Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INVESTIGASI independen para sahabat Munir Said Thalib atas kematian aktivis orang hilang itu terhenti beberapa tahun belakangan. Mereka kehilangan petunjuk karena beberapa informan kunci tewas mendadak.
Salah satunya Raymond J.J. Latuihamallo alias Ongen, yang meninggal Rabu, 3 Mei 2012, pada usia 56 tahun. Dokter menyatakan dia terkena serangan jantung, tapi hanya sedikit yang percaya. "Kematiannya misterius dan semakin mengaburkan pembunuhan Munir," kata Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial, dua pekan lalu.
Ongen adalah saksi kunci pembunuhan Munir. Dia menyaksikan pertemuan Pollycarpus Budihari Priyanto dengan Munir saat di The Coffee Bean & Tea Leaf Bandar Udara Changi, Singapura. "Feeling saya, Ongen dibunuh agar bungkam," kata seorang penyidik kasus Munir yang pernah menginterogasi Ongen, kepada Tempo, bulan lalu.
Pada Rabu itu, Ongen bersama istrinya, Hendriette Ivone Pattinasarany alias Etta, dan putri bungsu mereka, Sabilsa Diara Latuihamallo, melancong ke kawasan Mangga Dua, Jakarta Barat.
Di sana mereka berbelanja baju dan makan siang. Baru sorenya mereka beranjak pulang ke Bintaro, Tangerang Selatan, mengendarai mobil Opel Blazer. Dalam perjalanan pulang, Ongen terlibat cekcok dengan pengendara mobil lain di lampu merah Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan.
Insiden itu diceritakan kembali oleh politikus Partai Golkar, Yorrys Raweyai, dan adik Ongen, Olof Latuihamallo, kepada para wartawan pada malam kematian Ongen. Menurut mereka, saat cekcok itulah Ongen disiram air dari botol air mineral. Adu mulut yang terjadi sekitar pukul 17.00 itu berhenti setelah Etta menarik suaminya ke dalam mobil. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang.
Tak lama setelah itu, masih di Jalan Panglima Polim, dua kali Ongen mendadak menarik rem tangan mobil. "Ia terlihat sesak napas," ucap Etta kepada wartawan pada saat pemakaman Ongen di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Etta, yang panik, lalu memanggil beberapa pedagang sekitar jalan itu. Kira-kira pukul 17.30, mereka membawa Ongen ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Di perjalanan, musikus pop sejak 1980-an itu mengembuskan napas terakhir.
Penyidik yang tidak mau namanya disebut itu memberi bocoran: seorang pendeta yang kerap mendampingi Ongen saat diperiksa polisi juga meninggal tak wajar. Pendeta itu disebut bernama Tengkudun. Tak ada yang tahu nama persisnya.
Menurut dia, ketua tim penyidikan kasus pembunuhan Munir di Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Purnawirawan Mathius Salempang, yang memperkenalkan pendeta itu kepada Ongen. "Pendeta itu mati mendadak, tapi tak banyak orang tahu," kata si penyidik. Mathius menolak mengkonfirmasi cerita ini dengan alasan "wartawan lebih banyak tahu."
Pendeta itu diperkirakan mengetahui peran Ongen dalam pembunuhan Munir. Pada 2007, tatkala Ongen ditahan untuk dimintai keterangan, Tengkudun kerap menemani dia berdoa.
Pada saat doa bersama itulah diperkirakan Ongen membuat pengakuan kepada sang pendeta. "Kami kehilangan jejak kematian pendeta itu," kata Choirul Anam, Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), pekan lalu.
Kasum bersama Imparsial, Kontras, dan para sahabat Munir yang lain ketika itu tengah diam-diam menginvestigasi sendiri pembunuhan Munir. Selain Ongen dan Tengkudun, sumber kunci lain yang pernah mereka temui adalah Laksamana Muda Purnawirawan Bijah Subijanto, saat itu menjabat Deputi VII Badan Intelijen Negara.
Keterkaitan Bijah dengan pembunuhan Munir terungkap dalam rekaman percakapan antara Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, dan Pollycarpus, yang dipaparkan dalam sidang peninjauan kembali kasus Munir pada Agustus 2007. Polly menyebut Bijah "jenderal bintang dua Angkatan Laut". Tapi dalam berbagai kesempatan, kepada wartawan kala itu, Bijah membantah mengenal Pollycarpus dan keterlibatan BIN di kasus Munir.
Pada 6 Februari 2009, Bijah meninggal mendadak di Guangzhou, Cina. Kabar yang berembus mengatakan dia meninggal karena kanker prostat. "Sementara sumber kami memastikan Bijah meninggal karena sakit jantung," kata Choirul. Tempo tak berhasil mendapatkan kontak ataupun alamat keluarganya untuk dimintai konfirmasi.
Lantaran jabatannya di BIN, Bijah menguasai jalur komunikasi para agen. Itu sebabnya Choirul yakin dia banyak tahu soal kasus pembunuhan Munir. "Kami punya keyakinan Bijah sebenarnya ingin membantu, tapi seolah-olah ada yang menahannya," katanya.
Sebulan sebelum Munir meninggal, Bijah mengundang Munir untuk berdiskusi. Munir menyampaikan undangan itu dan meminta pendapat Poengky. Namun mereka tak jadi bertemu karena Bijah tidak memberi kabar lagi.
Beberapa bulan setelah kematian Munir, Bijah mengundang orang-orang dekat Munir untuk bertemu. Choirul dan Poengky ikut, bersama Suciwati, istri Munir. Dalam pertemuan rahasia yang hanya berlangsung 15 menit itu—Choirul dan Poengky mengaku lupa tanggal dan lokasi persisnya—mereka berkenalan dan hanya berbasa-basi. "Tak ada informasi penting," ujar Poengky.
Saat itu mereka menanyakan alasan Bijah mengundang Munir, sebulan sebelum terbunuh. Ia menjawab dengan sangat normatif. "Saya ingin berdiskusi dengannya karena Munir itu pintar dan concern menegakkan kebenaran," ujar Poengky menirukan ucapan Bijah.
Pertemuan berulang dua pekan kemudian, di tempat berbeda, atas undangan Bijah. Di sana pertanyaan yang diajukan Choirul dan Poengky semakin tajam, soal mengapa Munir dibunuh.
Bijah tersenyum dan meminta mereka menelusuri kasus-kasus besar apa saja yang ditangani Munir setahun belakangan. "Terutama yang menyangkut orang-orang besar," kata Choirul. Berkali-kali pertanyaan itu diulang, berkali itu pula Bijah memberikan jawaban yang sama.
Beberapa pekan kemudian pertemuan ketiga digelar. Lagi-lagi tak menghasilkan apa pun. Setelah itu, Bijah mendadak tak mau lagi bertemu. Ia mengatakan ada yang membocorkan ketiga pertemuan mereka. "Saya diancam oleh Muchdi Pr.," kata Choirul menirukan ucapan Bijah.
Muchdi Purwoprandjono, saat menikahkan anaknya pada 29 November lalu, tidak mau menjawab pertanyaan Tempo. Ia menganggap kasus itu sudah selesai. "Apa yang saya tahu sudah saya sampaikan di pengadilan," katanya dengan nada tinggi.
Hingga kini tidak ada yang bisa memastikan penyebab kematian Ongen, Bijah, dan pendeta Tengkudun. Dugaan bahwa Ongen diracun lewat air mineral yang disiramkan saat cekcok, misalnya, dimentahkan I Made Agus Gelgel Wirasuta. "Tidak ada racun mematikan yang bisa dimasukkan lewat kulit," kata pakar toksikologi forensik itu kepada Tempo, bulan lalu.
Kematian Ongen kian misterius karena Etta menolak jenazah suaminya diotopsi. Dia juga tak membuat pengaduan apa pun ke polisi. Tempo berusaha menghubungi Etta lewat telepon seluler, tapi tak dia tanggapi. Begitu pula Sabilsa, putrinya. Keponakan Ongen, Glenn Fredly, yang dicoba dikontak lewat manajernya, juga menolak berbicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo