Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Virus corona sudah sering disebut sebagai penyebab infeksi saluran pernafasan atas sampai pneumonia sejak 20 tahun yang lalu. Sebelum COVID-19, ada human pathogenic CoV (HCoV), SARS-CoV, MERS-CoV dan patogenik virus corona lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Deteksi virus SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19 yang direkomendasikan adalah real-time Polymerase Chain Reaction atau PCR dilanjutkan sequencing untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi COVID-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Laboratorium Kedokteran Indonesia, Aryati, urutan tingkat kepercayaan untuk deteksi berbagai patogen dari yang tertinggi yaitu kultur, molekular (DNA atau
RNA), antigen, dan yang terendah yaitu antibodi (IgM/IgG/IgA anti pathogen tersebut).
"Untuk SARS-CoV-2 tentu confidence level tertinggi saat ini adalah pemeriksaan molekular (yaitu real-time Polymerase Chain Reaction/PCR dilanjutkan sequencing yang telah dilakukan di Balitbangkes Jakarta), disebabkan karena kultur virus SARS-CoV-2 saat ini belum dapat dilakukan," ucapnya melalui siaran pers, Jumat, 27 Maret 2020.
Lalu bagaimana dengan rapid test IgM/IgG SARS-CoV-2 untuk deteksi COVID-19 dari berbagai merek yang saat ini marak diperjualbelikan? Simak faktanya.
1. Deteksi antibodi terhadap SARS-CoV-2 dengan metode rapid test belum ada penjelasan kinetika antibodinya. Antibodi baru terbentuk beberapa waktu setelah
masuknya virus ke dalam tubuh, yang tentunya membutuhkan waktu, namun waktu terbentuknya antibodi belum disebutkan secara jelas pada beberapa referensi.
Terdapat satu publikasi sementara ini yang menyatakan antibodi baru mulai terdeteksi dengan metode imunofluoresensi paling dini hari ke 6, namun sebagian besar antara hari ke 8 - 12 sejak timbulnya gejala.
3. Antibodi terhadap SARS-CoV-2 belum terbukti dapat menentukan infeksi akut saat ini, sehingga belum direkomendasikan untuk diagnostik. Sebagai contoh seperti halnya infeksi dengue dikatakan sebagai infeksi akut apabila terjadi peningkatan titer 4x dengan metode Hemagglutination Inhibition pada serum akut dan konvalesen.
Begitu pula antibodi Treponemal pallidum (sifilis) yang hanya dapat menunjukkan paparan sehingga tidak bisa menentukan infeksi akut atau lampau, sementara IgG anti Rubella bersifat protektif, sehingga masih perlu pendalaman kinetika antibodi
terhadap SARS-CoV-2 lebih lanjut.
3. Berbagai rapid test tersebut belum diketahui validitasnya, antigen dan prinsip pemeriksaan yang digunakan, variasi waktu pengambilan spesimen, limit deteksi masing-masing rapid test, interferens, berbagai kondisi yang dapat menyebabkan hasil false positive dan false negative, serta belum diketahui adanya ijin edar
resmi.
"Apabila untuk deteksi dini harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati, karena hasil positif tidak bisa memastikan bahwa betul terinfeksi COVID-19 saat ini, sedangkan hasil negatif tidak bisa menyingkirkan adanya infeksi COVID-19 sehingga tetap berpotensi menularkan pada orang lain," ucap Aryati.