Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Filosofi bahwa sampah adalah rupiah terbukti di Perumahan Griya Persada Elok, Kelurahan Mustikajaya, Kota Bekasi. Berkat bank sampah, warga di sana kini tak lagi dipusingkan urusan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ini adalah inovasi agar bank sampah memberi manfaat lebih bagi nasabahnya," ujar Lurah Mustikajaya, Faried Wajdi, kepada Tempo di lokasi, dua hari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bank Sampah Wijaya Kusuma, begitu namanya. Saban Selasa pagi, tiga petugas kebersihan mengangkut sampah anorganik yang sudah dipilah warga.
Setelah dikumpulkan, sampah tadi dikumpulkan dan ditimbang di Sekretariat RW. Setiap kilogram sampah dikonversi jadi rupiah. Kantong plastik Rp 500, kardus Rp 2.000, botol plastik Rp 4.000-5.000, dan besi aluminium Rp 7.000-10 ribu.
Sebelum tumpukan menggunung di ruang 5 x 8 meter itu, pengepul datang mengangkut sampah sebulan sekali. Sekali setor, sampah itu berubah jadi Rp 2-3 juta. "Uang itu dimasukkan ke tabungan," kata Mimin Karmini, Ketua Bank Sampah Wijaya Kusuma.
Mini adalah pelopor Bank Sampah Wijaya Kusuma lima tahun lalu. Mendapat inspirasi dari sebuah tayangan televisi, ibu rumah tangga itu lalu belajar cuilan ilmu perbankan, termasuk membuat buku tabungan sampai pencatatan buku besar. Dia pun tak segan belajar pemilahan sampah ke pengepul barang rongsokan.
Perjuangan Mini dan ibu-ibu PKK disana tak mudah. Awalnya, bank sampah itu sepi peminat hingga mereka harus merayu dengan doorprize berupa gula dan minyak goreng bagi warga yang maumengantarkan sampahnya. Upaya Mini itu tak sia-sia karena kini sekitar 130 keluarga dari 320 keluarga di rukun warga itu, jadi nasabahnya.
Ide agar tabungan sampah itu digunakan untuk pembayaran PBB muncul setelah Faried Wajdi datang menjadi lurah di sana Agustus lalu. Dia melihat pengurus Wijaya Kusuma butuh ide tentang pengelolaan tabungan nasabah sebesar Rp 500 ribu sampai Rp 1 jutaan per tahun.
Sarjana ilmu pemerintahan Universitas Padjadjaran ini memunculkan ide tersebut karena melihat kesadaran pembayaran pajak warga Kelurahan Mustikajaya tergolong rendah. Mereka berada di urutan ke-45 dari 56 kelurahan se-Kota Bekasi. Dia pun mengusulkan agar tabungan warga dipakai membayar PBB, ketimbang menguap untuk hal tidak berfaedah.
"Alhamdulillah, warga merespons baik," kata Faried.
Program bertajuk Trash for Tax itu diluncurkan di sekretariat Wijaya Kusuma Selasa lalu. Warga permukiman menengah dengan rumah 60-an meter persegi itu baru menerima tabungannya setelah dipotong PBB, rata-rata Rp 225 ribu.
"Tidak keberatan, malah senang. Tidak mikir lagi buat bayar pajak setiap tahun," kata Margono, nasabah yang menerima Rp 275 seusai dipotong pajak.
Kini Lurah Faried mulai optimistis memandang target PBB Rp 5,3 miliar yang dipatok Pemkot Bekasi kepadanya. Dengan sisa waktu yang mepet dan pencapaian baru 78,9 persen, sebelumnya Faried cs harus mengetuk rumah warga malam-malam untuk menagih PBB.
"Kalau program ini berjalan di 32 RW lain, cukup auto-debit tabungan bank sampah," ujarnya.