Amber Rudd mengundurkan diri sebagai Menteri Dalam Negeri Inggris, Senin (30/04), setelah 'secara tidak sengaja menyesatkan' anggota parlemen terkait dengan imigran gelap.
Tekanan memang meningkat atas Rudd setelah maraknya yang disebut skandal Windrush, menyangkut para pendatang dari Karibia yang dulu datang ke Inggris tanpa dokumen resmi.
Namun kebohongan yang terungkap saat dengar pendapat dengan komite parlemen, pekan lalu, yang membuat dia tidak punya pilihan selain mundur.
Rudd menyatakan 'tidak ada target' ketika ditanya apakah memiliki target untuk memulangkan para pendatang gelap, namun belakangan terungkap suratnya kepada Perdana Menteri, Theresa May, tentang upaya meningkatkan pemulangan mereka hingga 10%.
- Siapa saja yang angkat kaki dari Inggris gara-gara Brexit?
- Peningkatan segregasi sosial di Inggris mengkhawatirkan
- Apa bedanya ekspatriat dengan pengungsi atau imigran?
Koran The Guardian menerbitkan surat yang memaparkan target yang menurut Rudd sebagai 'ambisius namun bisa dicapai' untuk mendeportasikan 10% lebih banyak pendatang gelap dalam 'beberapa tahun mendatang'.
Rudd merupakan menteri keempat yang mundur dari kabinet pimpinan PM May dalam waktu enam bulan belakangan, setelah Menteri Pertahanan Michael Fallon, Menteri Pembangunan Internasional Priti Patel, dan Menteri Sekretaris Utama Damian Green.
Pengunduran diri Rudd disambut baik oleh juru bicara urusan dalam negeri dari kubu oposisi Partai Buruh, Diane Abbott, yang mengatakan bahwa menteri 'sudah melakukan hal yang tepat'.
Abbott menambahkan 'arsitek dari krisis ini' -yaitu perdana menteri- harus memberi keterangan kepada parlemen 'apakah dia tahu Amber Rudd menyesatkan parlemen dan masyarakat umum pekan lalu'.
PM May sudah menunjuk Menteri Komunitas dan Pemerintahan Lokal, Sajid Javid, sebagai Menteri Dalam Negeri yang baru.
Generasi Windrush asal Karibia
Masalah imigrasi di Inggris beberapa waktu belakangan menjadi perbincangan hangat terkait dengan yang disebut sebagai Generasi Windrush, yang datang ke Inggris antara tahun 1948 hingga 1971 dari negara-negara Karibia.
Mereka datang antara lain dari Jamaika, Trinidad and Tobago, serta pulau-pulau Karibia Lain untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di Inggris setelah Perang Dunia II.
Banyak yang datang ke Inggris ketika masih anak-anak sehingga ikut paspor milik orang tua dan tidak pernah mengurus dokumen resmi setibanya di Inggris.
Mereka tinggal di Inggris selama puluhan tahun dan bersekolah hingga bekerja seperti pendatang resmi lainnya namun kemudian muncul ancaman akan dideportasi karena tidak punya dokumen resmi.
Salah seorang di antara mereka, Paulette Wilson, mendarat di Inggris dari Jamaika ketika berusia 10 tahun pada akhir 1960-an. Kini, pada usia 61 tahun, dia menerima surat yang menyatakan masuk ke Inggris secara gelap.
"Saya tidak mengerti dan merahasiakannya dari putri saya selama dua pekan, berputar-putar bertanya bingung 'kenapa saya pendatang gelap?" tuturnya kepada BBC.
Sebagian langsung diberhentikan dari tempat kerjanya karena tak punya dokumen pendatang resmi sambil menunggu deportasi.
Setelah penentangan yang keras atas kebijakan deportasi warga Karibia itu, PM May mengajukan permintaan maaf kepada para pemimpin negara di Karibia.
Kementrian Dalam Negeri Inggris tidak memiliki catatan tentang orang-orang yang datang sebelum tahun 1971 tersebut, yang berhak untuk mendapat hak menetap.
Sementara tahun 2010 lalu, formulir kedatangan dari para pendatang Windrush sudah dihancurkan pula.
Di sisi lain para pendatang tersebut berpendapat mereka adalah warga negara Inggris karena berasal dari wilayah-wilayah koloni Inggris.
Pemerintah Inggris sudah membentuk satuan tugas untuk memastikan para pendatang Generasi Windrush memang berhak tinggal di Inggris dengan memberikan bukti-bukti.