Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh tiba-tiba menyampaikan sabdaraja menjelang tutup tahun 2015 di Sitihinggil Keraton Yogyakarta pada 31 Desember 2015.
Isi sabdaraja tersebut dinilai adik tirinya, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat akan menimbulkan kepanikan lagi karena ada pihak-pihak yang pro dan kontra.
“Saya kira ini hadiah tahun baru yang penuh mendung (duka) di Yogyakarta,” kata Yudhaningrat saat ditemui di kediamannya di Ndalem Yudhaningratan Yogyakarta, Kamis, 31 Desember 2015.
Lantaran berdasarkan informasi teman dan saudara Yudhaningrat yang datang, ada empat poin isi sabdaraja. Pertama, sabda tersebut disampaikan atas dasar perintah Tuhan dan para leluhur Sultan. Kedua, tahta kerajaan hanya bisa diwariskan kepada keturunannya.
Ketiga, apabila adik-adik, kerabat, dan abdi dalem tidak mematuhi perintah Sultan, maka akan dicopot dari kedudukannya. Keempat, ketidakpatuhan itu disertai keharusan keluar dari bumi Mataram. “Saya sama Kangmas Prabu (GBPH Prabukusumo) berencana mau cari kontrakan,” kata Yudhaningrat sambil tertawa.
Dia mempertanyakan isi sabdaraja yang dinilai selalu bertentangan dengan paugeran. Dia mencontohkan, yang memberi izin tinggal di Ndalem Yudhaningratan adalah ayahnya, almarhum Sultan HB IX dengan hak anggadhuh.
Kemudian yang disebut bumi Mataram itu meliputi wilayah Keraton Yogyakarta dan Surakarta. “Bumi Mataram yang dimaksud Pak Bawono itu yang mana?” tanya Yudhaningrat.
Yudhaningrat menolak hadir di Sitihinggil meskipun diundang melalui telepon oleh Sekretaris Sultan sekitar pukul 08.00 pada hari yang sama. Dia diminta hadir dengan mengenakan baju peranakan.
Lantaran Sultan juga tak mengenakan baju kebesaran raja warna hitam seperti ketika menyampaikan sabdaraja pada 31 April 2015 dan dhawuhraja pada 5 Mei 2015. Melainkan mengenakan baju surjan dengan warna dasar putih bermotif bunga warna-warni dan blangkon warna hijau.
Sedangkan permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengenakan kebaya kuning dan anak sulungnya, GKR Mangkubumi berkebaya hijau muda. “Yang bilang (bersabda) kan Bawono, bukan Buwono. Jadi kami tidak mengenal,” kata Yudhaningrat yang bersama semua adik laki-laki Sultan tidak menghadiri.
Semenjak Sultan mengeluarkan sabda raja dan dhawuh raja terdahulu, adik-adik Sultan menyatakan sikap menolak. Mereka menilai sabda raja dan dhawuh raja itu melanggar paugeran atau peraturan keraton.
Isi sabda raja saat itu antara lain perubahan nama Sultan Hamengku Buwono X menjadi Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh. Sedangkan isi dhawuh raja antara lain mengubah nama anak sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.
Nama Mangkubumi sering diidentikkan sebagai gelar putra mahkota. Ada kekhawatiran adik-adik Sultan apabila Sultan yang bertahta nantinya dipegang seorang perempuan yang berarti melanggar paugeran. “Sabdaraja (31 Desember 2015) itu kan ingin meluluskan putrinya, Pembayun (menjadi raja selanjutnya),” kata Yudhaningrat.
Adik-adik Sultan berencana akan mensikapi sabdaraja terbaru itu. Namun mereka menunggu kejelasan isi sabdaraja secara tertulis.
Penghageng Puralaya (makam raja-raja Mataram) Imogiri - Kotagede Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hastananingrat yang hadir di Sitihinggil membenarkan poin-poin sabdaraja tersebut.
Namun poin yang dibacakan Sultan yang diingatnya hanya dua, yaitu soal tahta kerajaan yang tidak diwariskan kepada bukan keturunannya dan hukuman berupa pencopotan jabatan kepada abdi dalem yang tidak mematuhi perintah Sultan. “Kalau soal kepatuhan itu hal yang wajar ya. Kami sudah tahu,” kata Hastaningrat.
Sementara itu, menurut Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta KRT Jatiningrat alias Romo Tirun yang tidak hadir karena tidak diundang, bahwa yang berwenang untuk mencopot kedudukan abdi dalem adalah Parentah Ageng yang dipegang oleh anak kedua Sultan, GKR Condrokirono.
Hanya saja harus melalui mekanisme yang berlaku, seperti adanya pemberian teguran terlebih dahulu. Sebelumnya, jabatan Parentah Ageng alias semacam Sekretaris Negara itu dipegang almarhum adik kandung Sultan, GBPH Joyokusumo. “Harus diingat, abdi dalem itu bukan abdi perorangan. Tapi abdi budhaya. Artinya, abdi keraton sebagai kelembagaan,” kata Tirun menegaskan.
Sabdaraja yang disampaikan Sultan Hamengku Bawono Kasepuluh berlangsung tertutup. Setelah itu, Sultan tidak muncul di ruang publik. Dia mendelegasikan pelantikan pejabat eselon III dan IV Pemerintah Provinsi DIY kepada Sekretaris Daerah. Media belum mendapat konfirmasi dari Sultan terkait sabdaraja dan penolakan adik-adiknya.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini