Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Thailand sejak Kamis, 9 Juni 2022 lalu, resmi menghapus ganja dan rami sebagai zat yang dikendalikan dari daftar narkotika Kategori 5. Walau peraturan baru itu melepas segala ketentuan hukum terkait mariyuana, warga Thailand tetap harus tertib dan tidak bisa sembarangan teler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dilansir Bangkok Post, warga dilarang menghisap ganja sembarangan di tempat umum. Sebab asap dari ganja dianggap sebagai gangguan. Denda untuk pelanggaran tersebut adalah maksimum 25 ribu baht atau sekitar Rp 10 juta, dan/atau tiga bulan penjara.
Legalitas ganja yang diperbolehkan oleh Thailand bukan asal-asalan. Ada ambang batasnya. Yakni mariyuana dengan THC rendah untuk penanaman di rumah.
Hukum baru menganggap tetrahydrocannabinol rendah itu sekitar 0,2 persen, atau lebih rendah lagi. Persentase yang lebih tinggi untuk ekstrak ganja dan rami masih ilegal. THC adalah senyawa psikoaktif utama dalam ganja, yang membuat orang merasa 'terbang'.
Ekstraksi ganja yang mengandung lebih dari 0,2 persen THC, menurut beratnya, akan tetap diakui sebagai zat Tipe 5 dan diatur dalam ketentuan yang berkaitan dengan pengendalian dan pemberantasan narkotika.
Manfaat medis
Ganja untuk kebutuhan medis sudah legal di Thailand sejak 2018. Namun sebelum undang-undang itu berubah, di mana ganja Thailand untuk medis masih harus bergantung pada impor asing yang mahal.
Ada beberapa pasien yang nekat mendatangi ke pengedar ilegal. Tunas ganja yang diimpor biasanya berharga 700 baht atau hampir Rp300 ribu per gram.
“Berkat legalisasi, harganya telah turun setengahnya,” kata Jiratti, perempuan berusia 42 tahun itu didiagnosis menderita kanker payudara stadium lanjut lima tahun lalu.
Dua tahun sejak divonis kanker payudara, dia mulai menggunakan minyak ganja dan produk lainnya untuk mengurangi rasa sakit, muntah, kelelahan dan kecemasan yang dia derita setelah kemoterapi.
"Saya telah mengonsumsi ganja secara teratur sehingga saya tidak perlu merasa sakit," katanya sambil merobek dan merebus daun ganja untuk membuat teh infus, memenuhi apartemen satu kamar tidurnya di Bangkok dengan baunya yang khas.
Dengan legalisasi ini, Thailand telah menjadi negara Asia pertama yang mebolehkan pertumbuhan dan konsumsi ganja swasta, sebuah langkah yang dikatakan pihak berwenang akan meningkatkan pertanian dengan memberi petani tanaman komersial baru yang berharga.
Sebenarnya, sudah cukup banyak negara di dunia yang melegalkan produk penganan dari ganja dengan alasan medis. Setelah Kanada dan Uruguay, Thailand mengisi daftar terbaru negara-negara itu per 9 Juni 2022.
Laporan yang paling banyak dari penggunaan ganja untuk medis adalah untuk mengendalikan rasa sakit, dan terlihat diterima sebagai alternatif sebagai jenis opioid atau kelas obat penghilang rasa sakit. Penerimaannya semakin tinggi karena di Amerika Serikat, misalnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyebutkan lebih dari 20 persen orang dewasa di negara itu hidup dengan penyakit kronis.
Di Amerika Serikat, 37 negara bagian telah melegalkan ganja untuk kebutuhan dan 19 di antaranya bahkan mengizinkan orang dewasa membeli untuk tujuan rekreasi.
Akan tetapi, popularitas dan aksesibilitas dari produk-produk ganja yang semakin tinggi tak diimbangi riset terhadap efek penggunaannya sebagai obat yang masih terbatas. Inilah yang kemudian dikerjakan oleh Marian McDonagh dari Oregon Health & Science University, Amerika Serikat, dan koleganya. Mereka mengkaji lebih dari 3 ribu studi sebelumnya dalam sebuah studi kajian terbesar yang pernah dilakukan terhadap penggunaan produk ganja medis
Penyalahgunaan ganja
Beberapa pekan setelah ganja dengan kadar tertentu legal di Thailand, muncul laporan media lokal ada empat laki-laki, yang diantaranya pelajar berusia 16 tahun dan 17 tahun, dirawat di rumah sakit di Ibu Kota Bangkok akibat overdosis ganja.
Sejak Thailand melegalkan ganja pada 9 Juni lalu, muncul sejumlah laporan overdosis. Ada satu orang yang mengalami overdosis ganja, yang kemudian meninggal karena gagal jantung.
Korban tewas itu adalah seorang laki-laki, 51 tahun, yang awalnya mengeluh menderita nyeri dada. Dia kemudian meninggal karena gagal jantung di Rumah Sakit Charoen Krung Pracharak
Selain jatuhnya korban tewas, di antara mereka yang diduga mengalami overdosis adalah laki-laki berusia 17 tahun dan 25 tahun yang mengalami palpitasi setelah mengkonsumsi ganja. Keduanya dirawat di Rumah Sakit Taksin.
Sedangkan seorang remaja berusia 16 tahun dirawat di unit perawatan intensif di Rumah Sakit Luang Phor Taweesak Chutinataro Uthit setelah overdosis ganja
Administrasi Metropolitan Bangkok mengatakan, pihaknya berencana melarang ganja di sekolah-sekolah. Sebelumnya Pemerintah pusat Thailand sudah mengutarakan rencana mengeluarkan aturan untuk membatasi atau melarang konsumsi ganja di tempat umum dan mengontrol penggunaan ganja dalam makanan
Pekan lalu, peraturan baru mulai berlaku, yakni melarang merokok ganja di ruang publik serta penjualannya ke orang-orang di bawah 20 tahun, ibu hamil dan ibu menyusui.
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Kesehatan Thailand, Anutin Charnvirakul, pada16 Juni 2022 menandatangani peraturan untuk menetapkan ganja dan rami sebagai tanaman yang dikendalikan.
"Mereka yang berusia di bawah 20 tahun, tidak akan diizinkan untuk memiliki dan menggunakannya kecuali memiliki izin dari dokter," katanya seperti dilansir The Bangkok Post.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.