Seorang mantan menteri Inggris menuding pemberitaan media membuatnya mendapat 13 kali ancaman pembunuhan.
Anna Soubry, politikus dari partai Konservatif, mengatakan ancaman-ancaman pembunuhan itu terjadi sejak halaman depan sebuah surat kabar menyebutnya sebagai satu dari 15 orang yang 'menolak Brexit.'
Perempuan yang mendukung tetap bergabungnya Inggris dalam Uni Eropa itu menyebut bahwa polisi menanggapi ancaman tersebut dengan serius dan telah memproses dua kasus ancaman kepada kejaksaan.
Dia mengaku "sangat ketakutan" dan menyebut ancaman tersebut muncul akibat pemberitaan di halaman depan koran Daily Telegraph pada hari Rabu (15/11).
- Proses Brexit membutuhkan pemungutan suara parlemen Inggris
- Keputusan PM Inggris keluar dari pasar tunggal Uni Eropa dikritik
- Proses resmi Brexit harus mendapat persetujuan parlemen
Namun, editor surat kabar tersebut membantah dan menyebut bahwa apa yang dilakukan pihaknya merupakan "hal yang absah dan merupakan ungkapan dari kebebasan pers".
Pemberitaan itu mempermasalahkan sikap anggota parlemen itu yang berencana menentang upaya pemerintah dalam menentukan saat pasti Brexit dalam undang-undang.
Berbicara pada BBC Radio 4, Soubry mengatakan staf kantornya menyebut ada 13 kali ancaman pembunuhan.
"Gila sekali, bukan?" katanya.
"Polisi menanggapinya dengan serius. Ini hal yang tidak benar, tidak bisa diterima dan tidak pantas terjadi."
Sebelumnya Soubry menggambarkan judul dalam surat kabar tersebut sebagai "tindakan perisakan yang terang-terangan".
Soubry menuturkan kepada BBC, ancaman-ancaman itu meliputi 'rujukan pada apa yang akan terjadi kepada para pemberontak." "Bahkan ada sejumlah tweet yang mencuitkan bahwa kami semestinya digantung," tambahnya.
"Jika Telegraph tidak membuat judul berita seperti itu, ancaman kematian tersebut tidak akan terjadi. Itu fakta."
Pemerintah kehilangan suara mayoritas pada pemilihan umum dan menghadapi risiko kekalahan saat pemungutan suara soal Brexit di Majelis rendah bulan depan nanti.
'Absurd dan berlebihan'
BBC telah menghubungi Daily Telegraph untuk mendapatkan tanggapan resmi tentang hal ini.
Namun, dalam sebuah tweet kepada presenter Broadcasting House, Paddy O'Connell, editor Chris Evans mengatakan, "Saya menyerukan Anda untuk membedakan antara tindakan sah dan ungkapan kebebasan pers serta tindakan yang tidak absah dan bahasa mereka yang melakukan ancaman kekerasan. "
Dia beralasan, judul berita itu dimaksudkan untuk "menawan" dan menunjukkan bahwa masih ada kekuatan yang berusaha menghentikan Brexit."
"Mungkin ada yang tidak setuju dengan pandangan tersebut, tapi kami berhak membuatnya dan kami akan melihat tahun depan apakah padangan itu benar.
"Tapi tuduhan perisakan itu absurd dan berlebihan."
Halaman depan Telegraph ini mengikuti jejak harian Daily Mail sebelumnya yang menunjuk hidung tiga hakim dan menjuluki mereka "Musuh Rakyat" - karena Pengadilan Tinggi menjatuhkan putuskan bahwa anggota parlemen harus ikut memutuskan dalam pengaktifan Pasal 50 keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Banyak kalangan mengadukan judul pemberitaan Daily Mail itu ke Independent Press Standards Organisation.