Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Mass Rapid Transit Jakarta atau MRT meminta pemerintah DKI mengeluarkan kebijakan yang berdampak terhadap perubahan perilaku pengguna kendaraan pribadi. “Kami butuh dukungan kebijakan yang mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik sebanyak-banyaknya dan meninggalkan kendaraan pribadi,” kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar di kantornya, Jumat, 27 Oktober 2017.
William menilai ketergantungan masyarakat Jakarta terhadap kendaraan pribadi cukup tinggi. Transportasi publik masih menjadi pilihan terakhir. Perilaku warga Jakarta ini menjadi salah satu ganjalan bagi MRT Jakarta, yang tengah berusaha mendorong target ridership 173 ribu penumpang ketika beroperasi kelak.
Kendati begitu, William menyadari keberadaan MRT Jakarta di rute Lebak Bulus-Bundaran HI bukan satu-satunya jawaban atas permasalahan itu. Selain harus terintegrasi dengan moda transportasi lain, William menilai perubahan harus didorong dengan sejumlah kebijakan pemerintah DKI.
Baca: Semua Stasiun Kereta MRT Disiapkan Ramah Anak dan Difabel
Kebijakan DKI yang dapat mendorong peralihan ke transportasi publik antara lain memastikan jalur trotoar yang baik dan indah untuk masyarakat. “Bukan hanya di Sudirman-Thamrin, tapi bagian lainnya juga,” ujarnya.
William juga meminta pemerintah membatasi parkir di sejumlah gedung yang berada di pusat kota. Menurut dia, pemerintah seharusnya melihat jumlah kebutuhan parkir yang ideal agar mendorong penggunaan transportasi publik. Masyarakat, kata dia, memang harus dipaksa seperti kebijakan di Kota London, khususnya di kawasan Cannary Wharf. Di sana, parkir yang disiapkan hanya untuk 5.000 kendaraan dan bertarif mahal. Padahal orang yang bekerja di kawasan itu mencapai 200 ribu.
William meyakini Jakarta juga bisa menerapkan itu. Sebab, konsep membangun Jakarta dengan memperbanyak kendaraan pribadi tidak akan menjadikan kota ini semakin baik ke depan. “Kota yang baik itu di mana seluruh masyarakatnya mendapat akses publik transportasi yang baik,” ucapnya.
Saat ini, kata dia, dukungan pemerintah yang masih digodok adalah penyediaan park and ride bagi warga di pinggiran Jakarta. Ia meminta fasilitas park and ride bisa disediakan di kawasan Lebak Bulus karena kepadatan bangunan di sana masih rendah.Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan mass rapid transit (MRT) di Dukuh Atas, Jakarta, 4 Oktober 2017. Pengerjaan struktur bawah tanah MRT telah selesai 90,22 persen, sementara struktur layang selesai 70,16 persen. TEMPO/Fakhri Hermansyah
Staf Ahli Bidang Teknologi, Lingkungan, dan Energi Kementerian Perhubungan Prasetyo Boeditjahjono menambahkan, hal paling utama untuk menarik warga DKI agar beralih ke transportasi umum, seperti MRT, adalah tarif yang terjangkau. “Harus murah. Terjangkau betul karena ini transportasi massal,” tuturnya.
Menurut Komisaris PT MRT Jakarta itu, tarif ideal transportasi massal tak lebih dari Rp 10 ribu. Tarif itu bergantung pada besaran subsidi yang ditentukan pemerintah DKI.
Persoalan lain yang harus dibenahi adalah aksesibilitas penumpang dari stasiun lewat pengembangan kawasan transit oriented development (TOD), konektivitas dari stasiun ke gedung di sekitarnya, dan pembatasan kendaraan bermotor.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Sigit Wijatmoko menuturkan keberhasilan ridership MRT Jakarta memang membutuhkan sejumlah prasyarat, di antaranya dengan memberlakukan sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Pemungutan tarif melalui ERP dinilai bisa mendongkrak pendapatan daerah dan mengurangi kemacetan.
Baca: Alasan Depo MRT Lebak Bulus Tak Siapkan Parkir Kendaraan Pribadi
Saat ini, Dinas Perhubungan masih mengevaluasi enam dokumen perusahaan yang mengikuti lelang ERP. Sigit menargetkan pemerintah sudah mulai berkontrak dan melaksanakan proses pembangunan sistem itu pada 2018. “Kami harapkan, sebelum operasional MRT kepada masyarakat, ERP bisa difungsikan,” katanya.
Selain dengan ERP, Sigit melihat MRT Jakarta tidak bisa bergerak sendiri tanpa ada pengendalian lalu lintas dan peningkatan intensitas jaringan, seperti pedestrian dan park and ride di pinggiran Jakarta, khususnya di Depo Lebak Bulus. “Sehingga di tengah kota tidak ada lagi kendaraan,” ujarnya.
Rencananya, Sigit menuturkan pemerintah DKI akan memberikan insentif peningkatan koefisien lantai bangunan hingga 200 persen ke pemilik gedung yang membangun fasilitas park and ride.
Adapun strategi lain yang sedang dibahas adalah membuat regulasi tentang penetapan tarif jasa layanan parkir berdasarkan sistem zonasi. Semakin mobil berada di tengah kota, maka tarif parkirnya juga semakin mahal sehingga bisa mendorong masyarakat beralih ke angkutan umum.Pengunjung sedang menuliskan harapannya tentang proses pembangunan alat transportasi massal MRT dalam pameran foto di jembatan penyeberangan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, 7 Mei 2017. TEMPO/Rizki Putra
William Sabandar menyatakan sedang melakukan sejumlah persiapan untuk perubahan gaya hidup masyarakat agar mau menggunakan transportasi publik. Berikut ini persiapan tersebut.
- Sosialisasi menggunakan kereta.
- Mengintegrasikan kereta dengan moda transportasi lain melalui pengembangan kawasan TOD.
- Membangun trotoar sepanjang 1,4 kilometer di enam titik stasiun bawah tanah MRT, yang berada di sepanjang jalur Thamrin-Sudirman, dan pelebaran pedestrian mulai November 2017-Juli 2018.
- Menyiapkan perjanjian kerja sama dengan pemilik dan pengelola gedung yang terlibat dalam pembangunan kawasan TOD stasiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini