Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhan Djabir Magenda*
Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Republik Indonesia ini juga menjadi nama sebuah gedung tua di Ithaca, Universitas Cornell. Gedung ini adalah kantor lama dari pusat studi Indonesia tertua di dunia di luar Universitas Leiden, Belanda. Seperti diceritakan pendiri Cornell Modern Indonesia Project (CMIP, demikian nama resmi pusat studi Indonesia ini), Prof George McT. Kahin, pendirian pusat studi ini tidak terlepas dari suasana Perang Dingin.
Dalam otobiografi yang diterbitkan jandanya, Dr Audrey Kahin, tiga tahun setelah Prof Kahin meninggal pada 2000, Prof Kahin menceritakan ide untuk CMIP datang dari Ford Foundation dengan syarat memusatkan diri pada studi gerakan komunis di Indonesia.
Menurut otobiografi berjudul Southeast Asia: A Testament, Prof Kahin menyarankan studi tentang gerakan sosial politik lainnya juga dilakukan, termasuk tentang gerakan Islam. Saran Prof Kahin diterima Ford Foundation sebagai sponsor dana, dan mulailah program terencana studi Indonesia yang menghasilkan banyak "Indonesianis" generasi baru, yang kemudian menyebar ke semua pusat perguruan tinggi di dunia.
Generasi baru alumnus Bhinneka Tunggal Ika dari CMIP mulai dihasilkan pada awal 1960-an. Di antara mereka ada Prof Selo Soemardjan, yang mendirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI; Prof Deliar Noer (mantan Rektor UNJ); Herbert Feith, yang membangun Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Monash, Australia, bersama dengan Prof John Legge (juga associate CMIP); juga Prof Daniel Lev (ikut mendirikan Pusat Studi Asia Tenggara Universitas California, Berkeley, kemudian pindah ke Universitas Washington, Seattle).
Lalu Prof John Smail (pendiri Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Wisconsin, Madison); Prof Akira Nakazumi (pendiri Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang); Prof Jamie Mackie (mula-mula di Universitas Monash, kemudian memperkuat Sekolah Asia Pasifik Australian National University, Canberra); Prof Josef Silverstein (pendiri Institut Studi Asia Tenggara—ISEAS Singapura), dan banyak lagi lainnya yang menyebar di Amerika. Menyusul ilmuwan lainnya seperti Ruth McVey, Benedict Anderson, Taufik Abdullah, Melly Tan, Tapiomas Ihromi, Umar Kayam, Anton Moeliono, Robert Pringle, Barbara Harvey, dan Sulaiman Sumardi—untuk menyebut beberapa alumnusnya.
Setelah 1966, jumlah mahasiswa yang terkait dengan CMIP banyak berkurang, terutama dari Indonesia dan khususnya ilmu politik. Sebab utama adalah terbitnya apa yang disebut Cornell Paper, yang merupakan analisis awal Peristiwa G-30-S. Menurut analisis Cornell Paper, usaha kudeta gagal itu adalah "masalah internal Angkatan Darat" dan sama sekali tidak menyinggung peran Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini menimbulkan rasa antipati dari elite ABRI yang mendominasi politik Indonesia awal Orde Baru dan juga kelompok-kelompok antikomunis di Indonesia. Apalagi Cornell Paper tanpa nama penulis.
Untuk menjernihkan situasi, Prof Kahin mendorong penulisnya (yakni Ruth McVey dan Ben Anderson) menerbitkan resmi analisis awal Cornell Paper itu sebagai monograf resmi CMIP pada 1971. Kata pengantarnya diberikan oleh Prof Kahin sebagai Direktur CMIP, dengan catatan bahwa monograf itu cukup layak diketahui umum walaupun beliau sendiri tidak sependapat dengan isinya.
Setelah penerbitan resmi Cornell Paper oleh CMIP pada 1971, hubungan dengan pemerintah Indonesia menjadi lebih cair. Baik Ruth McVey maupun Ben Anderson mengalami kesulitan untuk masuk Indonesia sehingga baru bebas ke Indonesia setelah reformasi 1998. Tapi Prof Kahin, yang banyak jasanya dalam masa Revolusi Kemerdekaan dan peran sejarahnya membentuk CMIP serta memajukan studi Indonesia, memperoleh Bintang Republik Indonesia. Penulis menemani Prof Kahin (beliau adalah promotor disertasi penulis) menerima bintang itu dari Menteri Luar Negeri Ali Alatas di Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri, Jakarta.
Selain oleh Cornell, studi awal pada 1950-an dilakukan oleh kelompok Universitas Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) dari Boston dan sekitarnya. Di antara peneliti yang kemudian paling dikenal adalah antropolog Clifford Geertz, dengan buku klasiknya The Religion of Java. Sementara Prof Kahin menekankan studi sejarah politik dan lembaga-lembaga politik, Prof Geertz memulai studi kultural yang menandai pendekatan utama studi Indonesia di Amerika. Seperti Prof Kahin, Prof Geertz kemudian mendapat Bintang RI dari pemerintah Indonesia.
Sebagai salah satu Pusat Studi Asia Tenggara tertua di Amerika, di samping Cornell, Universitas Yale dengan tokohnya Prof Karl Pelzer menghasilkan pula "Indonesianis" ternama, misalnya Prof William Liddle, Prof Don Emerson, dan Dr Ong Hok Ham. Prof Liddle, yang kemudian menetap di Ohio State University di Columbus, telah menghasilkan "Indonesianis" generasi kedua dan ketiga dari Indonesia, seperti Mochtar Mas’ud, Makarim Wibisono, Affan Gaffar, Rizal Mallarangeng, Salim Said, dan Saiful Mujani, sebagai contoh. Semuanya dalam disiplin ilmu politik, karena Pusat Studi Asia Tenggara yang multidisiplin ada di Athens, juga di Negara Bagian Ohio.
Pusat Studi Asia Tenggara pada 1970-an juga ada di Universitas Northern Illinois, De Kalb. Di sana ada Indonesianis terkenal Prof Dwight King, yang dalam ilmu politik dikenal dengan teorinya tentang "korporatisme negara" di masa Orde Baru, yang dibandingkannya dengan Amerika Latin. Banyak mahasiswa Indonesia belajar di situ; yang terkenal adalah Andi Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga sekarang). Studi oleh Dwight King memang tidak terlalu memakai pendekatan kultural seperti pendekatan umum Indonesianis di Amerika, tapi juga tidak memakai analisis kelas seperti yang kemudian banyak dilakukan Indonesianis dari Australia.
Studi Indonesia di Australia mulai berkembang pada dekade 1970 di berbagai universitas, baik di Universitas Monash, Universitas Sydney, ANU, maupun Universitas Murdoch. Yang paling menonjol adalah kuatnya pendekatan politik ekonomi studi-studi di Australia dibandingkan dengan pendekatan kultural dan institusional seperti di Amerika. Salah satu pelaku studi politik ekonomi yang terkenal adalah Prof Richard Robison dengan bukunya The Rise of Capital.
Analisis politik ekonomi juga sering dilakukan Indonesianis dari Australia lainnya, yakni Howard Dick. Murid Richard Robison dari Universitas Murdoch, Vedi Hadis, juga mempelajari masalah perburuhan dan kemudian berkembang pada aspek-aspek politik lainnya dengan cukup produktif. Tapi pendekatan kultural dan institusional ala Amerika juga tetap berkembang, seperti studi Harold Crouch tentang militer dan Prof James Fox dengan studi antropologinya. Dua-duanya berbasis di ANU, Canberra.
Di samping dari Australia, ilmuwan dari Jepang banyak menulis tentang masalah politik ekonomi dan sosiologi. Prof Tsuyoshi Kato dari Universitas Kyoto, yang disertasinya di Cornell tentang sosiologi keluarga urban orang Minang, melakukan berbagai riset tentang kelompok pedagang. Di Belanda, dengan basis utama di Universitas Leiden dan Universitas Amsterdam, muncul generasi baru Indonesianis yang kreatif, seperti Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, yang banyak menulis tentang politik lokal kontemporer di Indonesia. Hasil karya Indonesianis Belanda semakin banyak beredar dan memakai bahasa Inggris dan Indonesia sehingga jauh lebih efektif dibanding para Indolog dulu.
Periode 20 tahun terakhir menunjukkan diversifikasi studi Indonesia dari "American-centered". Bahkan, dalam dua dekade terakhir, ada Pusat Studi Asia Tenggara (ISEAS) di Singapura dengan publikasi yang teratur tentang Indonesia. Yang terkenal adalah Dr Bilveer Singh, yang menulis tentang ABRI. Di Amerika sendiri juga terjadi perluasan penyebaran dan tidak lagi "Cornell-sentris". Hal ini seiring dengan berakhirnya Perang Vietnam pada 1975, sehingga pusat-pusat studi Asia Tenggara mulai kekurangan dana eksternal. Semakin banyak universitas di Amerika yang menghasilkan Indonesianis dengan mutu yang baik walaupun bukan lokasi Pusat Studi Asia Tenggara, seperti dilakukan Prof Liddle di Ohio State University.
Demikian pula pendekatan teoretis studi Indonesia makin beragam. Pendekatan institusional dari Kahin dan kultural simbolik dari Geertz sudah diperkuat pendekatan politik ekonomi dan analisis kelas, terutama oleh Indonesianis dari Australia. Mungkin karena tidak mau terikat dengan pendekatan kultural ini, Prof Arief Budiman menulis tesis dalam analisis strukturalis-Marxian tentang pemerintahan Presiden Allende di Cile di Universitas Harvard dan kemudian merasa at home sebagai profesor di Universitas Melbourne, Australia.
* alumnus universitas cornell
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo