Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA umumnya telah berumur. Dandanannya adalah pakaian wanita: berbojo bodo, dan bergincu di bibir. Gerak tari mereka sangat halus. Mereka bisa menari sambil memuntir-muntir kipas, bergandengan, dan menyanyi. Namun mereka bisa tiba-tiba menjadi ''liar''. Semua itu tak bisa menyembunyikan postur tubuh mereka yang kelelakian: bahunya yang lebih lebar daripada pinggul. Mereka memang kaum wadam. Dan yang menari-nari di panggung itu adalah kaum wadam istimewa: mereka orang-orang yang disebut bissu. Suatu malam di bulan November lalu di baruga (pendapa) Somba Opu, Ujungpandang. Asap kemenyan memenuhi ruangan. Sebaskom kembang menggeletak di pinggir panggung. Desah seruling berserak dibawa angin, diselingi dentam gong. Seseorang yang tampak seperti nenek-nenek, yang biasanya dipanggil Mak Timang, menebarkan kembang. Mulutnya komat-kamit. Mak Timang kemudian meneriakkan aba-aba. Dua orang penari berbaju bodo yang di awal acara melenggok lemah gemulai mengeluarkan keris sepanjang 30 cm. Sekali ayun, caaap. Benda tajam itu menghunjam telapak kiri masing-masing. Tubuh mereka berputar-putar ke kiri dan ke kanan. Sambil bergoyang, keris makin ditekan menusuk. Musik ikut menghentak mengikuti tubuh dua penari yang berbaju bodo itu, yang bergerak-gerak secara spontan: meregang, merentak, meliuk-liuk. Dengan gerakan kilat, ujung lancip keris pindah sasaran ke pangkal leher. Satu, dua, tiga, empat kali mereka menancapkan dan mencongkel lehernya dengan keris. Tubuh keduanya tampak bergetar, berguncang-guncang. Mereka sudah kesurupan. Dihentak- hentakkannya kakinya, kadang kaki itu diseret. Mak Timang pun makin sibuk menaburkan kembang ke tubuh mereka, dibantu nenek tua yang rupanya ketua kelompok itu. Iringan gendang kian menderu. Puncaknya, keris ditusukkan ke arah ulu hati sekuat tenaga. Berkali-kali adegan seram itu dilakukan. Penonton hening. Gerakan bissu-bissu itu makin menjadi. Bagi mereka, makin seram pertunjukan, makin saktilah mereka. Tubuh mereka merentak, menggelepar-gelepar sehingga lantai kayu baruga itu berderakan. Puluhan kali ujung keris itu bagai mengoyak daging, dan tak satu tetes pun darah muncrat. Sekitar dua jam, barulah pertunjukan seram itu usai. Tarian yang dimainkan rombongan Mak Timang ini digelarkan dalam acara ''Pentas Seni Somba Opu''. Maggirik atau menusuk-nusukkan keris ke badan hanya cuplikan prosesi adat yang pernah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan di daerah Sulawesi Selatan. Atraksi kekebalan itu, menurut orang-orang tua, terhitung belum seberapa. Biasanya para bissu yang berdandan cantik itu bisa saling menikam. Atau, terkadang seorang bissu sengaja melukai diri. Bissu itu pun menggelapar kesakitan karena lehernya bocor dan darah muncrat ke mana-mana. Namun dengan tenangnya puang matowa -- ketua para bissu -- mencelupkan keris bissu itu ke bejana ramuan bunga, lalu diusapkan ke luka itu. Dalam tempo sekejap luka itu tertutup, tiada bekas sedikit pun. Dulu serangkaian upacara yang digelar para bissu bisa sampai 40 hari lamanya. Yakni dalam upacara palili (turun ke sawah), upacara sakral yang menandai dimulainya masa bercocok tanam di sawah. Upacara ini dipercayai bisa menolak bala. Konon menurut kepercayaan mereka, tanpa upacara palili, wabah akan datang dan bulir-bulir padi bakal gabuk. Seiring dengan perkembangan zaman, lantaran berbagai faktor, lama upacara menyusut menjadi tujuh hari tujuh malam. Dan belakangan menyusut lagi tinggal semalam saja, ini pun sudah jarang yang melakukannya. Semua bissu sudah pasti banci, atau calabai dalam bahasa Bugis, atau kawe-kawe dalam bahasa Makasar. Tapi tak semua calabai bisa menjadi bissu, tokoh spiritual leluhur masyarakat Bugis-Makasar itu. Itu bergantung pada puang matowa yang mereka pilih sebagai tempat magang. Dalam tradisi kerajaan-kerajaan di Bugis, bissu dan puang matowa menempati posisi sangat penting. Menurut Djamaluddin Aziz, dari Taman Budaya Sulawesi Selatan, selain memegang kendali upacara- upacara penting di kerajaan, para bissu adalah penasihat spiritual. Jika raja hendak berperang, misalnya, ia perlu mendapat restu para bissu lebih dulu, melalui upacara penyucian pusaka kerajaan. Bahkan seorang raja tak bisa dilantik tanpa upacara yang dipimpin oleh para bissu. Dari mana datangnya wewenang bissu yang demikian besar itu? Adat memerintahkan bissu-lah pemegang pusaka kerajaan, simbol kekuatan lahir dan batin dari sebuah kekuasaan. Maka lembaga bissu bisa menghukum raja. Caranya mudah saja. Begitu pusaka kerajaan dinyatakan tak lagi menjadi hak seorang raja, maka raja itu kehilangan segala hak khususnya -- ia menjadi orang biasa. Alkisah, demikianlah kata sahibul hikayat, ketika bumi belum tercipta turunlah Batara Guru -- anak sulung dewa tertinggi di langit -- dari dunia atas (botinglangi') lewat sebatang bambu untuk menciptakan bumi. Sesampai di Luwu, ia bertemu dengan Wenyili-Timo, lalu kawin dengan anak perempuan dari bawah bumi (buri'liung) itu. Ia juga kawin dengan dara-dara cantik dari berbagai penjuru jagat, sehingga bumi yang semula kosong menjadi terisi penduduk. Nah, dalam dunia legenda itu dikatakan bahwa yang mampu berbicara dengan para dewa, termasuk Batara Guru itu, hanyalah para bissu. Sebab, selain memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Bugis Bissu, para bissu pun menguasai bahasa dewa (bahasa Torilangi), yang cuma mereka ucapkan dalam upacara sakral. Dengan kemampuan berbahasa itulah mereka bisa membujuk para dewa untuk menurunkan ''wakil'' mereka ke bumi yang baru terbentuk, untuk memimpin umat manusia. Maka, muncullah para tomanurung: Simpuru'siang di Luwu, Sengingridi di Bone, Petta Sekkanyili di Soppeng, Puteri Temmalate di Gowa. Merekalah yang konon menjadi penguasa pertama dan membentuk masyarakat Bugis-Makasar, dan dirajakan oleh para penduduknya. Dan sebagai ''pialang'' yang mendatangkan ''wakil dewa'', para bissu memperoleh kedudukan istimewa itu tadi. Di luar legenda, menurut catatan sejarah, bissu -- diduga berasal dari kata biksu, pendeta Budha -- menurut cerita orang berasal dari kerajaan Bugis di Luwu. Merekalah yang dipercayai orang untuk mengesahkan satu kekuasaan. Dari negeri Bugis tertua inilah para bissu itu menyebar ke kerajaan-kerajaan di sekitarnya: ke Bone, Wajo, Soppeng, Gowa. Kepercayaan raja terhadap para bissu itu demikian besarnya, sehingga mereka begitu bebasnya masuk ke segenap sudut kerajaan hingga ke kamar-kamar para putri. Tapi bissu bukanlah dewa yang bebas dari kesalahan. Maka, meski kekuasaan lembaga bissu demikian besar, bisa saja seorang bissu dianggap melakukan kesalahan. Bila ini terjadi, bissu bersangkutan akan ditenggelamkan sampai mati. Ilmuwan Belanda B.F. Mathes, yang meneliti kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan termasuk para bissu-nya, mengungkapkan bahwa bissu bisa disebandingkan dengan balian (dukun) pada suku Dayak. Tugas mereka yang sebenarnya adalah melakukan persembahan kepada raja dan rakyat dengan upacara-upacara sakral, seperti mallangi arajang atau membersihkan alat-alat kerajaan, atau palili (upacara turun ke sawah). Kepada rakyat, para bissu menjual jasa memimpin pesta kelahiran, upacara turun tanah bagi bayi berusia tujuh bulan, sunatan, memotong gigi agar rata, upacara perkawinan, dan berbagai pekerjaan sanro (dukun) lainnya. Kehidupan bissu sebagian besar bergantung pada pesta tersebut. Itu sebabnya para bissu tak hanya hidup di istana, melainkan juga berbaur di tengah masyarakat, baik di masyarakat suku Bugis sendiri, Makasar, atau Cina di Sulawesi Selatan. Sampai kini Puang Towa Haji, bekas imam para bissu dari Kampung Lepangeng, Kabupaten Pangkep, misalnya, setiap harinya didatangi tak kurang dari 15 orang. Mereka meminta haji yang lumpuh itu memberkahi perkawinan, mencari hari baik untuk suatu hajatan, mengobati penyakit, hingga memanggil orang pulang dari rantau. Adapun proses menjadi bissu adalah lewat jalan magang pada seorang puang matowa. Calabai yang magang itu bertugas mengurus rumah tangga sang puang matowa. Dari membantu masak, menyapu, melipat kain, sampai mencari kayu bakar. Tak ada batasan waktu yang pasti untuk masa magang ini. Bila puang matowa tak berkenan di hati, bisa-bisa si calabai itu seumur hidupnya tak juga menjadi bissu. Bila ia beruntung, puang matowa akan memanggilnya untuk ditahbiskan sebagai bissu. Apa kriterianya hingga ada calabai tak juga ditahbiskan, dan yang lain segera disahkan sebagai bissu, tak ada catatannya. Mungkin itu tergantung puang matowa semata. Upacara penahbisan bissu yang disebut irebba bisa berlangsung selama seminggu. Si calabai belia itu ditelanjangi, lalu dimandikan, dikafani, dan ditidurkan bagaikan mayat di satu ruangan di rumah puang matowa-nya. Dengan ilmu tertentu, seperti hipnotis dengan mantera dan bunga berbagai rupa, calabai itu ditidurkan bak mati suri. Sejak itulah riwayat hidupnya, dari lahir sampai ia diupacarai, dianggap selesai lalu dilupakan. Pada hari terakhir upacara itu ia dibangunkan, dan dianggap ''lahir'' kembali sebagai orang baru, sebagai bissu. Ia memulai hidup dari nol kembali. Dan sejak itu pula ia diikat dengan sejumlah pantangan. Bila pantangan itu dilanggar, bisa-bisa lehernya bocor saat melakukan maggirik, dan tak mungkin ditolong lagi. Pantangan utama ialah tak boleh bohong. Dalam soal seks, bissu tetap boleh melakukan hubungan badan -- sudah pasti dengan laki-laki -- tapi dilarang keras melacurkan diri. Jadi, seorang bissu bisa saja kedapatan punya ''suami''. Lebih berat lagi tentunya adalah syarat menjadi puang matowa. Imam para bissu ini dipilih dalam suatu majelis bissu yang dihadiri juga oleh para tokoh masyarakat dan pemerintahan. Pemilihan dilakukan bila dalam suatu wilayah kerajaan memang belum ada puang matowa-nya, atau puang matowa sebelumnya meninggal, mengundurkan diri secara suka rela, atau dipecat lantaran kelakuannya tak senonoh. Puang lolo, semacam wakil puang matowa, yang dalam prakteknya bisa menggantikan puang matowa, tak otomatis naik pangkat. Jadi, calon puang matowa tetap diuji dalam majelis, adakah ia hanya seorang bissu biasa maupun seorang puang lolo. Hasil pemilihan itu lalu disampaikan kepada raja, yang kemudian mengumumkannya kepada rakyatnya. Bissu yang terpilih menjadi puang matowa itu pun wajib menyatakan secara terbuka bahwa ia siap dan sanggup memelihara alat-alat kerajaan. Setelah melalui serangkaian upacara pelantikan, maka resmilah ia menyandang gelar puang matowa. Salah satu hak yang diperolehnya: tanah garapan seluas 1,3 hektare. Di Bone (Watampone dan sekitarnya), misalnya, para bissu masih menyelenggarakan acara membersihkan arajang (pusaka atau peralatan kerajaan), pengorbanan hewan, atau memberi sesajen. Tapi mereka tak lagi melakukan maggirik, tarian dengan menancapkan keris ke badan. Paling, mereka hanya melakukan tari- tarian dengan alat peraga, seperti lolusu, bambu dengan satu ujungnya berbentuk kepala burung. Di beberapa daerah lain tari bissu malah dikembangkan menjadi tari kreasi baru, misalnya mengganti keris dengan kipas. Di Luwu, para bissu praktis hanya menjadi penjaga museum. Zaman memang berkembang dan legenda pun rontok oleh, antara lain, perkembangan ekonomi. Ketika kerajaan tak lagi punya uang melimpah untuk membiayai berbagai upacara, termasuk palili, peranan bissu pun surut. Bahkan kemudian, kedudukan mereka di masyarakat, dalam beberapa upacara tertentu, digantikan oleh petta kali (tuan kadi). Mestinya itu ada kaitannya dengan berkembangnya Islam di Sulawesi Selatan. Lain halnya di Kerajaan Gowa (Makasar). Tak seperti kerajaan saudaranya di Tanah Bugis, sejak semula para bissu di Gowa memang tak mendapat kekuasaan secara struktural. Mereka paling-paling menjadi perias pengantin, yang istilah setempatnya adalah anrong bunting. Selain itu para bissu rutin dipanggil ke istana untuk menggelar tarian, terutama setiap ada upacara palili di awal musim tanam. Ketika riwayat kerajaan berakhir pada 1960-an, dan raja terakhir beralih jabatan menjadi bupati Gowa I, Andi Tau, upacara palili pun ditiadakan. Para bissu tak pernah lagi dipanggil bekas kerajaan yang sudah menjadi kabupaten itu. Otomatis barisan bissu pun bubar. Mereka pun menjalani kehidupan sehari-hari sebagaimana orang biasa, meski sebagian masyarakat masih percaya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu. ''Kerajaan bissu'' yang masih bertahan sampai kini adalah di bekas Kerajaan Segeri, di wilayah Pangkep, sekitar 90 kilometer dari Ujungpandang. Di sana, di seberang kantor Kecamatan Segeri- Mandalle, masih berdiri tegak sebuah rumah panggung tua yang rangka kayunya menunjukkan usianya sudah lebih dari seabad. Yang terhitung baru adalah lantai kayunya. Itulah rumah arajang, yang di dalam salah satu biliknya disimpan alat-alat kerajaan, termasuk arajang berselubung kain putih yang dianggap keramat. ''Kerajaan bissu'' itu dijaga oleh seorang jenang (sekretaris) bernama Mase, yang kini berdiam di rumah panggung reot, di muka rumah arajang. Di Segeri masih berkumpul sekitar sembilan bissu yang secara rutin meneruskan tradisi mereka. Struktur organisasinya pun masih terhitung lengkap. Paling tinggi adalah puang matowa. Sayang, tokoh bissu ini meninggal lima bulan lalu karena sakit. Sampai sekarang belum ditunjuk gantinya. Wakilnya, disebut puang lolo, bernama Daeng Baji, kini yang menjalankan peran puang matowa. Ia belum bisa menjadi puang matowa secara resmi karena belum direstui banyak pihak, termasuk bissu-bissu senior. Kelompok bissu Segerei inilah yang sampai kini masih sering menunjukkan ketinggian ilmu mereka. Bukan hanya dalam upacara palili saja, bila orang punya hajatan dan punya duit ratusan ribu rupiah, maka para bissu itu pun sedia unjuk kebolehannya. Boleh ditebak, dalam ''pertunjukan'' itu suasana magis, yang muncul di zaman ketika tontonan itu masih berstatus upacara kerajaan, tiada lagi. Jadinya, mungkin hanya mirip pertunjukan debus di Jawa Barat. Apa boleh buat, kerajaan pun lebur dalam Republik Indonesia, dan sejumlah tradisi dan adatnya pun punah. Kini para calabai di Sulawesi selatan tampaknya tak ada lagi yang bercita-cita menjadi bissu. Mereka, seperti umumnya calabai di mana saja, lebih suka membuka salon kecantikan dan rias pengantin. Ardian Taufik Gesuri (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo