itu.
Mardi menjelaskan, permohonan dispensasi perkawinan yang dikabulkan oleh pengadilan sekitar 60-75 persen. Sebab, sebagian hakim yang menangani permintaan pengecualian itu berpendapat bahwa perkawinan anak memiliki banyak kerugian dibanding manfaatnya. Ada juga orang tua yang mencabut berkas permohonan dispensasi setelah mendapat nasihat dari hakim saat proses persidangan.
Mahkamah Agung, Mardi melanjutkan, sudah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Regulasi itu sudah disosialisasi kepada hakim pengadilan. Ia juga berharap para pengadil itu menerima pelatihan agar mendapatkan sertifikasi hakim anak.
Mardi menyanggah anggapan bahwa hakim yang menangani permohonan dispensasi perkawinan tidak berpihak pada anak. "Justru hakim berpihak pada kepentingan anak."
Salah satu pengadilan yang kebanjiran permohonan dispensasi perkawinan ialah Pengadilan Agama Tolitoli, Sulawesi Tengah. Pada tahun lalu, terdapat 110 permintaan pengecualian pernikahan. Dari seluruh permohonan itu, sebanyak 102 perkara dikabulkan, 5 perkara dicabut, 2 perkara ditolak, dan 1 perkara gugur. Adapun pada Januari-Juli 2021 terdapat 55 permohonan dispensasi perkawinan. Dari seluruh permohonan itu, 49 perkara dikabulkan, 5 perkara dicabut, dan 1 perkara ditolak.
Juru bicara Pengadilan Agama Tolitoli, Mujiburrokhman, menuturkan 90 persen permohonan dispensasi perkawinan di daerah itu diajukan karena anak perempuan yang akan dinikahkan hamil lebih dulu. "Pacaran kemudian hamil," tuturnya.
Menurut Mujiburrokhman, hakim kemudian dilema saat menangani permohonan dispensasi perkawinan tersebut. Sebelum memutuskan perkara itu, hakim juga telah menasihati agar kedua orang tua dan kedua anak yang mau menikah tersebut berpikir ulang. "Orang tua dan calon besannya itu bilang mau bertanggung jawab dan membimbing pernikahan itu," tuturnya.
Mujiburrokhman pernah mendengar kabar bahwa orang tua yang permohonan dispensasi perkawinannya ditolak tetap akan menikahkan anaknya di bawah tangan. Setelah usia anak itu mencukupi—sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan—barulah pernikahan secara agama atau adat tersebut didaftarkan untuk isbat nikah atau permohonan pengesahan menikah ke pengadilan agama agar perkawinan itu diakui oleh negara.
Panitera Pengadilan Agama Tolitoli, Sri Susilowati, menambahkan bahwa orang tua yang mengajukan permohonan dispensasi perkawinan juga kerap beralasan menikahkan anaknya untuk meringankan beban ekonomi. Bahkan ada orang tua yang mengancam akan menikahkan anaknya di bawah tangan kalau permohonan dispensasinya tidak dikabulkan pengadilan. "Tren permohonan dispensasi perkawinan ini meningkat sejak masa pandemi Covid-19," katanya.
Menurut Sri, salah satu kerugian pernikahan yang tidak dicatat negara ialah pasangan itu tidak memiliki buku nikah. Walhasil, mereka akan kesulitan membuat kartu keluarga. Bahkan, kelak, anak hasil nikah di bawah tangan itu sulit mendapat waris karena tidak ada dokumentasi yang dapat menghubungkan anak tersebut dengan ayah biologisnya secara hukum.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati. Tempo/Amston Probel
Adapun Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati berpendapat bahwa hakim yang menangani permohonan dispensasi perkawinan harus meningkatkan pengetahuan perihal anak. Sebab, banyak permintaan pengecualian pernikahan itu dikabulkan dengan tidak mempertimbangkan Undang-Undang Perlindungan Anak ataupun kepentingan terbaik bagi anak.
Hakim, Rita melanjutkan, juga harus bisa memastikan apakah anak yang akan menikah di bawah paksaan orang tuanya atau tidak. Sebab, ada juga anak yang diminta berbohong telah hamil agar hakim mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan orang tuanya.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rohika Kurniadi Sari, menjelaskan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan menyurvei keterkaitan wabah Covid-19 dengan perkawinan anak. "Apakah pandemi menjadi salah satu penyebab tingginya angka perkawinan anak?" katanya.
Rohika menjelaskan, sistem permohonan dispensasi perkawinan bertujuan agar orang tua yang menikahkan anaknya tercatat oleh negara. Melalui mekanisme itu, pernikahan anak bisa dicegah oleh pengadilan agama ataupun pengadilan negeri.
Kementerian Perlindungan Anak juga masih menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan Dispensasi Perkawinan Anak. Regulasi itu akan melengkapi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. "RPP ini akan mengawal pencegahan perkawinan anak."
GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo