Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH polisi mengawal I Made Agus Gelgel Wirasuta ke Hotel Shangri-La Jakarta pada pertengahan Februari 2007. Seorang pengawalnya memencet angka 34, lantai tempat beberapa perwira polisi menyambut mereka. "Satu lantai di hotel itu disewa tim penyidik Munir," ujar Gelgel, pengajar Fakultas Farmasi Universitas Udayana, Bali, kepada Tempo, Kamis malam dua pekan lalu.
Seorang polisi menjemput Gelgel di Bali pada pagi harinya. Malam sehari sebelumnya, ketika ia menjalankan sembahyang di kampung, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri meneleponnya. Ia diminta membantu tim penyidik Kepolisian, yang sedang menelisik kembali pembunuhan aktivis Munir, tiga tahun sebelumnya. Menurut Gelgel, Bambang menyatakan, "Bapak langsung berangkat dan langsung bertugas."
Gelgel adalah satu dari beberapa pakar forensik yang diminta membantu tim penyidik Munir. Keahliannya di bidang forensik racun sangat dibutuhkan polisi. Ia baru saja menyelesaikan program doktor di Universitas Georg August, Goettingen, Jerman. Disertasinya membahas metabolite pharmacokinetic, yang bisa digunakan buat merunut waktu masuknya racun ke dalam tubuh.
Malam itu juga Gelgel mengikuti rapat yang dipimpin Bambang Hendarso. Ketika itu, kata dia, Bambang menyampaikan bahwa penyidikan ulang kematian Munir atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, dunia internasional menyoroti tragedi kemanusiaan ini. Selain itu, Mahkamah Agung baru saja mengabulkan sebagian kasasi Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda Indonesia yang telah menjadi terdakwa.
Dalam putusan 4 Oktober 2006, Pollycarpus dianggap tak terbukti terlibat pembunuhan. Dia hanya divonis dua tahun penjara karena terbukti menggunakan dokumen palsu—surat penugasan yang ia gunakan pada saat penerbangan Jakarta-Singapura, yang dipakai Munir. Kasasi ini memangkas hukuman yang dijatuhkan pengadilan sebelumnya, 14 tahun penjara.
Tantangan berat bagi penyidik kepolisian adalah menemukan bukti baru untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Bambang Hendarso menunjuk bawahannya, Brigadir Jenderal Mathius Salempang, memimpin tim. Ia juga menunjuk sejumlah perwira, seperti Komisaris Besar Pambudi Pamungkas, Komisaris Besar Arief Sulistianto, Komisaris Besar Benny Mamoto, dan Komisaris Daniel Tifaona.
Mereka membuka kembali hasil tim pencari fakta pimpinan Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafi. Menurut tim itu, Munir diracun di atas pesawat Jakarta-Singapura. Racun arsenik disebut dimasukkan ke mi goreng dan jus jeruk yang disantap Munir dalam penerbangan sekitar dua setengah jam itu. Pelakunya Pollycarpus, pilot senior yang sebenarnya memiliki jadwal terbang ke Beijing, Cina.
Tim pimpinan Mathius menyingkirkan semua kesimpulan itu. Sebab, menurut seorang mantan anggota tim, kesimpulan tim tidak didasari bukti kuat dan hanya berupa "dugaan-dugaan". Satu-satunya yang dipakai tim baru penyidik adalah hasil otopsi dari Belanda yang memastikan Munir diracun arsenik. "Persoalannya, kami belum mengetahui jenis arsenik yang meracuni korban," kata penyidik itu.
Gelgel sebetulnya sudah berkomunikasi dengan polisi yang kemudian menjadi anggota tim sejak pertengahan 2006. Ketika itu, seorang penyidik dari Pusat Laboratorium Forensik Polri meneleponnya, meminta dibuatkan skenario kematian Munir menggunakan hasil uji forensik dari Belanda.
Penyidik meminta Gelgel menyuntikkan arsenik ke tubuh monyet untuk melihat waktu reaksi arsenik sebelum monyet mati. Polisi beranggapan uji coba ini bisa dipakai untuk menjelaskan waktu arsenik masuk ke tubuh Munir pada malam nahas, 7 September 2004. Gelgel menolak dengan alasan monyet memiliki fisik berbeda dengan manusia. "Mereka kehabisan akal," ujar Gelgel.
Gelgel bertanya apakah polisi masih menyimpan sampel tujuh organ tubuh Munir. Begitu dijawab masih, ia memberi jalan: sampel itu diuji di laboratorium yang memiliki kemampuan menguji spesifikasi logam arsenik. Jika jenis arsenik yang membunuh Munir diketahui, menurut dia, akan diketahui perkiraan waktu racun dimasukkan.
Pencarian waktu masuknya racun ke tubuh Munir kian gelap karena CCTV di Bandara Changi mati pada malam nahas itu. "Aneh banget, Changi secanggih itu kameranya bisa mati," kata seorang penyidik.
Menuruti saran Gelgel, polisi mengirimkan surat permohonan ke sejumlah laboratorium di Malaysia, Jepang, Australia, juga Selandia Baru. Semua menolak permintaan dengan alasan kasus Munir bermuatan politik besar. Seorang anggota tim penyidik yang memiliki hubungan baik dengan penyidik di Amerika Serikat pun diberi tugas memecah kebuntuan. Ia kemudian berpura-pura menawarkan kerja sama forensik tanpa menyebutkan perkara pembunuhan Munir. Mereka setuju.
Sampel organ tubuh pun dikirim ke Laboratorium Toxicology Applied Speciation and Consulting LLC di Seattle. Setelah beberapa waktu, hasil uji laboratorium itu pun disampaikan ke penyidik. Baru setelah itu tim memberi tahu laboratorium bahwa mereka menyidik pembunuhan Munir. "Mereka memprotes, tapi kemudian menyatakan siap memberikan kesaksian," kata seorang mantan penyidik kasus itu.
Polisi meminta bantuan Gelgel membaca hasil laboratorium itu. Ia bergabung dengan pakar forensik dari Universitas Indonesia, Mun'im Idries, dan pakar toksikologi dari Universitas Sumatera Utara, Amar Singh. Mereka bekerja sepanjang malam. Bambang Hendarso meminta hasil analisis mereka dipaparkan dalam rapat keesokan paginya.
Rapat pagi itu pun langsung dipimpin oleh Bambang dan dihadiri sejumlah pejabat Kejaksaan Agung. Gelgel memulai presentasinya dengan menyatakan bahwa Munir diracun dengan arsen-lima atau arsenik bervalensi lima. Kesimpulan itu didapatnya karena dalam hasil laboratorium disebutkan terdapat dua jenis arsenik di tubuh Munir: arsen-lima sebanyak 17 persen dan arsen-tiga sebanyak 83 persen. Arsen-lima, menurut dia, sama seperti yang terdapat dalam racun tikus.
Secara teoretis, arsen-lima yang masuk ke tubuh akan berubah menjadi arsen-tiga karena terjadi reaksi oksidasi reduksi di tubuh. Jumlah arsen-lima yang masuk ternyata sangat banyak dan sudah tersebar di berbagai cairan tubuh, dari darah hingga urine. Jumlah yang sangat banyak ini, menurut Gelgel, menyebabkan enzim dari hati Munir tak mampu menetralisasi racun.
Gelgel pun berkesimpulan racun bertahan cukup lama dalam tubuh Munir. Alasannya, merujuk pada hasil forensik di Belanda, jumlah urine yang ditemukan dalam kantong kemih Munir hanya 15 cc. Munir juga mengalami dehidrasi karena terus muntah dan buang air besar. Akibatnya, racun arsen-tiga yang seharusnya terbuang melalui urine ditarik kembali ke tubuh untuk menjaga kadar air. "Sifat arsen-tiga sangat gampang ditarik kembali," ujarnya.
Hasil kerja Gelgel ini rupanya belum memuaskan peserta rapat. Mereka memaksa Gelgel memperkirakan waktu arsenik itu masuk ke tubuh Munir. Kembali Gelgel bekerja sepanjang malam. Ia membuat simulasi perubahan arsen-lima menjadi arsen-tiga. Simulasi juga dibuat untuk menghitung waktu arsen-tiga menimbulkan reaksi blokade enzim di hati yang membuat korban muntah. Gelgel menyimpulkan arsenik masuk tubuh Munir delapan-sembilan jam sebelum ia wafat di atas langit Rumania.
Penyidik menarik mundur waktu penerbangan. Dari situ, mereka menyimpulkan: racun masuk tubuh Munir di Bandar Udara Changi, ketika penumpang transit sekitar 75 menit pada dinihari 7 September 2004. Kesimpulan ini membongkar hasil kerja Tim Pencari Fakta 2005.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo