Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tilik dan Bangkitnya Marwah Film Pendek

ANGKA 20 juta penayangan yang diraih Tilik membuka banyak kemungkinan untuk sebuah karya film pendek. Mulai tumbuh pada awal 1970-an, film pendek sering tak mendapat sorotan publik dan jamak dipandang sebagai batu loncatan sebelum sineas mengerjakan proyek panjang “sebenarnya”. Padahal banyak sineas yang mendapat piala utama dalam berbagai festival bergengsi dunia dengan karya singkatnya.

Sejumlah persoalan memperlambat proses produksi dan kesempatan film pendek bertemu dengan penonton. Momentum yang diciptakan Tilik patut dimanfaatkan untuk menyuburkan ekosistem perfilman pendek kita.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TILIK garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo tiba-tiba mengangkat marwah film pendek. Karya itu menjadi fenomena besar dalam dunia perfilman kita. Sejak diunggah pada 17 Agustus lalu di saluran Ravacana Films di YouTube, film itu mampu meraih lebih dari 20 juta penayangan (view). Viralnya film berdurasi 32 menit ini merembet pada makin dicarinya film-film pendek buatan sineas Indonesia lain di platform daring (online), seperti YouTube dan Viddsee. “Pencapaian Tilik dapat menjadi momentum pergerakan film pendek Indonesia,” kata Wahyu Agung Prasetyo kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum Tilik, film pendek umumnya jauh dari sorotan publik apabila dibandingkan dengan film panjang yang berkesempatan diputar di bioskop. Pengecualian bagi film omnibus, yaitu beberapa film pendek bertema serupa yang dirangkai dalam satu judul, misalnya Jakarta Maghrib oleh Salman Aristo yang sempat mencicipi layar bioskop pada 2011. Di luar itu, film pendek biasanya hanya menemui penonton di ruang terbatas, seperti festival film dan pemutaran khusus. Tilik sendiri, yang diproduksi pada 2018, baru diunggah untuk publik dua tahun kemudian karena mendahulukan penayangan di beberapa festival.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lokasi acara festival film pendek Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-14 di Yogyakarta, November 2019. Dokumentasi JAFF

Sesungguhnya, film pendek cukup bergairah diproduksi sineas muda. Hanya, sebelum Tilik meledak, ia tak begitu kelihatan. Kompetisi film pendek Indiskop Film Festival yang digelar sepanjang 24 Juni-30 Agustus lalu, misalnya, menerima sebanyak 320 judul yang semuanya diproduksi pada masa pandemi. Indiskop Film Festival adalah festival film daring pertama di Indonesia gagasan aktris Marcella Zalianty. Di Yogyakarta, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) juga sedang sibuk menyiapkan agenda tahunannya. Festival film internasional ini bersiap memutar film panjang dan pendek pada 23-27 November mendatang. Sebanyak 300 dari 500 proposal film yang diseleksi JAFF tahun ini merupakan film pendek yang dibuat sineas Indonesia. Seperempat dari pendaftar berasal dari Yogyakarta.

Meminjam definisi dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences, sederhananya film pendek adalah karya gambar bergerak orisinal yang berdurasi 40 menit atau kurang, dari detik dimulai hingga kredit berakhir. Festival film pendek terbesar di dunia, Clermont-Ferrand International Short Film Festival, memakai standar durasi yang sama. Namun tak semua sepakat dengan standar itu. Sundance Film Festival menetapkan 50 menit ke bawah sebagai batas durasi untuk kualifikasi film pendek. Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, salah satu festival film pendek tertua, memilih angka 35 menit.

Film pendek juga dipandang memiliki semangat karya sinema berbeda yang coba dikampanyekan sejumlah festival film. Minikino, organisasi festival film pendek Indonesia, menekankan bahwa film pendek bukanlah film panjang yang kebetulan singkat durasinya. “Film pendek, seperti puisi dan cerita pendek, adalah karya mandiri dengan kekuatan literatur tersendiri,” demikian tertulis di situs Minikino.

Poster film Kuldesak, 1999. IMDB

Dalam buku Wacana Sinema: Antarkota, Antarlayar yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) disebutkan tonggak film pendek Indonesia sudah mulai dipancang pada 1970-an, tatkala Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dengan pendidikan sinematografinya menjadi wadah eksperimen produksi film kelompok mahasiswa. Festival Film Mini kemudian digelar pada 1973 di Taman Ismail Marzuki oleh Komite Film DKJ, yang menayangkan 20-an film pendek yang diproduksi dengan seluloid 8 milimeter. Terlibat sebagai juri dalam festival itu adalah Soemardjono, David Albert Peransi, dan Salim Said. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa sinematografi LPKJ. Festival Film Mini menjadi agenda tahunan hingga terhenti pada 1981 karena kekurangan anggaran.

Adanya festival ini membuat sineas muda bergeliat. Sejumlah mahasiswa sinematografi LPKJ kemudian melahirkan kelompok kerja bernama Sinema 8 yang corak kegiatannya menjadi cikal-bakal komunitas film independen kita saat ini. Selanjutnya, lahir Forum Film Pendek yang dirintis selepas kepulangan delegasi Indonesia dari Berlinale Film Festival 1982.

Era reformasi adalah pemantik yang melahirkan makin banyak komunitas film di kota-kota besar dan kecil. Keterbukaan politik membuat orang bebas mengekspresikan gagasan mereka melalui film pendek. “Tumbuh kegairahan pada tahun 2000-an dari kalangan anak muda. Teknologi digital juga makin mendukung produksi film pendek yang murah,” tutur Direktur dan Presiden JAFF Budi Irawanto, yang kerap menjadi juri dalam berbagai festival film internasional.


•••

DARI sisi produksi, doktor kajian film Ekky Imanjaya mengidentifikasi bahwa pembuatan film pendek lekat dengan aktivitas komunitas film, sekolah film, atau kegiatan aktivisme. Format pendek biasanya dipakai sineas pemula untuk memenuhi tugas sekolah, bereksperimen, dan menambah jam terbang. “Film pendek akan jadi portofolio dan batu loncatan untuk membuat film panjang,” kata Ekky.

Poster film Drupadi. IMDB

Banyak di antara sutradara yang kini sudah punya nama memulai karier dari film pendek. Garin Nugroho membuat Gerbong Satu, Dua berdurasi 13 menit pada 1984. Garin juga melahirkan film pendek dokumenter tentang lingkungan berjudul Air dan Romi pada 1991 yang menang di sebuah festival film di Jerman. Sebelum menangani Petualangan Sherina dan Ada Apa dengan Cinta?, sutradara Riri Riza pun mengawali langkah lewat omnibus Kuldesak (1998), yang menjadi film debutnya bersama Nan Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani.

Tak jarang sutradara yang sudah matang menangani film panjang masih ingin bereksperimen dengan bentuk pendek. Semasa bekerja dari rumah, Hanung Bramantyo menyempatkan diri membuat film pendek dengan anak-anaknya sebagai aktor. Yosep Anggi Noen juga masih setia membuat film pendek setelah mencatatkan nama lewat Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya serta Istirahatlah Kata-kata. Salah satu film pendeknya yang menyita perhatian dan diputar di Toronto International Festival adalah Ballad of Blood and Two White Buckets (2018). Film berdurasi 15 menit itu berkisah tentang pasangan penjual saren atau dideh, makanan khas Indonesia yang berasal dari darah ayam yang disembelih. Makanan ini mulai menghilang karena makin sensitifnya persoalan halal dan haram.

Menurut Ekky Imanjaya, banyak juga rumah produksi atau pembuat film senior yang menjadikan film pendek sebagai tolok ukur pencarian bakat. Wregas Bhanuteja, Aditya Ahmad, dan B.W. Purbanegara adalah contoh sineas muda yang mendapat tempat setelah film pendek bikinannya moncer dalam festival-festival bergengsi. Wregas dengan film Prenjak (In the Year of Monkey, 2016) meraih piala film pendek terbaik dalam Cannes Film Festival 2016. Lewat Kado (2018), Aditya memenangi kategori film pendek terbaik kompetisi Orizzonti dalam Venezia Film Festival. Begitu pula B.W. Purbanegara, yang meraih Piala Citra untuk film Cheng Cheng Po (2008) dan masuk nominasi dengan film Say Hello to Yellow (2011). 

Poster film Prenjak. IMDB

Tantangan dalam membuat film pendek umumnya adalah menemukan ide yang dapat menonjol dan memperoleh ongkos produksi. Dari segi ide, film pendek punya kelenturan yang tak terbatas. Tren tema dalam film pendek biasanya mengikuti isu yang sedang hangat dan dinamis secara sosial, ekonomi, ataupun politik. Belakangan, tradisi dan bahasa daerah juga jamak mewarnai film pendek. Butuh ide yang benar-benar segar agar sebuah film pendek dapat menarik perhatian.

Ihwal ongkos produksi, film pendek bisa sangat murah, tapi bisa juga sangat mahal. Salah satu film pendek termahal adalah Drupadi (2008) yang diproduseri Mira Lesmana, Dian Sastrowardoyo, dan Wisnu Darmawan yang disebut menghabiskan Rp 1 miliar. Dana ini dapat datang dari mana saja, dari kantong sendiri, patungan, hingga memanfaatkan sokongan pemerintah atau korporat. “Ketersediaan dana produksi selalu bisa dimaksimalkan, sebesar apa pun dana yang tersedia,” ucap Edo Wulia, Direktur Festival Minikino.

Salah satu film pendek yang mendapat sokongan dana pemerintah daerah adalah Tilik. Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta setiap tahun mengalokasikan duit yang bersumber dari dana keistimewaan untuk hibah pembuatan film. Sejak 2013, dinas ini punya seksi perfilman yang bertugas mengembangkan dan melestarikan budaya.

Hingga kini, dinas tersebut telah membiayai hampir 90 film yang mengangkat tema budaya Yogyakarta. Pada 2019, misalnya, Dinas Kebudayaan membiayai film tentang budaya selamatan. Dinas mengucurkan dana rata-rata Rp 180 juta untuk satu judul film. Tilik salah satu film yang mendapat dana sebesar itu. Film ini diseleksi dari puluhan proposal yang masuk dengan melibatkan dewan kurator yang ahli di bidang film. Setiap tahun, ada 40-50 proposal yang bersaing untuk memperoleh dana tersebut.

Menurut pelaksana tugas Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Sumadi, kriteria lolos seleksi sebuah proposal film pendek antara lain temanya sesuai dengan misi kebudayaan. Tilik, misalnya, menang karena menyuguhkan budaya tilik atau menjenguk orang sakit atau meninggal secara berombongan di Yogyakarta. Selain itu, film ini membawa pesan agar orang tidak gampang percaya terhadap informasi yang berseliweran di media sosial agar tidak tersesat dengan hoaks atau informasi palsu. “Gagasan murni dari pembuat film,” ujar Sumadi. 

Adegan dalam cuplikan film Prenjak, 2016. YouTube

Tidak semua daerah memiliki sokongan dana yang mapan untuk para pembuat film pendek. Di Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya, pemerintah setempat belum mengalokasikan anggarannya secara ajek untuk pembuatan film pendek. Sebagian besar pembiayaan produksi film pendek mengandalkan iuran.

Selain itu, para pembuat film mengandalkan bonus dari kemenangan dalam kompetisi atau festival untuk membiayai film baru. “Pemerintah daerah di Purbalingga belum punya kesadaran penuh mendukung pembiayaan film pendek secara rutin,” kata Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community Purbalingga.

Yogyakarta memang menjadi kota yang punya kultur sinema kuat. Selain ada dukungan dana dari pemerintah, ekosistem film independen di kota ini telah terbangun dengan baik. Ekosistem ini mulai dirintis pada awal 2000-an oleh nama seperti Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono, dan Narina Saraswati yang mendirikan Fourcolours Films. “Aku beruntung karena berada di Yogya dan bertemu dengan senior yang sudah mapan di industri seperti Fourcolours Films,” tutur Wahyu Agung Prasetyo, sutradara Tilik dan pendiri Ravacana Films di Yogyakarta. “Ekosistem ini yang membuat regenerasi baik setiap tahun dan menjadikan Yogya sentra film pendek Indonesia.”

 

•••

FESTIVAL film menjadi salah satu rute utama yang umum ditempuh film pendek untuk menemui penonton. Ada banyak festival internasional untuk film pendek. Pesta film tertua dan terbesar dunia, seperti Venezia, Cannes, atau Berlinale Film Festival, biasanya membuat sesi khusus untuk film pendek. Ada pula yang memang mengkhususkan diri untuk menerima karya singkat, seperti Clermont-Ferrand Short Film Festival, Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, dan Tampere Short Film Festival. 

Setiap festival punya selera dan perpolitikan masing-masing. Sebuah film pendek dapat menembus festival atau kompetisi jika idenya sejalan. Menurut Edo Wulia dari Festival Minikino, penting bagi sineas mengenali festival film tertentu dan mempelajari bagaimana kuratornya memilih film.

Proses pengambilam gambar film Tilik, 2018. Dokumentasi Ravacana Films

Mengenali karakter film yang terpilih dalam festival tersebut juga menjadi modal penting. “Film dan festival perlu bertemu, tapi belum tentu cocok. Harus ketemu dulu baru bisa mengetahui cocok atau tidak,” kata Edo. Jika film tak menuju festival, platform digital dapat menjadi pilihan. “Platform digital seperti YouTube sekarang jadi ekosistem yang strategis untuk film pendek. Contohnya film Tilik yang ditonton jutaan orang,” ucap Budi Irawanto dari JAFF.

Namun Ekky Imanjaya mengingatkan, platform digital dapat membuat tersesat layaknya hutan belantara. Dia menjelaskan, belum tentu film yang tersedia di platform digital gratis benar diunggah oleh pembuatnya. Tidak semua penonton mampu mengidentifikasi apakah sebuah film diunggah dengan cara yang legal. Selain itu, ratusan atau bahkan ribuan film pendek yang tersebar secara sporadis bisa membingungkan penonton. “Karena itu, perlu ada kurasi, daftar film pendek yang direkomendasikan untuk ditonton dan di mana dapat menontonnya dengan legal. Saya sudah mencoba bikin daftar itu,” ujarnya.

Tak semua film pendek bagus dapat diakses dengan bebas. Kebetulan, karena masa pandemi dan banyak festival yang beralih ke format daring, sejumlah film belakangan dapat disaksikan lewat situs festival. Bulan lalu, film Tak Ada yang Gila di Kota Ini oleh Wregas Bhanuteja, On Friday Noon oleh Luhki Herwanayogi, dan Kado oleh Aditya Ahmad ditayangkan di Locarno Film Festival daring, tapi waktunya terbatas. Beberapa pembuat film juga baru-baru ini memutuskan mengunggah karya mereka dari beberapa tahun lalu ke YouTube, barangkali untuk mengisi masa beraktivitas di rumah. Sebut saja Rumah Babi (2011) oleh Alim Sudio, 2045 (2005) oleh Andi Bachtiar Yusuf, dan Lemantun (2014) oleh Wregas. Namun masih banyak yang tetap sulit diakses. “Film pendek juga berhati-hati untuk monetasi. Penonton YouTube besar belum tentu ideal juga,” kata anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, Hikmat Darmawan. 

Adegan dalam filim Tilik karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo. Dokumentasi Ravacana Films

Hikmat memandang momentum kepopuleran Tilik harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mendorong film pendek Indonesia. Langkah yang paling mudah dicontoh adalah mengadopsi mekanisme publisis Tilik yang memanfaatkan media sosial dengan sangat baik. “Menonjolkan sosok sekuat Bu Tejo saat di media sosial adalah cara yang harus dipuji,” tutur Hikmat.

Kemudian, mengantongi angka penayangan Tilik, pembuat film pendek dapat lebih agresif mendekati platform over-the-top atau platform putar berbayar. Pada saat bersamaan, perlu ada jaringan pengetahuan yang bisa diakses publik untuk mengetahui apa dan di mana saja tontonan film pendek berkualitas. “Sebenarnya semua sudah dilakukan, tapi harus lebih terpadu lagi gerilyanya dengan memanfaatkan momentum Tilik,” ucap Hikmat.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus