Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Penunjukan pelaksana makan bergizi gratis tak transparan.
Mereka yang punya akses ke kekuasaan yang mendapatkan proyek senilai Rp 71 triliun ini.
Konflik kepentingan adalah awal korupsi.
BEGINILAH jadinya jika retret anggota Kabinet Merah Putih di Magelang, Jawa Tengah, pada 25-27 Oktober 2024 tak menekankan pentingnya memahami konflik kepentingan. Meski ada materi tentang pencegahan korupsi di hari pertama yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Kepolisian RI, agaknya soal konflik kepentingan tak dibahas secara tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemahaman tentang apa itu konflik kepentingan menjadi penting jika Presiden Prabowo Subianto benar-benar ingin memberantas korupsi, seperti keinginan besarnya dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya. “Konflik kepentingan adalah awal korupsi,” kata Nawawi Pomolango, Wakil Ketua KPK, ketika menjelaskan makna Pasal 12 huruf i Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebulan sebelum retret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jika tak sempat mempelajari perihal konflik kepentingan di retret Magelang, para menteri dan kepala lembaga negara bisa membacanya di banyak modul tentang bagaimana mencegah korupsi. Tapi memahami dan mempraktikkan pencegahan korupsi memang perlu kesadaran diri, niat yang teguh, dan dasarnya memang tidak mau melakukan korupsi. Tanpa itu, setiap orang akan melihat kebijakan negara sebagai proyek besar saja, seperti program makan bergizi gratis ini.
Tempo menyimpulkan makan bergizi gratis telah bergeser dari program menjadi sekadar proyek. Hal itu bisa dilihat dari perencanaan yang ala kadarnya, tergesa-gesa, dan tidak transparan, terutama dalam penunjukan pelaksana proyek dengan anggaran Rp 71 triliun ini. Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan ada perlakuan khusus Badan Gizi Nasional kepada para pelaksana lapangan.
Investigasi kami ke banyak daerah mengkonfirmasi dugaan KPK. Mereka yang terlibat menyediakan makanan bagi anak-anak sekolah dan ibu hamil terafiliasi dengan Presiden Prabowo, melalui kekerabatan, pertemanan, organisasi, pengurus partai, hingga relawan dan simpatisan pendukungnya dalam pemilihan presiden 2024. Ketika ditanya, mereka mengatakan keterlibatan itu sebagai dukungan kepada program pemerintah.
Dengan cacatnya pemahaman terhadap konflik kepentingan itu, ilustrator Kendra Paramita menyodorkan tiga gambar sebagai calon sampul Tempo pekan ini yang mengangkat laporan utama “bancakan” proyek makan bergizi gratis. Ada orang yang sedang memasak sementara teman dan koleganya antre makanan, kesibukan di dapur umum, dan adegan makan-makan.
Kami sepakat tanpa debat memilih adegan perjamuan sebagai sampul pekan ini. Bukan karena hari terbit edisi ini bertepatan dengan Hari Paskah, tapi karena adegan itu menggambarkan temuan liputan dalam proyek makan bergizi gratis. Kami agak alot mendiskusikan judul sampai akhirnya sepakat dengan “Makan-makan Bergizi Gratis”.
Rancangan sampul Tempo "Makan-makan Bergizi Gratis".
Sejak awal Tempo merayakan anekdot dalam pembuatan judul sampul ataupun artikel. Edisi 1 Februari 1999 memuat gambar Xanana Gusmao, pemimpin Fretilin di Timor Timur, dengan judul “Merdeka atau Nanti”. Atau mundur ke tahun 1990 ketika pemerintah Jakarta hendak menghapus bajaj dan menggantinya dengan tuktuk. Rekaman kebijakan itu terbit dalam artikel dengan judul “Bajaj Pasti Berlalu”—pelesetan lagu dan film populer tahun 1977, Badai Pasti Berlalu.
“Makan-makan Bergizi Gratis” bukan hanya cocok dengan gambar sampul perjamuan Prabowo, juga satire terhadap kebijakan, yang turun menjadi program, tapi berakhir sekadar proyek: makan-makan bergizi bagi mereka yang punya akses ke kekuasaan. Anda mungkin bertanya, mengapa kebijakan apa pun menjadi bengkok ketika dilaksanakan?
Makan bergizi gratis itu bertujuan mulia: mencegah tengkes agar anak-anak Indonesia sehat dan pintar. Namun, ketika semua orang berfokus pada program ini—sampai-sampai banyak mata anggaran dipangkas untuk menyukseskan program ini—pelaksanaannya tak seindah yang dibayangkan pembuat konsepnya.
Untuk memahaminya, kita harus menengok sejarah. Setelah mempelajari perihal konflik kepentingan, Prabowo dan anak buahnya perlu juga sesekali menengok kembali karya lawas Fred W. Riggs, profesor University of Hawaii, Amerika Serikat, yakni buku klasik tentang administrasi publik di negara berkembang: The Theory of Prismatic Society (1964). Buku ini mengajarkan dan mengingatkan bahwa transisi negara berkembang selalu rusuh oleh kebiasaan lama ketika memulai peradaban modern.
Birokrasi adalah manajemen modern, tapi di negara berkembang praktiknya memakai cara lama berupa patronase, korupsi, kolusi, nepotisme, asal bos senang. Maka kebijakan dan program yang dibuatnya pun seperti benda yang terpendar ketika melewati kaca prisma: pensil yang lurus menjadi bengkok. Program makan bergizi gratis yang mulia pun dirayakan dengan konflik kepentingan. ●