Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDIAMAN Badrul Huda Zainal Abidin di sekitar kompleks Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, terlihat ramai. Sejumlah santri hilir-mudik membawa potongan bambu dan tali ke lapangan pondok yang berjarak 500 meter dari rumah pria yang biasa disapa Gus Bidin itu. Gus Bidin, yang duduk di ruang tamu, terlihat mengawasi santrinya yang mondar-mandir. Sesekali pria berambut gondrong yang tak pernah lepas dari songkoknya itu memberi perintah kepada santri untuk mengambil perlengkapan membuat panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang pekan ketiga April lalu, keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo memang sedang sibuk mempersiapkan pertandingan Pencak Dor, gelanggang tarung bebas para pesilat pencak yang menjadi tradisi turun-temurun di pesantren itu. Pertandingan Pencak Dor diadakan untuk menutup kegiatan santri sebelum memasuki masa tenang di bulan Ramadan. Sebelum Ramadan, sebagian besar santri akan pulang ke rumah masing-masing untuk menunaikan ibadah puasa bersama keluarga mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai persiapan dilakukan para santri di lapangan pondok. Yang utama adalah membangun arena pertandingan yang terbuat dari bambu. Arena itu dibangun cukup tinggi agar bisa disaksikan masyarakat banyak. Sambil menuntaskan pembangunan arena itu, beberapa santri juga terlihat berlatih jurus-jurus pencak. Semua kegiatan santri itu dipimpin langsung oleh Gus Bidin, yang tampak masih energetik pada usianya yang kepala empat.
Di lingkungan Pesantren Lirboyo dan masyarakat Kediri, nama Gus Bidin cukup populer. Sosoknya selalu dilekatkan dengan Pencak Dor, yang merupakan ajang pertarungan paling bergengsi bagi para pendekar di kawasan eks Karesidenan Kediri. Gus Bidin pula yang memegang lisensi penyelenggaraan Pencak Dor dari aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat. Ini lantaran perannya sebagai Ketua Gerakan Aksi Silat Muslimin Indonesia (GASMI), organisasi yang menaungi para pendekar silat pesantren.
Popularitas Gus Bidin juga moncer karena menjadi ahli waris tunggal jawara pencak di Pesantren Lirboyo, Kiai Haji Muhamad Abdullah Maksum Jauhari atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Maksum. Gus Maksum adalah putra Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Kanigoro, Kediri, yang dikenal sebagai pendekar dari Pesantren Lirboyo. Jauh sebelum dikenal luas sebagai tempat menimba ilmu agama, Lirboyo memang sudah terkenal sebagai pondok pesilat. "Banyak santri yang belajar ke sini karena ingin berguru silat kepada Gus Maksum," kata Gus Bidin.
Gus Maksum tak memiliki keturunan. Satu-satunya kerabat yang mengabdi dan berguru kepadanya hanya Gus Bidin, yang merupakan keponakan Gus Maksum. Karena itu, sepeninggal Gus Maksum, Gus Bidin ditunjuk sebagai penerus GASMI dan mengajarkan silat kepada para santri di Pesantren Lirboyo hingga sekarang. Gus Bidin juga menempati rumah peninggalan Gus Maksum yang kini menjadi pusat pergerakan GASMI.
KENDATI GASMI baru resmi berdiri pada 11 Februari 1966, aktivitas perkumpulan pesilat pesantren itu sesungguhnya sudah berlangsung sejak dulu. Bahkan kemunculan para petarung asal pesantren itu sudah dirintis sejak Kiai Abdul Karim merintis pendirian Pesantren Lirboyo pada 1910.
Pendirian pesantren tersebut dilatarbelakangi situasi di Desa Lirboyo ketika itu yang dipenuhi pencuri, perampok, dan penjudi. Keberadaan mereka yang meresahkan masyarakat memantik berdirinya Pesantren Lirboyo, yang bertujuan memperbaiki moral masyarakat sehingga keamanan di desa itu bisa terjaga.
Mulanya keberadaan pesantren itu ditolak masyarakat. Para santri kerap menerima teror sehingga membuat mereka tak betah tinggal di pesantren. Untuk menjaga keselamatan para santri, Kiai Abdul Karim meminta bantuan kakak iparnya, Kiai Ya'kub, yang memiliki "kesaktian". Selain menjaga keamanan pondok, Kiai Ya'kub mengajarkan bela diri pencak silat kepada para santri di sela kegiatan mengaji di Pesantren Lirboyo. Sejak itu, materi bela diri pencak silat terus diajarkan kepada para santri Pesantren Lirboyo hingga sekarang. Dari situlah lahir para pendekar silat pesantren.
Belakangan, materi pencak silat di Pesantren Lirboyo mendorong remaja-remaja desa ikut mempelajarinya. Mereka pun mondok di sana. Banyaknya pemuda yang belajar pencak silat di Lirboyo kemudian tersiar hingga ke berbagai kota hingga pesantren itu terkenal dengan julukan pesantren silat.
Tradisi belajar pencak silat makin berkembang ketika Kiai Mahrus Aly mondok di Pesantren Lirboyo pada 1936. Selain ingin menimba ilmu agama, ia sangat tertarik mempelajari pencak silat ala Lirboyo yang sudah dikenal luas. Kiai Mahrus Aly sebelumnya mempelajari pencak silat di Cirebon, Jawa Barat. Belakangan, ia diberi amanat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Pesantren Lirboyo setelah menjadi menantu Kiai Abdul Karim.
Di bawah kepemimpinan Kiai Mahrus Aly, para pendekar pencak silat dari Pesantren Lirboyo berperan penting pada masa kolonial Belanda. Beberapa kali Kiai Mahrus Aly mengirimkan rombongan santri untuk bergabung dengan pejuang kemerdekaan. Salah satu peristiwa bersejarah yang mengantarkan Kiai Mahrus Aly berada di jajaran utama tokoh nasional adalah ketika dia mengirimkan santri-santrinya dalam pertempuran 10 November di Surabaya.
Peristiwa itu merupakan cikal-bakal berdirinya Komando Daerah Militer V Brawijaya, yang menempatkan nama Kiai Mahrus Aly sebagai salah satu pendiri meski bukan dari kalangan Tentara Nasional Indonesia. "Kiai Mahrus Aly memiliki ilmu kanuragan tinggi dan berjasa ikut menumpas penjajah. Kedekatan beliau dengan TNI, terutama Kodam V Brawijaya, seperti saudara," tutur Gus Reza Ahmad Zahid, pengasuh Pondok Pesantren Al Mahrusiyah Lirboyo.
Pada masa kepemimpinan Kiai Mahrus Aly, Pesantren Lirboyo memiliki seorang pendekar yang menjadi jawara, yakni Gus Maksum, cucu Kiai Abdul Karim sekaligus keponakan Kiai Mahrus Aly. Gus Maksum kemudian mendirikan GASMI pada 1966 dan mengajarkan pencak silat kepada para santri. Ini pula yang membuat Pesantren Lirboyo makin terkenal sebagai pencetak santri pesilat.
Salah satu metode latihan pencak silat yang diterapkan Gus Maksum adalah dengan menggelar latih tanding sesama santri. Para santri diadu untuk mengukur tingkat kemampuan mereka menguasai jurus-jurus silat sekaligus sebagai latihan mental untuk menghadapi lawan sesungguhnya. "Latih tanding inilah yang kemudian dikenal dengan Pencak Dor sampai sekarang," ujar Gus Bidin.
Tak hanya menggelar latih tanding sesama santri Pesantren Lirboyo, Gus Maksum juga membuka kesempatan kepada mereka yang berada di luar pondok untuk ikut berlatih dengan para santri. Semua orang bebas mengikuti pertandingan untuk beradu jurus dengan santri Lirboyo. Untuk menyemarakkan suasana, sejumlah pemain musik tradisional dihadirkan. Membawa saron, kendang, dan gong, para pemusik itu melantunkan selawat dengan iringan jidor. Jidor adalah beduk kecil menyerupai kendang yang dipukul kanan-kiri dan menjadi salah satu alat musik yang mengiringi Salawat Jidor. "Asal-usul nama Pencak Dor berasal dari sini, yakni karena suara jidornya," ucap Gus Bidin.
TRADISI pencak silat terus lestari di Pesantren Lirboyo hingga saat ini. Bahkan pencak silat menjadi kegiatan ekstrakurikuler santri yang bisa diikuti di luar kegiatan belajar di kelas. Selain mengajarkan pencak silat, Gus Bidin menggelar ajang latih tanding dalam skala besar dengan melibatkan masyarakat luas dalam laga Pencak Dor.
Belakangan, Pencak Dor juga diikuti sejumlah atlet bela diri profesional dan melibatkan banyak klub bela diri dari berbagai kota. Hal ini kemudian memicu masuknya gaya bertanding dari seni bela diri selain pencak silat, dari taekwondo, karate, tinju, gulat, hingga muay Thai. "Tidak ada kelompok khusus, semua petarung bebas menggunakan jurus dan memilih lawannya sendiri," kata Gus Bidin.
Meski terkesan brutal karena tak dilengkapi peraturan dan perlengkapan pertandingan yang memadai, hingga kini tak pernah ada korban jiwa dalam pertandingan Pencak Dor. Cedera paling parah yang menimpa para petarung adalah luka terbuka akibat pukulan lawan pada wajah atau terkilir saat terbanting. Luka-luka itu pun cukup diplester atau diurut oleh pelatih mereka di bawah panggung.
Karena tak dipungut biaya, jangan berharap ada hadiah dalam Pencak Dor. Petarung yang menang atau kalah akan mendapat imbalan yang sama, yakni sepiring nasi gulai kambing. Setelah turun dari arena pertandingan, tiap pendekar akan memperoleh satu kupon makan dari panitia. Kupon itu bisa ditukarkan dengan sepiring nasi gulai kambing untuk disantap bersama.
Makin lama ajang Pencak Dor makin terkenal di kalangan para pendekar. Pertandingannya pun digelar di sejumlah pesantren lain, kendati pergelaran di Pesantren Lirboyo tetap menjadi yang paling bergengsi. Berbagai klub atau perguruan bela diri hampir tak pernah absen mendaftarkan murid-muridnya untuk mengikuti Pencak Dor. Selain untuk melatih anak didik, Pencak Dor kerap dijadikan sebagai media promosi oleh berbagai klub atau perguruan bela diri buat menarik calon murid. Beberapa perguruan bela diri yang paling aktif mengirimkan anak didik untuk mengikuti Pencak Dor antara lain berasal dari Blitar, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Probolinggo, Bojonegoro, dan Surabaya.
Pertandingan Pencak Dor juga disambut masyarakat dengan respons luar biasa. Jumlah penonton membeludak di setiap pertandingan. Para penonton bersesakan mengelilingi panggung laga setinggi 2 meter. Panggung dari bambu itu dibuat menyerupai ring tinju dengan ukuran 6 x 6 meter. Tiga ruas bambu dijajar melintang pada tiap tepi panggung untuk menjaga agar para pendekar tak terjatuh. Sebagai alas, hamparan matras digelar untuk melindungi kepala pesilat saat dibanting. Menurut Gus Bidin, penggunaan alas matras baru dilakukan dalam beberapa pertandingan terakhir. Sebelumnya, para petarung harus babak-belur saat berbenturan dengan papan kayu sebagai alas panggung.
Keriuhan penyelenggaraan Pencak Dor lantas mengundang kehadiran para pedagang kaki lima dan jasa pengamanan parkir kendaraan. Dalam setiap ajang, Pencak Dor memang memancing banyak orang untuk hadir, baik sebagai petarung maupun penonton. Ribuan sepeda motor, mobil, dan truk pengangkut pesilat dari luar kota mengular hingga hampir 1 kilometer. Aparat kepolisian dan petugas dinas perhubungan bahkan harus melakukan rekayasa lalu lintas di kawasan Pesantren Lirboyo untuk mengurai kemacetan tersebut.
Meski melibatkan ribuan orang dan ratusan petarung, ada satu hal yang mengundang decak kagum dalam ajang Pencak Dor, yakni tidak pernah ada perkelahian atau tawuran yang terjadi sebelum atau setelah pertandingan. Ini karena semua pendekar yang naik ke atas panggung diwajibkan memahami slogan pertandingan: "di atas lawan, di bawah kawan". Artinya, setiap petarung boleh adu jotos hingga babak-belur hanya di atas panggung. Mereka akan menjadi kawan setelah turun dari panggung dan tak ada lagi perkelahian.
Bagi beberapa santri atau pendekar, Pencak Dor kerap dijadikan sebagai media untuk menyelesaikan masalah "secara laki-laki". Panitia hanya memberi waktu sebentar untuk adu pukul sebelum dipisahkan dan berangkulan. "Kalau ada pesilat yang bandel pasti dilumpuhkan wasit dan pengawas pertandingan. Dia juga akan diteriaki ribuan penonton hingga malu sendiri," ujar Gus Bidin.
Pertandingan Pencak Dor biasanya digelar untuk memperingati hari besar keagamaan atau nasional, misalnya Hari Kemerdekaan RI. Atau kerap juga digelar untuk memperingati ulang tahun Pesantren Lirboyo dan merayakan akhir tahun pelajaran di pesantren itu. Bagi panitia penyelenggara, Pencak Dor tak jarang menghasilkan keuntungan yang lumayan. Selain memperoleh dana dari sponsor, mereka mendapat pemasukan dari jasa parkir dan sewa tempat pedagang kaki lima. Jika keuntungan melimpah, panitia akan menyisihkannya sebagai sumbangan untuk pembangunan tempat ibadah, seperti musala dan masjid. "Bahkan ada panitia yang khusus menyelenggarakan Pencak Dor untuk mencari dana buat anak yatim," ucap Gus Bidin.
Hari Tri Wasono (Kediri)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo